"Hah.." Rose menghembuskan nafas saat kereta berhenti. Akhirnya perjalanan mereka sampai di tempat tujuan.
Rose membuka pintu kereta dan disambut dengan pemuda tampan yang tengah mengulurkan tanganya. Sang peri menerima uluran tangan itu dengan mantap.
"Terimamasih Tuan Teo." Rose agak canggung saat memanggil pemuda itu dengan nama panggilanya.
"Tidak perlu terlalu sopan Nona Rose. Kita harus segera menuju aula singgasana. Yang Mulia Raja pasti sudah menunggu." Pemuda itu tersenyum penuh etis kepada Rose.
Setelah kejadian perkelahian mendadak di penginapan, Rose tidak pernah melihat kedua penjaga yang mengawalnya. Teodhore menggantikan tugas mereka untuk mengawasi keamanan di lingkungan sekitar dan menjaga keselamatanya. Ia sempat bertanya kemana mereka berdua pergi, tetapi pemuda itu hanya memberinya senyum polos dan mengatakan bahwa mereka memiliki tugas lain yang belum mereka selesaikan.
Ia tidak ingin bertanya tugas lain apa yang mereka kerjakan. Ataupun memverifikasi keaslian dari kata-kata pemuda yang memiliki penampilan sehangat cahaya mentari pagi itu. Ia bahkan sedikit menyesal karena kata-kata itu keluar begitu saja karena kebiasaan.
Selama sisa perjalanan, Rose sedikit demi sedikit memiliki kecurigaan tentang pemuda yang terlihat lembut itu. Bukan tanpa alasan. Meski pemuda itu benar-benar melakukan tugasnya dengan baik dan selalu menampilkan sikap beradab yang sesuai dengan penampilan eleganya, itu membuatnya merasa tidak nyaman. Dirinya selalu merasa seperti diawasi oleh seekor ular.
Pada hari pertama Teodhore menggantikan peran dari petugas yang menghilang, dirinya menyarankan agar mereka berdua untuk berhenti bersikap terlalu formal. Si tangguh sudah memutuskan, lalu apa yang bisa di lakukan oleh si lemah.
Ia hanya bisa menuruti kata-kata pemuda itu meski belum sepenuhnya bisa menaruh kepercayaan padanya. Bukan bermaksud mendiskriminasi Ras Zeros. Tetapi perasaanya terus mengatakan untuk mencoba berinteraksi sesedikit mungkin dengan pria itu.
"Teodhore Vanjicke memberi hormat Yang Mulia." orang terkuat ke-dua di Ras Zeros itu menundukan kepalanya. Diikuti oleh gadis bersurai emas yang lain.
"Ku kira kau lupa jalan kembali." pemuda yang tengah duduk dengan menopang dagu di kursi singgasana yang nyaman itu berkata sinis.
"Kami harus mementingkan kesejahteraan tamu kita Yang Mulia. Sehingga perjalanan sedikit tertunda." Teodhor dengan lihai membalas teguran penguasa zeros.
"Pergilah!" Pemuda bermata merah itu berkata dengan bosan.
"Terimakasih Yang Mulia." balas Teodhore tanpa beban. Seperti seorang rubah licik Ia pergi setelah mengucapkan beberapa kata menyanjung kepada rajanya.
Sepanjang interaksi mereka berdua, Rose tidak berani mengangkat kepalanya. Menundukan kepala kecilnya untuk menatap lantai granit di bawahnya yang terbuat dari marmer berwarna merah. Tatapanya bahkan menelusuri pola abstrak yang tercipta di tempat Ia berdiri.
"Ku dengar ras mu bisa menghidupkan kembali vitalitas yang hampir mati." Stevan menyatakan pengetahuan yang sudah diketahui oleh masyarakat luas.
"Benar Yang Mulia. Asalkan masih ada energi kehidupan, kami bisa membantu mereka yang sedang sekarat untuk mendapatkan kembali hidup mereka. Bahkan sampai batas tertentu, pemulihan yang kami lakukan dapat memperkuat tubuh seseorang." Rose menjelaskan dengan rinci. Mengira penguasa malam itu akan memintanya untuk menukar hidupnya dengan seseorang.
Menyembuhkan orang yang sekarat sama saja dengan menyuruh ras peri mati untuk mengorbankan vitalitas miliknya kepada orang lain.
"Bagaimana dengan hal lain?" suara Stevan terdengar lelah saat bertanya.
"Hal lain apa yang dimaksud oleh Yang Mulia?" Rose sedikit mengangkat kepalanya saat bertanya tidak mengerti.
Tatapanya tidak sengaja bertabrakan dengan mata merah yang mengintimidasi. Ia buru-buru menundukan kepalanya untuk menghindari berada dalam penglihatan pemuda itu.
Ia mungkin salah melihat. Setelah berhari-hari di hadapkan dengan pertunjukan yang sempurna dan menawan dari Theodor yang menurutnya tidak sesuai dengan pribadi yang sebenarnya, Rose merasa bahwa di balik intimidasi yang dilakukan oleh penguasa ras zeros itu, yang Ia lihat hanyalah kelelahan dan rasa frustasi. Bukan kekejaman dan haus darah seperti yang Ia pikirkan sebelumnya.
"Bagaimana dengan makhluk hidup seperti tanaman atau bahan mineral seperti air. Kau bisa memperbaiki mereka?" Stevan berkata datar seolah ingin segera mengakhiri percakapan mereka.
"Tentu saja Yang Mulia. Itu selalu menjadi hal yang kami lakukan." Rose menjawab dengan rendah hati.
"Dalam satu tahun, kau harus memulihkan wilayah ini." Stevan memberi perintah dengan mulus. Suaranya masih setenang air yang mengalir.
"Bagaimana selepas itu Yang Mulia."
"Apa saya bisa kembali setelah menyelesaikan perintah dari Yang Mulia?" Rose memberanikan bertanya kepada sang pemuda.
"Itu tergantung dari hasil yang kau capai. Tetapi sebelum itu, ingatlah untuk tidak melarikan diri."
"Sekarang pergilah." Stevan mengusir peri cantik itu tanpa nada.
"Terimakasih Yang Mulia." ucap Rose sebelum keluar dari ruangan tempat sang raja memerintah.
Di balik pintu, sudah ada seorang wanita yang menunggu. Menundukan kepalanya, wanita itu memperkenalkan diri sebagar Zizi yang akan menjadi pelayanya selama berada di kerajaan zeros.
Zizi membawa Rose menyusuri lorong panjang yang berliku. Siapapun yang tidak terbiasa pasti akan langsung tersesat di jalan yang seperti labirin itu.
"Silahkan bunyikan lonceng di atas meja jika tuan putri membutuhkan sesuatu." ucap pelayan itu sebelum pergi meninggalkan sang peri cantik sendiri di ruangan yang menjadi kamarnya.
Rose menaburkan bubuk ajaib ke wajahnya setelah selesai membersihkan tubuhnya. Akhirnya setelah selesai disiksa berminggu-minggu di dalam kereta, Ia bisa mengistirahatkan tubuhnya dengan benar.
Tubuh lembutnya berbaring dengan nyaman di atas ranjang besar dengan kepala ranjang yang diukir dengan halus. Warna emas melapisi setiap ornamen di ruangan itu.
Sepertinya pemilik istana sangat suka dengan ukiran. Sejak Ia memasuki gerbang istana, berbagai macam ukiran arstistik sudah Ia lewati.
Seolah ingin membutakan mata, warna yang mendominasi istana adalah warna emas. Terdapat beberapa warna lain yang Ia lihat di sepanjang perjalanan menuju kamarnya, tetapi tidak semenonjol warna emas yang berkilau.
"Apa kami sudah salah menilai?" Rose berpikir saat dirinya membenamkan tubuhnya di selimut sutra yang lembut.
Pertama kali Ia bertemu dengan sang penguasa dari Ras Zeros, Ia begitu ketakutan seperti yang lainya. Ia memang tidak merasakan apa yang ras lain hadapi saat itu, tetapi ia merasakan energi gelap yang sangat menekan. Dirinya bisa sedikit menebak apa yang sedang terjadi saat itu. Meskipun demikian, tubuhnya seolah membeku dan tidak bisa bergerak untuk berpura-pura berperilaku seperti orang lain.
Tetapi dalam pertemuan mereka yang kedua, Ia bisa melihat pemuda tampan yang memiliki mata semerah darah itu dengan lebih dekat. Sikap intimidasi itu seolah tertanam menjadi kebiasaan. Di mata merah itu, Ia tidak melihat kebejatan ataupun kedengkian yang tersembunyi.
Yang Ia lihat hanya rasa lelah dan bosan, seolah orang itu tidak mempunyai tujuan hidup. Bukan bermaksud sombong. Tetapi sebagai Ras Peri, dirinya mempunyai perasaan yang lebih sensitif dibandingkan dengan makhluk lain.
Rose tertidur karena tubuhnya yang kelelahan. Dirinya masih memiliki banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai pemuda itu saat Ia kehilangan kesadaran karena rasa kantuk yang luar biasa.