Chereads / Tsabitha Penyihir Berdarah Campuran / Chapter 25 - Kisah Si Penyembuh

Chapter 25 - Kisah Si Penyembuh

Wanita itu melepaskan gendongannya dan menunjukkan sesuatu yang selama ini selalu dia bawa, "Manusia hanya akan mati sekali. Kau harus menghargai kehidupan itu," ucapnya.

Aku terkejut, saat dia meletakkan benda yang selama ini dia bawa dalam gendongannya. Benda itu berbentuk lonjong dengan lilitan kain kumal dan tulisan-tulisan yang tidak aku pahami menggunakan tinta merah. Meskipun dari jarak kurang dari satu meter, aku tidak dapat mencium aromanya. Tapi ketika sedekat ini, aku benar-benar dapat mencium dengan jelas aroma busuk yang sangat menyengat. Aku merasa pusing, seketika terduduk dan nyaris muntah, persis seperti yang aku alami saat berada di toko bahan persembahan di pasar.

Saat pelayan datang dan memberikan pesanannya, dia segera membayar dan mengajakku pergi. Dia memintaku untuk ikut dengannya ke gereja.

Menggunakan kereta kuda miliknya, pagi itu, kami berangkat. Selama dalam perjalanan hingga sampai di sana, tidak ada obrolan di antara kami.

Wanita itu segera membuka pintu gereja dan masuk ke dalam, saat kami sampai. Aku mengikutinya dari belakang, mengawasi apa yang akan dia lakukan se pagi ini. Saat aku melihatnya menuju tepian jurang, aku hanya bisa diam melihatnya.

"Aku ingin berjalan maju dan mencoba menjalani kehidupanku yang baru. Aku tinggalkan kenangan bersamamu hari ini, di sini," aku mendengar semua ucapannya. Aku melihatnya melempar mumi bayi itu ke jurang, lalu berjalan ke arahku. Aku tidak memarahinya, memakinya atau bahkan mencegahnya. Aku hanya teringat kata-kata Emma, setiap manusia memiliki waktu yang berbeda untuk sembuh dari lukanya, mungkin juga mereka memiliki caranya masing-masing untuk menyembuhkan luka itu.

Lima tahun yang lalu, seorang pedagang dan istrinya datang ke rumahnya larut malam sambil membawa bayi yang sedang demam. Awalnya, mereka mengira anaknya hanya sakit biasa. Setelah diperiksa, seorang tabib menyarankan agar mereka membawanya ke penyembuh yang lebih ahli di pusat kota.

Bayi itu terpapar penyakit radang yang saat itu memang sedang mewabah. Beberapa hari kemudian, tabib itu mendengar bahwa anak kecil itu telah meninggal, begitu juga dengan ibunya. Sang penyembuh di kota ternyata tidak mampu menyembuhkan mereka. Si pedagang itu dan istrinya tertular penyakit dari anaknya, namun si pedagang masih selamat.

Tidak ada yang mengetahui, bahwa si pedagang memumikan anak pertamanya itu dan hari itu, dia datang sambil mengancam si tabib untuk membantunya menemukan lily api, guna membangkitkan putrinya.

Si tabib tidak dapat menolak, karena pedagang itu adalah orang yang berkuasa di desanya. Rumor mengenai lily api memang sudah bukan rahasia di desa itu. Semua orang tentunya tahu bahwa ada beberapa bunga di gereja yang mereka sebut sebagai gereja Barones, mampu membangkitkan orang yang sudah meninggal dengan bantuan makhluk mistis yang bernama Manji. Namun, bukan hal mudah untuk menemukan tanaman itu dan tentunya harus ada seseorang yang ditumbalkan untuk meminta satu nyawa.

Empat tahun lebih sudah berlalu, namun mereka belum juga menemukan lily api. Berkali-kali mereka datang ke para Manji, namun bunga yang mereka bawa selalu salah.

Sudah tidak terhitung lagi berapa kali mereka datang kesini, sejak bertahun-tahun lalu. Dia hanya mengingat satu atau dua kali dalam seminggu, saat si pedagang pergi ke pasar, dia pasti akan mencoba keberuntungannya untuk menemukan lily itu demi membangkitkan putrinya.

Saat aku mendengar semuanya, aku hanya bisa diam. Aku tidak tahu ekspresi dan respon seperti apa yang harus aku berikan. Aku melihat kantung matanya yang menghitam dan ekspresi wajahnya yang kalut. Seulas senyum di wajahnya yang tampak dipaksakan, membuatku mengerti, empat tahun yang sudah dia alami adalah hari-hari terburuk dalam hidupnya dan saat dia tersenyum hari ini, dia berusaha merasa terbebas dengan meninggalkan semua bebannya di tempat ini.

"Aku akan memberitahumu," ucapnya lirih, "Aku mengajakmu kesini untuk bertemu dengan para Manji, dua wanita itu sudah lama sekali menunggu kedatanganmu," ekspresinya terlihat lebih hidup sekarang, "Mereka hanya akan muncul beberapa menit saja, jadi pastikan kau memanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya,".

Bunga lily api akan muncul di waktu senja antara 4.45 hingga 5.00, para Manji pun menampakkan dirinya dalam durasi yang sama, namun tepatnya, saat fajar datang hingga matahari terbit.

Mika, adalah nama wanita itu. Dia memperingatkan ku agar aku memanfaatkan waktu yang singkat untuk berbicara seperlunya dan memikirkan baik-baik, apa yang aku inginkan dari mereka. Dia menyerahkan lily yang tadi aku berikan padanya, memintaku menggunakan kesempatan satu kali itu untuk meminta satu nyawa dari para Manji.

Saat langit mulai memiliki goresan jingga yang memanjang di timur, jantungku berdegup semakin cepat. Samar dalam gelapnya bayangan dinding gereja, aku melihat kursi kayu goyang yang bergerak pelan. Aku juga mulai mendengar suara dua orang wanita tua yang sedang bercakap.

Dan, ketika semua mulai terlihat, aku melihat dua orang wanita yang sedang merajut duduk di atas kursi goyang, mereka saling berhadapan. Baju mereka berwarna hitam legam, bagai terbuat dari pasir besi. Di bagian ujung pakaian yang mereka kenakan, aku melihat pasir-pasir halus yang berjatuhan.

"Oh," ucap salah satunya, terkejut menyadari keberadaan ku, "Aku senang kau datang," ucapnya lagi, berjalan menghampiriku dengan langkah yang lambat. Aku pun melangkah mendekat dan memberikan lily apiku padanya, "Untuk ku?," aku mengangguk, mulutku rasanya sulit sekali bicara.

"Apa keinginan mu?," tanya wanita satunya.

Aku masih terdiam beberapa saat. Setelah menarik nafas panjang dan membulatkan tekad, aku berucap mantap, "Tidak ada," ekspresi mereka terlihat bingung. Wajah mereka yang seperti terbuat dari gumpalan pasir itu, dengan jelas dapat kulihat lipatan di dahinya. Lubang matanya yang hitam dan kosong, menatapku dengan kebingungan, "Aku hanya ingin memberikan itu pada kalian, karena semua orang mengatakan bunga lily yang ada di sini berwarna putih. Aku ingin kalian memiliki yang berwarna api, saat senja, kalian bisa melihat warnanya yang berkilau merah itu sangat indah," ucapku menjelaskan, "Simpan lah!," aku merasa maksud dan tujuanku sudah selesai, aku menatap Mika dan tersenyum.

"Terima kasih," ucap mereka hampir bersamaan.

"Kami tidak bisa menerima ini dengan gratis, ada harga yang pantas yang harus kami berikan," ucap salah satu dari mereka sambil mendekat ke arahku. Dia menggenggam tanganku, rasanya begitu dingin dan menyakitkan saat kulitnya menyentuhku, "Jika kau membutuhkan bantuan kami, temui kami di sini," suara mereka menghilang bersama terbitnya matahari dan memudarnya tubuh mereka menjadi pasir yang kemudian terbawa angin, hanya kursi kayu yang mereka gunakan tadi, sesekali masih bergerak.

.

.

__________  

Syarat jadi reader sejati Tsabitha : \(^_^)/  

1. Lempar Power Stone terbaik ^^  

2. Gift, beri aku banyak Semangat!  

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan  

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D