Wajah Stevan begitu tenang tetapi Rose merasa sedikit tersipu. Gadis peri itu bahkan bertanya-tanya apakah pemuda itu tidak merasa malu sama sekali mengenai tindakan yang baru saja Ia lakukan.
"Maaf Yang Mulia. Saya harus segera kembali ke kamar saya." Rose ingin pergi untuk menutupi rasa gugupnya.
"Merasa tidak nyaman?" Stevan membalas sang peri.
"Bukan begitu Yang Mulia. Saya hanya ingin beristirahat." Rose memberikan alasan kepada pemuda itu.
"Kalau begitu tidurlah disini." Stevan memberikan keputusan.
"Tapi Yang Mulia.."
"Hari ini aku merasa sangat lelah. Bersamamu membuatku merasa lebih nyaman." Stevan memotong kata-kata Rose dan membaringkan tubuh berototnya kembali di ranjang. Lengan kekarnya memeluk gadis peri itu dan membawanya untuk berbaring di sebelahnya.
"Tidur Rosalia." Stevan berbisik kepada pemilik tubuh lembut yang berada dalam dekapanya.
Dirinya baru saja membantai kediaman Vansizger. Selama Ia mencium bau darah yang kental, kutukan dalam dirinya akan semakin aktif. Kepalanya berdengung dengan keras karena banyak suara yang berbisik kepadanya.
Awalnya, dirinya ingin cepat mengakhiri semuanya. Dia tidak menyangka bahwa gadis dalam pelukanya bisa menghentikan suara-suara berisik itu. Ia tidak ingin menjadi gila seperti ayahnya atau pendahulunya yang lain. Tetapi, keinginan untuk terus hidup mulai berkecambah di pikiranya. Mungkin, Ia bisa memanfaatkan gadis peri itu sepenuhnya.
***
"Ini dimana?" Rose masih belum sepenuhnya terbangun dari mimpi indahnya.
"Oh.. Aku tidur di kamar Yang Mulia tadi malam." gadis peri itu memejamkan matanya kembali karena merasa masih sangat mengantuk.
"Kamar Yang Mulia?" Rose langsung terbangun saat pikiranya mulai jernih.
Peri cantik itu turun dari ranjang dan menemukan bahwa matahari sudah tinggi dari balik jendela sudut kamar. Ia terkejut karena tidak biasanya dirinya terbangun sesiang ini.
Dia bergegas untuk keluar dari ruang besar itu tetapi dihentikan oleh dua orang pelayan wanita yang Ia ketahui salah satunya adalah Zizi. Pelayan yang melayaninya belum lama ini.
"Silahkan membersihkan diri Tuan Putri. Saya sudah menyiapkan air hangat untuk Tuan Putri." Zizi berbicara dengan nada datar.
"Gaun dan asesoris sudah kami siapkan. Apakah Tuan Putri ingin kami untuk membantu Anda mandi?" pelayan yang satunya menawarkan.
"Terimakasih. Tapi aku bisa melakukanya sendiri." Rose menjawab dengan sopan.
Gadis peri itu bergegas ke kamar mandi dan membersihkan dirinya dengan bedendam di air hangat. Dirinya mencium wangi maskulin dari beberapa benda di kamar mandi yang membuat pipinya memerah.
Itu membuatnya berfikir bahwa penguasa Ras Zeros tengah berendam bersamanya. Tidak ingin terlalu larut dalam pikiranya, Rose membersihkan diri dengan cepat.
Pelayan yang memperkenalkan dirinya sebagai Hena tadi memberikanya gaun berwarna biru laut. Kain berkilau itu mempunyai lipatan rumit di setiap sisinya. Gaun itu dipasangkan dengan syal bulu putih yang membuatnya merasa tetap hangat. Untuk sentuhan akhir, asesoris yang dipakai adalah jepit rambut biru berbentuk bintang kecil yang tersemat di surai pirangnya.
"Silahkan lewat sini, Tuan Putri." Zizi memberitahu putri peri itu.
Rose sampai di sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi baginya. Ruang Makan. Tempat itu masih sebesar dan semewah seperti dalam ingatanya.
Sang peri memasuki ruang itu sendirian tanpa ditemani oleh dua pelayan yang sedari tadi mengawalnya. Rose menatap hidangan yang tersaji di meja panjang itu.
Berbeda dengan pertama kali Ia makan dan disuguhi belasan hidangan mewah, kali ini hanya ada tujuh sampai delapan hidangan. Tetapi semua makanan itu adalah hidangan yang tersentuh olehnya saat makan pertama kali.
Si peri cantik tidak membuang waktu untuk memakan semua hidangan kesukaanya. Ia tidak menunggu orang lain. Dirinya mengingat pengalaman pertamanya saat di tempat ini. Seberapa lamapun dia menunggu, tidak akan ada orang lain yang masuk.
Ceklek
Rose keluar dari ruang makan dan tidak menemukan pelayan yang menunggunya.
"Mungkin mereka akan datang sebentar lagi."
"Aku sebaiknya berjalan-jalan di sekitar sini untuk membantu pencernaan." Rose bergumam kecil.
Gadis itu melangkah perlahan sambil menikmati pemandangan yang Ia lewati. Tidak seperti istana ras peri yang penuh dengan energi kehidupan, istana ras zeros dipenuhi dengan pahatan yang menyeramkan. Meski tempat itu terlihat mewah, sang peri merasa bahwa kata mengerikan lebih cocok untuk menggambarkanya.
"Kau tahu, gadis itu tidur bersama Yang Mulia."
"Benarkah? Lalu apakah dia akan menjadi ibu pewaris tahta?"
"Ku dengar dia berasal dari Ras Peri."
Rose mendengar suara beberapa orang yang saling berbisik di balik dinding tempatnya berdiri. Ia menghentikan langkah kakinya untuk mendengarkan pembicaraan mereka karena merasa orang yang mereka bicarakan adalah dirinya.
"Aku tidak setuju. Meski dia sangat cantik, dia terlihat sangat lemah."
"Apa dia bisa memberikan keturunan yang kuat untuk meneruskan tahta?"
"Uhk.." terdengar suara batuk yang menghentikan percakapan mereka.
"Tidak baik bergosip di Istana Yang Mulia." suara lembut seorang pria terdengar.
"Maafkan kami Tuan Teodhore." para pelayan yang bergosip membungkukan badan saat melihat orang yang datang adalah tangan kanan sang raja.
"Jangan mengulanginya lagi."
"Kalian boleh pergi." Teodhore memberikan perintah untuk mengusir mereka.
Teodhore melangkah melewati dinding beton dan bertemu dengan manik biru Rose. Dia menyeringai kecil saat melihat sang peri sudah menggunakan penampilan aslinya.
"Maafkan perlakuan kasar pelayan kami Nona Rose. Jangan mengambil hati perkataan mereka." Teodhore berbicara dengan sopan kepada Rose.
"Ini bukan salah Anda, Tuan Teo. Tidak perlu meminta maaf kepadaku." Rose membalas dengan ramah.
Gadis itu menyembunyikan kecurigaanya dengan baik dan tidak menanyakan mengapa pelayan itu tidak mendapatkan hukuman yang sepantasnya. Dia tidak melihat orang lain saat pertama kali datang ke sini. Tetapi begitu orang ini datang, ada beberapa pelayan yang ditemukan bergosip tentang dirinya.
"Apa yang sedang Nona Rose lakukan di sini?" Teodhore bertanya lembut.
"Saya hanya berjalan-jalan sebentar setelah makan Tuan Teo."
"Ini sudah waktunya saya kembali. Zizi dan Hena pasti akan khawatir jika mereka tidak menemukan saya." Rose ingin segera pergi meninggalkan Teodhore.
"Biarkan saya mengantar Nona Rose. Saya juga akan melewati ruang makan dalam perjalanan menemui Yang Mulia." Teodhore menawarkan diri.
"Maaf merepotkan Tuan Teo." Rose tidak mempunyai alasan untuk menolak.
Keduanya berjalan bersama menuju ruang makan utama. Disana, sudah berdiri dua orang pelayan yang menunggu Rose selesai makan.
"Salam kepada Tuan Teodhore." Zizi dan Hena membungkuk bersamaan menyapa Teodhore.
"Cukup." Teodhore membiarkan kedua pelayan itu mengangkat kepala mereka.
"Kalau begitu aku akan meninggalkanmu bersama mereka." Teodhore berucap dengan lemah lembut.
"Tentu saja Tuan Teo. Maaf telah merepotkan Anda." Rose menjawab dengan sopan.
"Itu sama sekali tidak merepotkan."
"Aku pergi." Teodhore beranjak setelah memberikan tatapan penuh arti kepada sang putri peri.
Rose memalingkan wajah menatap kedua pelayan yang melayaninya.
"Bawa aku ke tempat yang tidak ada orang di dalamnya." Rose memerintahkan kedua pelayan.
Gadis itu ingin menemukan tempat dimana dia bisa bebas bertanya kepada mereka. Meski tidak ada orang di sekitar mereka saat ini, tetapi dinding juga mempunyai telinga. Ia tidak ingin percakapan mereka didengar oleh orang lain.
"Baik Tuan Putri." Zizi menjawab dengan hormat.
Pelayan itu membawa Rose ke perpustakaan sayap timur. Tempat yang dikosongkan sejak mendiang ibu kandung raja meninggal. Istana permaisuri mempunyai perisai pelindung yang dibuat oleh mendiang raja sebelumnya.
Perisai itu membuatnya bisa melihat dan mendengar ke luar, tetapi orang di luar perisai tidak dapat melihat ke dalam istana.