Chapter 29 - Ibu

Emma mengajariku banyak hal, saat aku mulai tinggal sendiri. Memasak, mengelola keuangan, bahkan hal-hal sederhana untuk menyimpan bahan makanan dengan benar. Membuat lahan kecil di kontrakan menjadi kebun sayur mayur, katanya, agar aku bisa mendapatkan sayuran segar setiap waktu. Dia adalah teman baik ku yang mengetahui semua sisi diriku.

"Seseorang yang tampak utuh di luar, ternyata bisa hanya tinggal puing di dalamnya," sindiran yang kerap kali dia berikan padaku. Aku kadang merasa jengkel, tapi aku tidak bisa mengelak. Saat sendirian di toko, sambil menatap suatu objek dan memikirkan apa yang sudah aku alami, kerap kali aku akan menangis tanpa kusadari. Dan, Emma sering kali memergoki ku.

"Jika kau terlalu sering menangis, aku akan memotong gaji mu dengan uang untuk membeli tisu," aku tahu kata-katanya memang kejam, tapi aku juga mengerti bahwa maksudnya baik. Emma berharap aku tidak terpuruk terlalu lama dengan masalah yang sudah terjadi bertahun-tahun, dia hanya ingin aku bangkit lagi.

Wanita yang memiliki satu cita-cita yang begitu unik itu selalu mengatakan, "Tha, aku tidak pernah ingin membuat aku atau Tsabitha yang lain, selama aku hidup," Emma sangat menyayangi putrinya. Meski hubungan dia dan suaminya tidak terlalu baik, dia terus mempertahankan hubungannya demi satu-satunya anak mereka. Dia tidak ingin putrinya seperti dirinya dan aku tahu betul, seperti apa perjuangannya untuk itu

Sekarang

Aku baru saja sampai di rumah, saat tiba-tiba aku melihat satu panggilan masuk dari ibuku, "Ibu, bagaimana kabarmu?," tanyaku basa basi.

"Hem," ada jeda dari kalimat ibu, setelah sekedar mendehem, tanpa menjawab pertanyaanku, "Kau baru bertemu ayahmu?," tanyanya, dengan nada yang tidak kusuka.

"Iya," jawabku singkat.

"Kenapa kau menemuinya?," suara ibu terdengar panik.

"Untuk menyapa dan sebenarnya berharap bantuan, tapi semua malah tambah buruk. Pangeran terbuang itu masih belum menyadari posisinya, sampai kapan dia akan menunggu? Apa dia tak mau membuka mata dan menyadari siapa dia sebenarnya?," ejek ku, yang merasa sudah diambang batas kesabaran.

"Tha, apakah ini hasil dari sekolahmu? Apakah ilmu yang kau dapatkan tidak mengajarkan sopan santun dan adab kepada kedua orang tuamu? Berhenti saja, jika memang hasilnya seperti ini. Akan sangat percuma kepalamu diisi dengan ilmu, tapi hatimu tidak," sindir ibuku dengan nada marah.

"Ibu, seekor harimau hanya akan menampakkan taringnya pada musuhnya. Jika seorang ayah menghunuskan pedang pada putrinya sendiri, kenapa aku tidak boleh menodongkan pistolku padanya?," aku masih mencoba tenang dan tidak terpancing untuk ikut marah pada ibuku, "Bu, aku bukan gadis empat belas tahun yang akan diam, saat orang yang kusuka dibunuh oleh teman ayahnya sendiri sebagai bahan percobaan, aku sudah dua puluh tujuh tahun. Selama aku mampu mempertahankan apa yang aku miliki, akan aku pertahankan, meski nyawaku taruhannya," aku berucap mantap. Entah, keberanian dari mana aku bisa berbicara seperti ini pada ibuku.

"Tha jaga ucapanmu! Ibu tidak pernah mengajarkan mu seperti itu," beliau berteriak dengan nada marah.

"Ibu tidak pernah mengajarkan apa pun padaku, ibu meninggalkan ku di rumah sakit selama dua tahun bersama Nana," aku menjabarkan fakta menyakitkan ini, "Saat aku sangat butuh ibu, apa ibu ada disisiku? Bahkan, ketika aku hampir mati karena menyayat nadiku, berusaha bunuh diri karena frustasi, apa ibu memperdulikan aku?. Tidak, ibu malah membuang ku di sana. Sementara kakak, ibu buang ke asrama. Semua untuk ayah, untuk uang membiayai dia hidup," ini sangat menyesakkan, tapi ada rasa puas dalam lubuk hatiku saat sudah mengungkapkannya pada ibu.

"Apa ini hasilmu bergaul dengan anak yang bernama Emma?," aku masih mendengar nada marah dari kalimat ibu, "Kau seperti iblis!,".

'Iblis?,' aku terkekeh miris mendengar kata itu, "Ibu, aku memiliki jiwa iblis ini dari ayah dan aku belajar menjadi iblis darimu," aku tidak menyukai pertengkaran ini. Maka, aku mematikan teleponku dan mengambil kartu di dalamnya, agar ibu tidak bisa menghubungiku lagi.

Muak, hidupku dipenuhi berbagai hal yang sangat memuakkan. Semuanya membuat kepalaku terasa sangat berat, hingga aku hanya berbaring di tempat tidurku.

Aku tidak ingat sudah berapa lama meninggalkan tempat ini. Semua ruanganku terasa sangat dingin. Debu halus memenuhi lantai, membuatku meninggalkan jejak kaki setiap kali melangkah.

Lambat laun jam berputar, mataku mulai lelah. Aku berdoa sebelum tidur, agar saat aku bangun, aku akan melupakan semua yang terjadi barusan. Aku tidak suka bertengkar dengan ibu, karena seperti apa pun beliau tetaplah ibuku. Sama halnya dengan ayah, beliau dia adalah ayahku, tidak akan ada yang bisa kulakukan untuk merubah mereka.

Sore itu, seseorang membunyikan bel berulang-ulang. Dengan mata yang masih sangat mengantuk, aku bangun dan membuka pintu.

Emma berkacak pinggang dengan ekspresi jengkelnya yang menyebalkan, "Aku tidak bisa menghubungi kau dari tadi! Kau kemanakan ponselmu?!," suaranya memekakkan telinga, mungkin bisa terdengar sampai ke planet Mars.

"Ponselku rusak, mungkin besok aku akan beli yang baru," ucapku setenang mungkin, "Sepertinya parah, jadi kubuang sekalian," jelas, aku berbohong untuk yang satu ini.

Emma menyelidik, berbohong padanya bukanlah perkara mudah. Aku lebih sering gagal, ketimbang berhasil. Tapi saat ini, sepertinya dia mempercayainya.

"Tha," ekspresi Emma tiba-tiba berubah, "Ibuku masuk rumah sakit tadi pagi,".

Aku tidak dapat mengatakan apa pun. Ibunya memang sudah lama sakit, tapi aku merasa yang kali ini berbeda. Sepertinya, kondisinya memburuk.

"Bersabarlah, aku tahu jika kau kuat. Nanti, kita ke rumah sakit bersama-sama," Emma dan ibunya sudah lima tahun ini tinggal terpisah. Dia harus mengurus toko cabang yang jaraknya cukup jauh dari rumah sang ibu, sehingga dia harus tinggal di kontrakan yang cukup dekat dengan tokonya. Aku berusaha menghiburnya, walaupun aku tahu bahwa dia bukan orang yang mudah sedih dan menyerah, terlebih sampai seperti ini.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, diam-diam aku mengamati ponselku. Sebuah pesan masuk dari ibu, beliau menginginkan aku datang dalam pertemuan keluarga yang akan diadakan seminggu lagi.

Selama aku hidup, jujur, ini adalah pertemuan kedua untukku dan sebelumnya tidak pernah diadakan secara mendadak seperti saat ini, 'Sepertinya akan ada masalah,' batin ku.

.

.

__________  

Syarat jadi reader sejati Tsabitha : \(^_^)/  

1. Lempar Power Stone terbaik ^^  

2. Gift, beri aku banyak Semangat!  

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan  

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D