Setelah menjenguk ibunya Emma, aku tidak bisa langsung pulang. Jarak rumah sakit cukup jauh, ditambah saat itu, sudah pukul dua pagi.
Aku tidak menyukai bau obat yang ada di rumah sakit, mungkin karena aku dulu pernah terlalu lama tinggal disana. Melihat Emma yang tertidur di kursi ruang tunggu bersama kakaknya, aku memilih keluar untuk mencari apa saja yang bisa membuatku terus terjaga. Sebuah minimarket yang tak jauh, menjadi tujuanku.
"Bocah jelek, kenapa kau meninggalkan ku!," aku tersentak ketika mendengar suara yang ku kenal. Mickey berjalan ke arahku dengan bulunya yang mengembang dan ekor abu-abunya yang seperti kemoceng, "Aku sampai tidak tahu turun dimana. Kau itu anak durhaka, memperlakukan kucing penyihir terhormat dengan sangat buruk, kau tahu itu!," amuknya.
Aku tak menampilkan ekspresi apapun ketika mendengar ocehan si gembul itu, "Mau makan? Aku belikan sosis paling mahal," hiburku, tak mau memperpanjang masalah dengannya.
Ekspresi Mickey langsung berubah, "Mau dua," ucapnya manja.
Kami berdua memilih makan di dekat pintu masuk rumah sakit, sambil melihat mobil yang berlalu lalang, ini cukup menghibur menurutku, seperti keluar dari lingkaran setan kehidupan.
"Apa kau bertemu dengan Kerberos?," tanya ku hati-hati.
"Dia juga sedang mencarimu. Dia menemui para Manji dan mereka mengatakan, kau memberikan pada mereka tiga bunga lily api tanpa membuat permintaan satupun," jawab Mickey, sambil mengunyah makanannya.
Menghela nafas panjang, aku menatap kucing itu dalam-dalam, "Aku tidak siap," ucapku jujur, "Aku merasa akan merusak hukum yang ada dan sangat egois, meski kalian mau mencarikan korban untukku dan membuat Zie kembali hidup. Aku ingin. Sangat ingin, tapi aku tidak bisa berlaku seegois itu. Jujur saja, mentalku belum sekuat itu dan sepertinya, aku akan sangat menyesal jika memang akan melakukannya".
Mickey mendekat padaku, mata safirnya menyampaikan keseriusan disana, "Apa kau tahu, bahwa tidak semua orang memiliki apa yang kau miliki saat ini?," aku menggeleng, "Aku hanya bersyukur, kemampuan itu tidak jatuh ke orang yang salah,".
Aku tersenyum dan menggendong Mickey, "Aku hanya ingin bersamanya, sampai sihir itu benar-benar hilang. Ada beberapa hal yang menurutku bisa kita ubah dan sebagian lainnya, cukup dibiarkan begitu saja," aku berucap sambil mengacak bulu abu-abunya.
…
Aku datang ke toko sendirian, karena Emma yang harus berada di rumah sakit. Jadwal bimbinganku bahkan aku korbankan untuk berada di meja kasir dan melayani pembeli. Aku juga harus mengantarkan bunga ke kantor-kantor yang sudah menjadi langganan menyewa bunga hidup di toko kami.
Bunga-bunga itu harus diganti seminggu sekali dengan bunga yang baru. Aku sangat berharap agar tubuh ku dapat membelah diri, untuk menyelesaikan semua pekerjaan itu dalam satu hari.
Seekor anjing putih jenis golden retriever berdiri di depan toko, sepertinya, aku mengenalinya, "Akhirnya, aku menemukanmu," benar, itu adalah Kerberos.
Segera kubuka pintu dan memintanya masuk, "Kau yang tiba-tiba pergi tanpa mengatakan apapun, di penginapan," ucapku jengkel.
"Maaf, aku tidak bisa meninggalkan dunia roh terlalu lama," jelasnya, "Ada masalah mendadak. Para Manji berulah ingin menukar roh, tapi kemudian mereka seperti membatalkannya. Aku mengira ada yang telah menemukan bunga lily api dan meminta bantuan mereka, tapi aku masih tidak mengerti kenapa mereka membatalkan sesuatu yang sudah mereka lakukan selama ini. Lalu, aku putuskan untuk menemui mereka, dan ternyata, kau lah pelakunya," ucap Kerberos dengan sedikit jengkel.
Aku tidak bisa mengatakan apapun, hanya tertawa geli melihat kelakuan anjing satu ini.
Mickey yang baru saja tidur di atas meja kasir, menghampiri kami. Dia mendekat ke arah Kerberos dan, "Pukk!," kaki depan kucing itu dengan lancar memukul wajah anjing itu, "Bodoh!," umpatnya. Aku masih diam saat melihatnya, terutama ekspresi makhluk penjaga alam roh yang terlihat begitu polos.
"Apa yang kau lakukan buntalan daging?!," Kerberos menyalak keras. Dan saat itu, tawaku tak bisa lagi terbendung. Aku senang kami dapat berkumpul bertiga lagi.
…
Sudah sekitar lima belas menit, aku menunggu di sebuah restoran yang tak jauh dari kampus ku. Hari ini, aku akan bertemu dengan ibu. Setelah entah sekian lama, akhirnya beliau berkenan menemuiku. Ibu juga meminta kakak untuk datang, meski dia sudah dipastikan akan terlambat.
Aku tidak tahu apakah ini adalah perasaan yang dirasakan semua anak saat bertemu ibunya, gugup bercampur takut, bingung dan tidak tahu akan berbicara bagaimana.
Seorang wanita memakai setelan putih menghampiri ku, rambutnya diikat rendah dengan riasan yang begitu natural. Awalnya, aku sedikit bingung saat dia menyentuh pundakku dan duduk pada kursi di depanku dengan begitu tenang. Aku tidak mengenalinya dan masih kebingungan, 'Siapa dia?,'.
"Kakakmu akan datang dua puluh menit lagi," ucapnya, sambil memakai kacamata dan melihat ke arah ponselnya.
"What the—," aku sama sekali tidak sadar kalau wanita ini adalah ibuku. Beliau sangat berbeda, dibanding dengan saat kami bertemu sekitar sepuluh atau sembilan tahun yang lalu. Aku tidak bisa memikirkan apa yang sudah dilakukan ibu, sehingga penampilannya berubah se-drastis ini.
"Bagaimana studimu? Apa sudah selesai? Aku mendapat laporan bahwa nilaimu bagus, tapi kau juga sering mengambil cuti. Aku berharap, tahun ini kau menyelesaikan penelitian mu," ucapnya cepat. Saat berbicara, dia bahkan lebih seperti orang lain untukku yang kemudian tahu dan tiba-tiba akrab denganku.
"Baik," hanya itu yang mampu keluar dari bibirku. Ini masih membingungkan, sekaligus menyedihkan untukku.
Tak berapa lama, kakak ku datang. Dia tersenyum padaku dan ibu, lalu duduk seperti orang asing bersama kami. Aku tidak memiliki topik untuk dibicarakan, hanya sesekali menyeruput minumanku dan memakan kue yang ibuku pesankan.
Kakak pun juga lebih banyak diam. Hubungan mereka memang tidak terlalu baik, sejak kakakku menikah. Ibu tidak menyukai gadis yang dia pilih, tapi mereka berdua masih melanjutkan jalinan kasih sampai akhirnya menikah.
"Tha, bagaimana kabarmu?," tanyanya basa basi.
Aku hanya tersenyum dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Lalu, aku memilih mengobrol dengan kakak ku.
"Ryu bagaimana istrimu?," ibu menginterupsi percakapan kami. Aku menatap kakak bingung, "Aku dengar, dia sakit sejak melahirkan anak pertama kalian, apa dia sudah sembuh?," tanya ibuku sambil terus memperhatikan layar ponselnya, seolah tidak memperdulikan kakak ku. Aku hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan beliau.
"Baik, dia sudah sembuh dan mulai bisa bekerja lagi," jawab kakak singkat.
Ibu mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapannya begitu serius, "Tha, ayahmu bilang, kau membuat masalah dengan kelompok wizard?!," ucapnya mengintimidasi, "Apa benar kau mencuri sesuatu dari mereka, bahkan membunuh salah satu dari kelompok itu? Kau tahu, saat ini, ayahmu berusaha mati-matian meyakinkan mereka untuk tidak mengejarmu dan menahanmu!. Kenapa sejak kecil kau tidak berhenti membuat masalah? Aku sampai tidak tahu, apa yang harus aku lakukan untukmu,".
Aku hanya bisa tersenyum masam, sementara kakak melihatku dengan ekspresi terkejut, "Sial! Orang itu, harusnya aku melubangi kepalanya juga," umpatku dalam hati.