Jejak kaki yang lembut dan terkesan ringan seolah sedang melayang. Rose menggunakan jari telapak kaki untuk bertumpu dan sedikit menekuk lutut kirinya. Melangkah ke depan, dengan merengganggkan kedua telapak kaki lebih lebar dari pinggul. Langkah yang hati-hati dilakukan oleh gadis peri itu supaya tidak menyinggung pasangan dansanya.
Tarian itu dilakukan tanpa iringan musik. Rose merasakan berbagai macam tatapan di arahkan kepadanya. Khawatir, tercengang ataupun iri. Mereka yang memperhatikanya bahkan tidak berani bernafas terlalu keras. Takut menjadi target pemuda itu berikutnya.
"Senang berdansa dengan Tuan." Rose menekuk lututnya saat tubuhnya membungkuk. Memberi hormat setelah dansa yang mendebarkan.
"Ras Peri, eh." pemimpin ras zeros yang bernama Stevan itu terkekeh.
Jantung Rose berdebar kencang saat pemuda itu menyebutkan ras nya. Takut bahwa dirinya akan membawa malapetaka bagi kerajaan miliknya.
Lebih dari 300 tahun yang lalu, keganasan Ras Zeros sudah terdengar. Mereka sangat suka berperang. Entah itu Ras Vampir, Ras Penyihir, maupun Ras Peri pernah menjadi korban kebengisan mereka. Meski banyak tahun telah terlewat dan kondisi mereka saat ini sudah lebih baik dari ratusan tahun yang lalu. Tetapi ketakutan alami dari enam ras lainya masih ada. Seolah mengubur sejarah yang mengerikan, kedatangan pemuda itu menguak kembali ingatan mereka.
"Kami menginginkan perwakilan peri untuk ikut dengan kami sebagai ganti dari keselamatan kerajaan peri dari kemusnahan." Stevan berujar keras sehingga seluruh tamu mendengar kata-katanya.
Wajah dari para utusan peri langsung memucat. Kata-kata pemuda itu sudah seperti hukuman mati bagi mereka. Disatu sisi ada tuan yang harus mereka lindungi. Di sisi lain, mereka mempunyai teman dan kerabat yang mereka sayangi.
"Kami akan menjemputmu besok pagi." Stevan mengucapkan kata-kata tak terbatahkan kepada sang putri.
"Silahkan bersenang-senang." pemuda itu berkata sebelum dirinya pergi. Meninggalkan kekacauan yang berkecambuk di pikiran setiap tamu yang hadir.
Rose segera meninggalkan ruang perjamuan tanpa menunggu acara itu selesai. Pikiranya kalut. Dia tidak ingin mengikuti kata-kata sang pemuda. Tetapi kehancuran ras nya adalah hal terakhir yang Ia inginkan. Bayangan wajah ayah dan adiknya muncul di benaknya. Membuat tekadnya goyah. Mungkin. Jika itu demi mereka, Ia akan dengan sukarela mengorbankan dirinya.
"Hana.. Kemas bubuk ajaib dan beberapa pakaian untuku." Rose memerintahkan pelayan utamanya.
"Tuan Putri..!" Hana sedikit menaikan volume suaranya, tidak bisa menerima keputusan dari peri cantik itu.
"Apa kita punya pilihan lain?" Rose tersenyum lembut meski hatinya tidak mau.
Siapapun yang berada di posisinya pasti tidak rela melepaskan kebebasan mereka hanya untuk dijadikan sebagai tawanan. Tetapi Rose tidak punya pilihan lain. Pengorbanan adalah jalan terbaik yang dapat Ia pikirkan guna kesejahteraan orang banyak. Ia tidak boleh menjadi egois. Sebagai seorang putri, Ia juga memiliki tanggung jawab atas keselamatan rakyatnya.
Tidak dapat membantah, Hana dan pelayan lain dengan diam menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa putri cantik itu. Menahan kesedihan karena sang putri rela mengorbankan dirinya yang mulia demi rakyat biasa seperti mereka.
"Hiks.." Reina, salah satu pelayan yang melayani putri sejak kecil tidak dapat menahan isak tangis saat mengingat mungkin saat ini adalah terakhir kalinya mereka bisa bertemu dengan sang putri.
"Tidak perlu menangis. Sang Putri pasti akan segera kembali." Hana berkata tegas. Menyembunyikan fakta bahwa dirinya juga mencoba mempercayai kata-katanya sendiri.
"Tapi.."
"Mereka dari Ras Zeros." salah satu dari mereka skeptis tentang pernyataan pelayan utama itu.
"Lalu kenapa. Putri kita bukanlah orang biasa. Dia pasti bisa kembali dengan selamat." Hana berdebat dengan mereka.
"Tapi, bagaimana jika Putri tidak akan pernah kembali. hiks..hiks.." seorang pelayan mulai menangis sesenggukan. Membuat pelayan lainya terdiam.
Malam itu, semua utusan ras peri dalam suasana hati yang buruk. Beberapa diantaranya bahkan berjaga sampai pagi. Tidak ingin melewatkan detik-detik kepergian tuan putri mereka.
***
"Ada apa dengan wajah kalian. Apa aku tidak memberi kalian semua istirahat yang cukup?" ucapan Rose seperti biasa saat bercanda dengan para pelayan nya.
"Kami tidak memiliki istirahat yang cukup karena menghabiskan waktu untuk membersihkan kastil sampai tidak ada debu yang tertinggal Putri." Hana membalas dengan sopan, tetapi wajahnya adalah yang paling buruk dari semua pelayan.
"Itu bagus untuk menjadi rajin. Tetapi jangan lupa kesehatan kalian adalah yang paling utama." Rose tersenyum lembut.
Senyuman itu biasanya akan membuat mereka merasa seperti ada sinar matahari yang menghangatkan hati. Membuat para pelayan bersemangat dalam mengawali hari. Tetapi kali ini, senyum itu membuat mereka semua ingin menangis sedih.
"Utusan Ras Zeros sudah menunggu di gerbang utama, Tuan Putri." seorang penjaga dari ras vampir datang untuk menjemput sang putri.
Peri cantik itu mengangguk mendengarkan laporan penjaga. Menatap pelayan yang selama ini bersama denganya, Rose tersenyum menenangkan.
"Tolong sampaikan kepada ayah dan adiku bahwa aku akan baik-baik saja. Dan jaga diri kalian untuku." ucapan terakhir sang putri sebelum menemui utusan dari ras zeros.
Langkah kaki Rose stabil, tidak cepat ataupun lambat. Dia sama sekali tidak menoleh ke arah belakang. Ia merasa bahwa jika Ia menengok ke belakang, dirinya akan kembali untuk bersembunyi di antara pengawal gagah berani yang telah diutus oleh ayahnya.
"Salam kepada Tuan. Saya Rosalia Devonia Razak, perwakilan dari Ras Peri." Rose memberi salam saat bertemu dengan utusan Ras Zeros yang menjemputnya.
Berbeda dengan Pemimpin Ras Zeros yang Ia temui saat di pesta perjamuan, pemuda yang menjemputnya mempunyai penampilan ilmiah. Wajahnya lembut seolah dirinya adalah orang yang tidak pernah menyentuh darah. Kacamata berbingkai emas melengkapi penampilan halusnya.
"Salam kepada Putri Rosalia. Saya Teodhor, tangan kanan Yang Mulia yang diperintahkan untuk mengawal nona ke istana kami."
"Senang bertemu dengan Tuan Putri." utusan itu berperilaku seperti seorang pria terhormat. Mencium punggung tangan Rose saat mengucapkan salam.
"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Teodhor." Rose mencoba menahan perasaan bergidik yang Ia rasakan saat pemuda itu memperkenalkan dirinya sebagai tangan kanan Penguasa Ras Zeros.
Orang yang mempunyai posisi tinggi itu pasti tidak selembut dan sederhana seperti yang terlihat dari penampilanya. Benar kata pepatah, kita tidak boleh menilai buku hanya dari sampulnya saja.
"Kalau begitu, silahkan lewat sini." Teodhor menuntun Rose untuk memasuki kereta yang di cat dengan warna hitam. Hanya kuda-kuda penarik yang mempunyai warna berbeda, sedangkan lainya benar-benar berwarna hitam.
Menghela nafas perlahan, Rose mengepalkan kedua tanganya yang tersembunyi di dalam jubah yang Ia pakai. Mencoba menguatkan dirinya, Rose dengan tegas memasuki kereta Ras Zeros itu.
Di dalam kereta, Rose menatap pemandangan yang mereka lewati. Ia tidak tahu, apa yang akan Ia hadapi saat sampai di kerajaan yang menyimpan sejuta misteri itu.
"Kuharap Mitty kecilku akan bersikap baik sampai aku bisa kembali." Rose mencoba mengalihkan kekhawatiranya dengan cara mengingat bola bulu putih kesayanganya.