Chapter 26 - Hujan

Saat aku sampai di penginapan, Mickey dan Kerberos telah menunggu. Wajah mereka terlihat cemas.

"Dari mana?," tanya Mickey cepat.

"Menemui para Manji," aku berucap santai, seolah bertemu mereka seperti teman sendiri.

Mickey dan Kerberos tidak mengatakan apa pun. Mereka hanya terdiam dan terus menatapku dengan tatapan yang tak ku pahami.

"Nona bertemu dengan mereka sendirian?," kali ini, Kerberos yang bertanya.

Aku mengangguk dan bersiap tidur, karena tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk.

Entah berapa lama aku tidur, ketika Mickey membangunkan ku dan aku mendengar suara riuh di luar penginapan. Aku yang penasaran dengan kegaduhan apa yang terjadi, menengok melalui jendela. Orang-orang mengerumuni sebuah tempat yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami.

"Ada apa?," ucapku setengah tersadar.

"Seseorang bunuh diri," Mickey menjawab sembari mengawasi dengan duduk di mulut jendela.

Tak beberapa lama kemudian, aku melihat beberapa orang menggotong sebuah kantong besar berwarna putih. Saat itu aku sadar, bahwa itu adalah mayat. Aku memperhatikan dengan seksama, beberapa yang berada di antara mereka seperti tidak asing untukku. Aku melihat satu orang dengan luka bakar berdiri di samping pintu masuk penginapan, dia adalah anak buah pemilik karavan yang kami tumpangi.

Posisiku yang berada lantai tiga, menyulitkan ku untuk melihat. Aku memutuskan segera turun menuju tempat itu.

Ketika sampai di luar, aku melihat si pemilik karavan yang menangis di depan katung besar itu. Seketika kesadaran menghantamku, jasad itu adalah Mika. Bayangan wanita itu muncul di kepalaku, rasanya baru beberapa jam yang lalu aku bersamanya di gereja dan saat ini, aku melihatnya sudah tidak bernyawa.

Aku baru menyadari, 'kematian' itu seperti makhluk yang sangat egois. Mereka akan datang kepada siapa pun, tanpa mempedulikan waktu dan kondisi orang tersebut. Sesuka hatinya.

Aku menjauh dari kerumunan dan segera berlari ke penginapan, "Istri pemilik karavan, dia bunuh diri," ucapku gagap.

Mickey dan Kerberos terlihat biasa saja, tapi tidak denganku yang bersama dengan Mika tadi pagi. Aku kehilangan satu orang lagi. Seseorang yang mulai bisa aku percayai, yang ku pikir mampu membuatku merasa bahwa dunia yang aku jalani saat ini cukup normal dan mengerti jalan pikiran ku.

***

Saat aku bangun, langit masih gelap. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan tempat tidur. Aku hanya berguling ke kiri dan ke kanan. Di sebelahku, ada Kerberos yang tidur, dia bergelung seperti bola bulu besar di atas ranjang. Sementara Mickey, aku tidak mengetahui dia ada dimana.

Aku melihat keluar jendela, penginapan Mika yang kemarin sempat ramai, kini kembali sepi. Hanya terlihat beberapa pedagang yang bersiap untuk melanjutkan perjalanannya ke pasar. Mickey mengatakan, hari ini adalah hari terakhir kami disini. Kami harus segera kembali ke dimensiku.

Aku memberitahu Mickey dan Kerberos, bahwa kemarin aku menemui para Manji dan sudah memberikan bunga itu. Anjing putih penjaga alam roh itu terlihat sangat kecewa mendengarkan semua penjelasanku, sementara kucing gembul itu menjadi sangat marah.

Mickey menginginkan agar bunga itu diberikan kepada Zarina dan bukan para Manji. Dia bilang, wanita itu akan mengabulkan apapun yang kita minta dengan mengorbankan satu nyawa dan lily api. Dia pun sudah berencana akan mencari satu orang yang akan kami korbankan.

Secara garis besar, para Manji ataupun Zarina menginginkan korban untuk setiap hal yang mereka berikan. Mika sudah memperingatkan ku sebelumnya, bahwa ada harga yang pantas untuk apa yang kami inginkan dari mereka. Mereka tidak akan pernah memberikan satu hal pun kepada kami dengan gratis.

Saat itu, aku mulai sadar bahwa Kerberos dan Mickey menemaniku juga memiliki asalan mereka masing-masing dan memang hanya tinggal menunggu waktu jika mungkin suatu saat, mereka nanti akan pergi.

Kupaksakan untuk bangun, setelah mandi dan sarapan seadanya, aku bermaksud pergi ke gereja seorang diri.

Suasana masih gelap, kereta yang membawaku berjalan pelan. Hanya suara ketukan besi dari sepatu kuda dengan bebatuan yang bisa kudengar. Awan mendung merayap dari arah utara, membawa jutaan uap air, menurunkan suhu ke tingkat terendah.

Setelah 2 jam perjalanan, aku sampai ditempat itu. Gereja itu nampak begitu megah, dindingnya yang putih tertelan gelapnya malam. Pintunya menjulang tinggi begitu angkuh, dengan berbagai ukiran bunga di seluruh permukaan daun pintunya. Aku membuka pelan untuk membuat celah agar bisa masuk.

Sepi, hanya aku seorang diri, berdiri di antara ribuan tanaman lily yang tumbuh liar. Jauh di depanku, sebuah jurang menganga siap melahap ku jika aku menyerah dengan semua ini.

Aku duduk di antara tanaman yang menatap bulan—yang perlahan turun. Dalam sunyi semua bayangan Mika muncul satu persatu, saat dia melempar mummy itu dan semua nasihatnya terputar lagi di ingatanku, seperti film tua yang terus menerus diputar di dalam kepalaku.

Goresan warna jingga perlahan muncul di langit timur, bersama memudarnya cahaya bulan. Aku segera berbalik melihat ke arah kursi kayu kosong, tempat para Manji akan muncul. Dua wanita itu membungkuk di depanku, saat seluruh pasir yang membentuk tubuh mereka selesai berkumpul.

Aku berjalan ke bagian bunga lily yang berwarna merah dengan motif lidah api, memetik dua tangkai dan memberikan masing-masing satu buah kepada mereka.

"Hari ini, aku akan kembali ke dimensi ku. Ini adalah hadiah perpisahan dariku," aku berusaha tersenyum di depan mereka, "Aku tidak meminta satu hal apapun dari kalian," aku memberi jeda pada kata-kataku. Sedikit sulit mengungkapkannya,

"Kematian hanya terjadi sekali, saat menyadari itu, aku ingin menghargai kehidupanku yang sebentar dan akan berbuat lebih baik selama aku hidup. Aku juga sudah memikirkan cara untuk menyelesaikan masalahku," bulir rinai hujan mulai berjatuhan. Derasnya air yang jatuh, menelan semua rasa takutku untuk berhadapan seorang diri dengan mereka,

"Jika nanti aku tidak bisa kesini karena mati," aku mulai menangis, "Kalian bisa mengambil bola mataku dan membaginya masing-masing satu, agar kalian dapat melihat cantiknya bunga-bunga disini, saat senja hari. Aku sebenarnya sangat berharap bisa berada disini dan memberikan kalian satu bunga setiap hari, tapi aku meninggalkan semuanya. Jujur saja, mentalku sudah tidak kuat jika terus menjalani hidup yang seperti ini,".

Salah satu Manji mendekat dan memelukku. Tiba-tiba aku mengingat hal itu, mereka seperti Nana yang akan memeluk diriku setiap kali aku bersedih. Aku menangis sejadi-jadinya saat itu, kupegang kuat tubuhnya yang dingin hingga tubuh itu melebur menjadi butiran pasir, saat matahari sudah terbit.

.

.

__________  

Syarat jadi reader sejati Tsabitha : \(^_^)/  

1. Lempar Power Stone terbaik ^^  

2. Gift, beri aku banyak Semangat!  

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan  

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D