"Hn.. Jadi sejak awal kau sudah memakai bubuk ajaib untuk menghadiri pertemuan tujuh ras?" Steven bertanya malas.
"Iya Yang Mulia." Rose menjawab lembut.
"Ada lagi yang kau sembunyikan?" Steven kembali menginterogasi Rose.
Rose mengepalkan kedua tanganya erat saat mendengar pertanyaan lain dari penguasa kegelapan itu. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan dari sang pemuda.
"Aku tidak ingin mengulang pertanyaan untuk kedua kalinya, Rosalia." Steven berbisik lembut di telinga peri cantik itu.
"Kalung yang saya kenakan adalah salah satu peninggalan leluhur kami, Yang Mulia." Rose menggigit bibir bawahnya saat mengemukakan kebenaran dari benda yang dipakainya.
"Peninggalan leluhur?" Steven tersenyum lembut.
Srett..
Steven menarik paksa kalung itu dan menghancurkanya menjadi debu.
"Yang Mulia." Rose berteriak saat menyadari apa yang telah dilakukan oleh pemuda itu.
Tidak mengindahkan jeritan keras Rose, Steven menikmati ekspresi panik yang muncul di wajah cantik sang peri.
"Dengar Rosalia. Mulai sekarang, kau hanya diizinkan untuk memakai sesuatu yang aku berikan."
"Jangan membantah ataupun melawan. Kau tidak ingin tahu apa yang akan aku lakukan saat ada orang yang melanggar batasku." Kata-kata absolut itu diucapkan dengan nada yang begitu halus. Tetapi dapat membuat bulu kuduk seseorang berdiri saat mendengarnya.
Rose melihat pemuda itu dengan tatapan menusuk. Ia sudah mencoba untuk bersikap sebaik mungkin kepada pemuda yang menyandang gelar sebagai penguasa kegelapan. Tetapi itu semua tidak ada artinya bagi pemuda itu.
Hanya karena dia berasal dari ras yang lemah, dirinya selalu menjadi sasaran oleh ras lain. Entah itu wanita dari Ras Vampir maupun pemuda di hadapanya ini.
"Yang Mulia, apakah Anda pernah mencoba untuk menghargai orang lain?" Rose menggunakan nada tajam saat bertanya.
"Bagaimana jika aku mengatakan tidak?" Stevan menjawab dengan remeh.
"Sebagai makhluk hidup, Anda seharusnya membutuhkan bantuan orang lain Yang Mulia. Meski Anda merasa sangat kuat saat ini, ada suatu waktu Anda akan memerlukan pertolongan orang lain. Saya berharap Anda akan lebih menghargai makhluk yang lebih lemah Yang Mulia." Rose memberikan nasehat sekaligus mencurahkan isi hatinya.
"Hahaha." pemuda itu tertawa lepas seolah mendengar sesuatu yang sangat konyol.
Grab
Steven mencengkeram leher peri cantik itu.
"Bukankah sudah ku bilang untuk tidak melanggar batasmu Rosalia. Aku membutuhkan dirimu untuk hidup sampai aku mencapai tujuanku."
"Itu bukan berarti aku tidak akan membunuhmu jika kau terus menerus membuatku kesal." Stevan berbicara dengan nada santai, tetapi tangan miliknya mencengkeram leher rapuh sang peri dengan erat.
"Hhhh.. Yang.. Mulia."
"Lepaskan.." Rose memberontak ingin melepaskan cengkeraman pemuda itu. Tangan kecilnya mencoba menguraikan jemari panjang sang pemuda dari lehernya.
"Ahh.. hh"
"Sangat rapuh." Stevan melonggarkan cengkeramanya saat peri itu pingsan karena kekurangan oksigen.
"Sesuatu yang begitu indah, sayang sekali jika harus dibuang begitu cepat. Lagipula jika aku mencari penggantinya, belum tentu aku akan menemukan hal yang lebih cantik dari gadis ini." Steven bergumam saat Rose masih tidak sadarkan diri dalam pelukanya.
Pemuda itu tersenyum saat dirinya kembali mencium tanda lahir berwarna biru di bawah mata yang terpejam. Gadis peri itu memiliki tanda lahir berbentuk air mata di mata kananya. Dan lesung pipit saat dirinya tersenyum.
"Mari kita kembali." bisik Steven rendah.
Sepasang sayap hitam yang berkilau terbentang dengan begitu gagah di balik punggung sang penguasa malam. Pemuda itu membawa si peri cantik saat melewati berbagai pepohonan yang menjulang tinggi.
Ada sebuah perisai yang terbentuk di hutan mati setelah dirinya mengambil pedang kuno yang bersarang di pusat lembah hutan itu.
Dirinya tidak bisa mengambil pusaka ras zeros karena selama ini tidak ada energi yang menopang hutan mati sehingga pedang kematian tidak bisa menunjukan dirinya.
Swushh
Steven terbang begitu tinggi saat mereka berhasil keluar dari hutan mati. Sayap hitamnya membawa mereka ke tempat penginapan yang sebelumnya mereka singgahi.
"Selamat datang kembali, Tuan." pelayan yang sebelumnya menyaksikan dirinya membantai sekelompok perusuh itu menyambut Steven.
"Beri aku kamar dengan perlindungan mantra perisai." Steven memerintah.
"Tunggu sebentar Tuan." si pelayan langsung mengecek kamar dengan kualitas tertinggi yang masih kosong.
"Lewat sini, Tuan." si pelayan bergegas kembali setelah menemukan sebuah ruangan yang sesuai dengan kriteria yang diminta pemuda itu. Tidak berani membuat sang pemuda menunggu terlalu lama.
Pelayan itu membimbing Stevan ke ruangan yang letaknya jauh di dalam penginapan. Kamar yang sebenarnya diperuntukan bagi pemilik penginapan itu adalah satu-satunya kamar dengan perlindungan mantra perisai yang kosong.
Sang pemilik jarang mengunjungi penginapan mereka dan dia sudah berbicara kepada manager penginapan sehingga Ia berani membawa pemuda itu ke dalam kamar pemilik penginapan.
"Silahkan bersitirahat Tuan."
Ceklek
Si pelayan menutup pintu setelah pemuda itu memasuki ruangan dengan seorang gadis di pelukanya. Tidak berani mengganggu waktu mereka, dirinya langsung pergi menuju lobi penginapan setelah selesai mengantar ke kamar mereka.
Di dalam ruangan, Stevan dengan hati-hati meletakan gadis itu di atas ranjang penginapan. Mengambil sebuah botol dari saku miliknya, Stevan kembali memberikan pil obat ke bibir pucat sang peri. Leher sang gadis yang terlihat memerah akibat bekas cekikan berangsur-angsur kembali ke warna aslinya.
"Ini sudah kesekian kalinya aku menolongmu."
"Aku mempunyai firasat bahwa ini bukanlah yang terakhir." Steven bergumam rendah saat tangan besarnya dengan hati-hati mengusap bibir gadis yang masih tidak sadarkan diri.
Stevan segera pergi meninggalkan Rose setelah selesai dengan tugasnya. Tidak lupa Ia mencium tanda lahir gadis itu yang selalu berhasil menarik perhatianya sebelum pergi.
Pemuda itu berjalan dengan malas saat melewati tempat-tempat yang penuh dengan keramaian. Beberapa orang terlihat tengah mempermalukan seorang gadis yang menjerit minta tolong. Stevan tidak memberikan pandangan kedua saat melewati mereka.
Sayangnya, gadis cantik dari Ras Zeros itu memperhatikan seorang pemuda tampan yang memiliki atmosfer kuat berjalan melewatinya.
"Tuan, tolong aku."
"Aku bersedia melakukan apapun jika Anda menyelamatkanku." gadis itu memohon dengan wajah ayunya yang memiliki beberapa air mata yang berkilauan.
Membuat parasnya yang sudah cantik terlihat menyedihkan. Beberapa orang bahkan menaruh simpati kepada gadis itu dan ingin mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanya.
Sayangnya, sang penguasa zeros itu baru saja melihat seorang kecantikan menakjubkan menangis dengan putus asa belum lama ini. Membuat dirinya mengerutkan kening karena merasa bahwa gadis yang menempel di jubahnya itu terlihat sangat jelek di matanya.
"Lepaskan." Steven berucap dingin. Tidak ada nada malas dan main-main saat dirinya menatap gadis itu.
Sang gadis dikejutkan oleh tekanan yang keluar dari pemuda itu. Merasa takut, Ia segera melepaskan tanganya yang masih memegang jubah sang pemuda.
"Ternyata gadis itu bertemu dengan pahlawan tampan."
"Apa kau berhasil menaklukan seorang lelaki dengan wajahmu atau goyangan pinggulmu."
"Hahaha.." orang-orang yang melecehkan gadis itu tertawa sangat keras.
"Tuan pahlawan, apa Anda bersedia menukar nyawa Anda dengan kecantikan ini?" seorang lelaki bertubuh besar menghalangi jalan Steven.
"Minggir." Steven berucap bosan.
"Hahaha. Kalian dengar, bocah ingusan ini mengatakan bahwa dia jatuh cinta pada pandangan pertama." orang itu berkata kurang ajar kepada raja ras mereka sendiri.
"Hei anak muda."
Greb
Steven memegang tangan pemimpin mereka yang ingin mendaratkan tangan kotornya di pipi pemuda itu.
"Lepaskan dasar bocah tengik." orang yang menjadi pemimpin pelecehan berkata keras saat dirinya tidak bisa menarik tanganya.
"Lepaskan? Tentu saja." Stevan tersenyum dingin.
"Ahhhh.." teriakan tajam terdengar oleh para kerumunan. Orang yang berteriak itu menjerit karena Steven memotong lenganya. Sang pemuda kemudian membuang potongan tangan itu di samping tubuh pemiliknya.
"Bukankah sudah aku katakan untuk minggir. Kalian saja yang tidak mau mendengarkan. Sekarang, aku tidak mau pergi. Kalian harus menghiburku bukan?" Steven berbicara dengan perlahan. Membuat orang-orang itu bergidik ngeri.