Chapter 23 - Si Gembul

Mickey mengatakan, lily api hanya bisa dilihat antara pukul 4.45 hingga 5.00 sore, selebihnya akan sangat sulit menemukannya. Kami berencana menunggu di sini hingga waktu itu datang. Aku penasaran seperti apa bunga yang selalu dia katakan dan sangat diburu ini.

"Seperti apa bunga lily yang akan kita cari?," tanyaku, memandang mereka bingung, "Jujur, kalau tahu ada sebanyak ini, aku kesulitan mencarinya,".

"Saya juga belum pernah menemukannya," jawaban Kerberos mengundang desah nafasku, "Saya beberapa kali kesini. Tapi jujur, bagi saya, mereka semua sama,".

"Aku pun juga," suara Mickey mengalihkan perhatianku dari Kerberos, "Ini kali ke—," dia seperti tengah mengingat-ingat, "Mungkin, tujuh puluh kali aku kesini, tapi sekalipun belum pernah melihatnya,".

Aku sedikit bingung menyampaikan apa yang aku pikirkan, karena mereka juga sama-sama belum tahu, "Maksudku, pasti ada yang pernah mendapatkannya, bukan?," mereka saling berpandangan, "Jika tidak ada yang mengetahui ciri-cirinya sama sekali, bagaimana caraku nanti memilihnya? Aku baru pertama kesini," aku coba menjelaskan pelan-pelan.

Aku sedikit tidak memahami maksud mereka yang mengatakan semua lily di tempat ini sama. Sejujurnya, aku melihat berbagai jenis bunga itu disini. Meskipun demikian, ada beberapa yang menarik perhatianku.

Lily dengan motif lidah api, jujur, belum pernah kulihat sebelumnya. Aku sudah melihat warna putih, pink dengan bintik merah, jingga dan banyak lainnya. Aku bersyukur bekerja di toko bunga dengan Emma, sehingga mengetahui cukup banyak jenis tanaman.

Jam yang kami tunggu pun akhirnya tiba, aku hanya berdiri mematung di tepian ketika melihat orang-orang yang berkerumun sedang mendiskusikan berbagai cara untuk menemukan bunga itu. Tempat yang tadi siang begitu sepi, kini berubah total menjadi sangat ramai.

Ada beberapa orang yang menggunakan bantuan hewan seperti ikan mas, namun dapat berenang di udara. Beberapa juga tampak menggunakan ritual khusus, mantra dan banyak lagi. Setiap dari mereka memiliki cara yang berbeda untuk menemukan lily api, tapi semuanya akan mengatakan satu kata di akhir 'Aku tidak melihatnya', 'Mereka semua berwarna sama'.

Aku berkeliling bukan untuk mencari bunga itu, namun ingin mengetahui cara apa saja yang mereka gunakan untuk menemukan tanaman itu.

Ketika aku larut dalam pengamatanku, aku melihat seseorang berjalan ke tengah-tengah bangunan secara sembunyi-sembunyi. Dia memetik salah satu bunga, lalu memasukkan ke bajunya. Beberapa detik kemudian, kilatan cahaya menyambar tubuh orang itu. Salah seorang memantrainya dan merampas tanaman itu, saat pemilik sebelumnya tergeletak tak bernyawa.

Menit demi menit terus berlalu, matahari yang awalnya masih bersinar terang, kini mulai meredup. Cahayanya menembus jendela-jendela kaca patri gereja dan menyinari seluruh bagian dari bangunan ini. Cahaya yang jatuh ke atas lily, membuat bunga-bunga itu memiliki warna yang menakjubkan.

Beberapa bunga lily menarik perhatianku, mereka bercahaya kemerahan. Motif lidah apinya membuatku teringat pada bunga yang tadi siang aku petik.

Di siang hari, cahaya kemerahannya itu tidak terlihat. Namun jujur, saat senja seperti sekarang, semuanya menjadi terlihat sangat berbeda. Aku putuskan mendekati salah satu dari mereka dengan pelan-pelan dan melipat sedikit bagian daunnya, kemudian meninggalkannya.

Dari kejauhan, aku melihat istri pemilik karavan. Suaminya tampak sedang berdiskusi dengan anak buahnya, untuk memilih manakah bunga lily api. Wanita itu menatap ke arahku, dan memberiku isyarat untuk pergi. Awalnya, aku tidak memahaminya, tapi kemudian aku memilih mengangguk dan pergi menuju Kerberos dan Mickey yang juga sedang mencari tanaman itu.

"Ayo pergi!," pintaku pada mereka.

"Aku belum—," aku membungkam mulut Mickey segera, tak membiarkan dia berbicara dan langsung menuju Kerberos.

"Kerberos, ayo kita pergi!," aku menggendong Mickey dan membawa Kerberos keluar dari gereja. Sesampainya di luar, mereka tampak sangat kebingungan, "Kita menjauh dulu dari sini, nanti kuceritakan,".

Kerberos membawa kami terbang menjauh. Sepuluh menit kemudian, setelah dirasa cukup jauh, dia menurunkan kami.

"Aku belum menemukannya, kenapa kau meminta pergi?!," protes si gembul tak sempat aku jawab, ketika sebuah anak panah mendarat tepat di sampingku.

"Berikan bunganya!," ucap seseorang dari belakang kami.

Aku segera berbalik dan mendapati seorang laki-laki membawa busur di tangannya, "Tidak ada, kami tidak memilikinya," ucapku cepat.

Aku melihat Kerberos yang hendak menerkamnya, sehingga aku putuskan membawa Mickey dan berlari menjauh. Sayangnya, kami dikepung. Mereka keluar dari tempat persembunyiannya, entah di mana. Jumlah mereka sangat banyak, sepertinya kami memang sudah di ikuti.

"Bunganya!!," ucap salah satu dari mereka.

"Aku tidak punya," pekik ku, "Aku benar-benar tidak mempunyai bunga itu,!" aku coba meyakinkan mereka. Namun, sepertinya itu sia-sia.

Salah satu dari mereka menarik tas ku, dan aku berusaha menahannya. Kerberos yang masih melawan beberapa dari mereka, berusaha membantuku. Dia berlari ke arahku dengan cepat, tapi anggota yang lain dari mereka menggagalkan usaha anjing itu.

Tidak sebandingnya tenaga yang kumiliki dengan laki-laki itu, membuat tas ku berhasil direbut dan seluruh isinya berhamburan di atas pasir. Bunga yang aku petik tadi siang pun ikut terjatuh. Mereka segera mengambilnya, lalu pergi meninggalkan kami.

"Pecundang!," ucap salah satu dari mereka sambil tertawa terbahak-bahak, sebelum meninggalkan kami.

"Kau sudah mendapatkannya?," tanya Mickey penasaran, "Sejak kapan?,".

Aku tak menghiraukan pertanyaan kucing gembul itu, "Ayo kita ikuti!," ucapku sambil memasukkan barang-barangku.

"Kau! Sejak kapan memetik bunga itu? Bagaimana caramu mendapatkannya?!," Mickey terlihat begitu marah padaku, "Mereka sekarang sudah mendapatkannya, bagaimana dengan kita? Itu milik kita seharusnya," dia benar-benar berisik.

Aku masih tak menghiraukan kucing abu-abu yang sedang marah itu, ketika aku memilih berbicara pada anjing putih yang ada di hadapanku, "Kerberos, ayo ikuti mereka!," aku melirik si gembul, "Mickey, kita sudah mendapatkan ikan, sekarang waktunya untuk menangkap buruan kita,".

Ketika Kerberos mengangguk tanpa protes, aku segera naik ke punggungnya dan membawa Mickey dalam gendonganku, "Poke poke, Mickey. Cheek!," ucapku jenaka sambil menoel-noel pipi si gembul, meredam amarahnya.

Kami mengikuti orang-orang tadi dengan tetap menjaga jarak. Kerberos terbang rendah dan lambat, cukup jauh dari mereka.

Para perampok bunga lily ku itu menuju ke suatu tempat yang berupa daerah pegunungan berbatu yang terjal. Rumah-rumah dibuat dengan cara melubangi batuan gunung. Di sebuah bangunan yang sederhana, mereka berhenti. Kami tidak bisa mengamati terlalu dekat, sehingga aku tidak dapat melihat apa pun yang mereka lakukan.

Sebuah teriakan terdengar memekakkan telinga, suara kesakitan seseorang dari dalam bangunan itu. Aku tidak mengetahui apa yang terjadi, yang kutahu hanya dua orang yang tadi masuk ke dalam, kini, salah satunya keluar dengan keadaan tanpa kepala.

Sementara satu orang yang tidak aku lihat sebelumnya dalam gerombolan itu, keluar dengan kondisi tubuh yang aneh. Luka lebam dan kulit yang membiru, rambut yang menghilang di beberapa bagian kepalanya dan wajah yang sudah terlihat membusuk dengan separuh tulang yang mencuat, terlihat dari luar.

"Ini adalah rumah Zarina," lirihku. Mereka berdua menatapku terkejut, "Kerberos, tengah malam nanti, bawa aku ke gereja itu lagi," dia mengangguk paham.