Keduanya berkuda menyusuri jalan bebatuan dengan cepat. Semakin mereka berjalan, semakin Rose merasa bahwa tempat itu benar-benar menyedihkan. Keduanya berkendara perlahan saat memasuki sebuah kota.
Kota yang Rose lihat berbeda dengan kota yang ada dalam pikiranya. Kekacauan. Itulah yang ada dalam benaknya saat mereka memasuki kota itu. Banyak orang yang saling bertarung untuk memperebutkan apa yang mereka inginkan. Pertukaran mereka tidak menggunakan mata uang, melainkan menggunakan kekuatan. Siapa yang menang, dia yang mendapatkan segalanya.
"Jangan lihat jika kau tidak mau terseret ke dalamnya." Steven memperingatkan peri cantik itu.
"Apa Yang Mulia tidak ingin menghentikanya?" Rose bertanya prihatin saat melihat seorang anak yang dipisahkan dari ibunya karena para zeros yang tergoda saat memperhatikan wanita cantik yang tengah membawa seorang bayi dan anak kecil perempuan.
Stevan hanya menatap kosong ke depan. Tidak menjawab pertanyaan dari peri cantik itu.
"Jangan pernah melawan perintahku." Steven menggeram saat merasakan gadis yang duduk di depanya ingin melompat turun.
Rose merasa pinggangnya hampir remuk karena pemuda itu menggenggamnya dengan erat. Ia ingin membantu seorang anak kecil yang tengah dipukuli oleh sekelompok orang dewasa.
"Tapi Yang Mulia, anak itu bisa mati jika terus dibiarkan." Rose mencoba memohon belas kasihan dari sang penguasa ras zeros itu.
"Aku akan membantunya jika kau bersedia menukarnya dengan nyawamu. Tetapi ingat. Jika kau gagal karena mati dalam tugas yang aku berikan, Ras Perimu juga akan musnah." Steven berbisik di telinga gadis peri itu.
Rose berhenti memberontak begitu ras nya disebutkan. Mungkin itu memang egois. Tetapi dibandingkan dengan nyawa seorang anak kecil, dirinya lebih memilih untuk menyelamatkan nyawa seluruh rakyatnya.
"Turun." Stevan hanya memerintahkan gadis itu saat dirinya masuk ke sebuah penginapan. Sang pemuda tidak mengulurkan tangan ataupun membantu Rose untuk turun dari kuda hitam.
"Kita akan melanjutkan perjalanan besok pagi. Bersiaplah untuk bangun lebih awal." Stevan menyerahkan sebuah kunci kamar kepada Rose.
"Lantai dua kamar ke-tiga. Jangan keluar sebelum aku menjemputmu." Stevan segera pergi setelah menyerahkan kunci.
Rose berjalan menaiki tangga dengan sepatu flat nya. Ia merasa bersyukur bahwa dirinya tidak mengenakan sepatu dengan tumit yang tinggi pagi ini. Pasti akan menjadi bencana jika kakinya terkilir karena sepatunya saat Ia harus melompat dari kuda tinggi itu.
Memasukan kunci ke pintu kamarnya, Ia merasa bahwa ada sebuah segel yang terbuka. Dirinya berpikir bahwa kualitas penginapan yang mereka tinggali sangat bagus. Tidak banyak orang yang bisa melakukan segel dengan sempurna saat ini. Apalagi menyia-nyiakan segel itu untuk menjadi kunci kamar di sebuah penginapan.
Rose memasuki ruangan yang menjadi kamarnya dengan langkah ringan. Ia merasa puas dengan perlindungan ekstra yang dirinya miliki. Tidak berselang lama, dirinya tertidur setelah kepalanya menyentuh bantal lembut di atas ranjang.
Di belakang penginapan yang tertutup oleh pepohonan rimbun, terdapat potongan tubuh yang sudah tidak bisa dikenali. Darah merah disana masih terasa hangat yang membuktikan bahwa kejadian mengerikan baru saja terjadi di sana.
"Ampun."
"Aku tidak akan mengulanginya lagi." dengan mata ketakutan, seorang lelaki paruh baya terlihat merangkak hanya menggunakan kedua tanganya.
Kaki yang menopang tubuhnya untuk berdiri sudah tidak ada lagi. Hanya tersisa paha bagian bawah yang sudah tercabik-cabik.
"Heh." sang pelaku tertawa keji.
"Siapa dirimu untuk berani mengusik orangku." pertanyaan itu diucapkan dengan nada bosan.
"Bukankah kau sudah mengetahui hukum kerajaan ini."
Sratt..
Darah mengucur dari sebuah kepala yang terpisah dari anggota tubuhnya. Membuat sang pelaku tersenyum melihat hasil dari perbuatanya itu.
Kemerlip emas terlihat bertaburan di jubah yang berkibar di antara udara malam. Kemeja hitam yang Ia pakai tidak ternoda sedikitpun warna merah yang terciprat dari korban-korbanya.
"Maaf karena gangguanya Tuan." seorang berpakaian pelayan berdiri tidak jauh dari sang pelaku.
"Siapkan barang yang aku minta dan kirimkan kepada gadis yang datang bersamaku." suara sang pelaku terdengar sedikit lelah.
"Baik Tuan." pelayan itu mencoba yang terbaik untuk bersikap sopan kepada tamu penginapanya yang terlihat sangat kuat dan kejam.
Para zeros yang sering unjuk gigi dalam kerusuhan itu akhirnya menemui ajalnya. Ia merasa bersimpati karena cara mereka mati terlihat begitu tragis. Mereka kali ini benar-benar memilih tamu yang salah.
Keesokan paginya, Rose mendapati seorang pelayan mengantarkan pakaian berkuda berwarna hitam. Ia mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda dan memakai bubuk ajaib yang selalu Ia bawa kemanapun.
"Kemana tujuan kita Yang Mulia?" Rose bertanya setelah keduanya menyelesaikan sarapan mereka.
"Hutan Mati." Stevan menjawab dengan tatapan kosong. Membuat peri cantik itu menelan ludah gugup.
Hyah..hyah..
Rose mencoba yang terbaik untuk mengikuti siluet hitam yang dengan cepat menghilang dari balik awan. Ia hanya bisa mencoba mengira-ngira arah yang mereka tuju karena butuh beberapa saat agar siluet hitam itu muncul kembali.
Bruakk
"Ahh.."
Rose terlalu fokus menatap ke atas sehingga tidak sadar kuda hitam yang membawa sang peri bergerak menuju sebuah pohon pinus. Akibatnya dirinya menabrak pohon yang menjulang tinggi.
Rose berbaring dengan kepala berdenyut. Seluruh tubuhnya sakit. Ia merasa bahwa beberapa tulang nya patah. Darah merembes dari pakaian yang Ia kenakan. Sebelum tidak sadarkan diri, Rose melihat seorang pemuda tampan yang berdiri dengan teguh menatapnya dingin.
Begitu Rose terbangun, hari sudah malam. Dirinya tertegun saat menggerakan tubuhnya dan tidak mengalami sakit yang Ia rasakan saat dirinya terjatuh. Rose menatap daerah bebatuan tempatnya tersadar dari pingsan.
Cahaya api unggun terlihat menari di balik api kecil di sebelah dinding batu. Dirinya tidak melihat ada orang lain di dekatnya. Mencoba duduk, sesuatu jatuh dari tubuhnya.
Jubah hitam lengkap dengan sihir yang menghangatkan. Itu sebabnya, Ia tidak merasa kedinginan walau hari sudah malam di gua tengah hutan. Dirinya merasa heran mengapa orang yang tidak mempunyai simpati kepada orang lain itu dengan sukarela membantunya.
"Yang Mulia?" Rose mencoba memanggil si pemilik jubah.
Hening.
Tidak ada jawaban dari pemuda itu.
Rose mencoba mencari di sekitar gua tetapi juga tidak menemukan keberadaan pemuda itu. Meski khawatir, dirinya tidak berani dengan sembarang keluar untuk mencari di luar gua saat kegelapan berkuasa.
Dirinya sempat bertanya kepada pelayan penginapan mengenai tempat tujuan mereka. Pelayan itu hanya mengatakan bahwa siapapun yang memasuki hutan itu belum pernah kembali.
Pohon-pohon yang tinggi tidak mempunyai warna hijau pada daunya. Hanya ada warna coklat tua sebagai tanda bahwa pohon itu sudah kering karena tidak menyerap energi yang cukup. Menurut kabar yang beredar, orang-orang yang memasuki hutan itu dijadikan sebagai makanan bagi tumbuhan dan makhluk lain yang hidup disana.
"Seharusnya dia baik-baik saja kan?" Rose bergumam saat dirinya kembali meringkuk di dekat api unggun.
"Jika dia masih tidak kembali malam ini, aku akan pergi ke luar untuk mencarinya begitu matahari bersinar."
Mengeratkan jubah dari penguasa Zeros, Rose perlahan mengistirahatkan kedua matanya. Berharap bahwa tidak akan ada yang terjadi kepada mereka berdua. Karena jika pemuda itu mengalami kecelakaan, dirinya juga tidak akan mudah untuk keluar dari hutan menyeramkan itu.