Aku terlahir dalam keluarga yang lengkap. Ibuku adalah seorang peneliti sekaligus pengajar, sementara ayahku designer. Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang selisih usianya 2 tahun denganku.
Meskipun berasal dari keluarga yang lengkap, hubungan keluargaku tidak bisa dikatakan baik. Ayahku meninggalkan kami sejak aku masih berusia 7 bulan dalam kandungan.
Kali pertama aku bisa melihat beliau, adalah saat aku berusia 9 tahun. Hal ini menyebabkan aku menganggap ayah sebagai orang asing untukku. Aku melihat semua perjuangan ibuku untuk bisa bersamanya, sejak aku masih kecil sampai sekarang. Secara terpaksa, aku pun menerima orang asing yang semua orang sebut sebagai 'ayah' itu menjadi ayahku.
Ayah memiliki ambisi yang kuat dan akan mempertaruhkan apapun untuk dapat mewujudkan ambisinya. Beliau mengorbankan kami, hidup dan waktunya, juga kakek dan nenek. Aku tidak menyalahkan siapapun atas tindakan ayahku, itu adalah pilihan yang dia buat.
Setiap orang bebas menentukan kehendak atas hidupnya, tapi dalam setiap pilihan yang diambil, ada risiko yang harus diterima. Masing-masing individu sebaiknya bukan mau untuk mengambil keuntungannya saja, namun juga harus siap menerima konsekuensi yang ada.
Seorang pewaris tunggal pemimpin utama kelompok penyihir gelap yang terlahir dengan ketidakmampuan menguasai sihir, bahkan yang paling sederhana, adalah aib terbesar yang berusaha disembunyikan nenekku selama bertahun-tahun.
Ayah terlahir dari nenek yang merupakan penyihir hitam terkuat dan kakek yang manusia biasa. Beliau tidak mewarisi kemampuan nenekku, sebab ayahku adalah manusia biasa seperti kakekku dan hal itu, merupakan sebuah aib untuk para penyihir.
Ibu dan ayahku adalah dua orang bodoh yang disatukan dalam sebuah ikrar perkawinan, dan terjangkit satu penyakit akut mematikan yang sering disebut cinta.
Sejak kecil, aku tahu betul seperti apa perjuangan ibu untuk bisa bersama ayah. Mengorbankan semuanya untuk pria itu, bahkan saat ayahku meninggalkannya, ibuku masih saja menunggu seperti orang gila.
Dia bekerja mati-matian dan terjerat hutang di berbagai tempat, setiap kali ayah meminta uang untuk dikirimkan dalam jumlah besar. Disaat yang sama, ibu masih harus membiayai kami. Beliau memilih ayahku dibandingkan kami, meskipun jelas-jelas pria itu meninggalkannya.
Masa kecilku adalah masa-masa yang cukup berat bagiku. Kakak ku dikirim ke sebuah sekolah asrama sejak usia 10 tahun. Aku ingat betul saat kakak menangis hingga suaranya habis karena tidak menginginkan hal itu. Itu semua karena ibuku tidak memiliki waktu untuk mengurus kami, dia harus bekerja keras untuk membiayai kami dan kadang masih mengirim uang kepada ayahku.
Meski ayah sudah pergi meninggalkan kami, sesekali beliau masih menelepon untuk meminta uang dan saat itu, ibu akan bekerja mati-matian seperti orang gila untuk mendapatkan apapun yang ayahku inginkan.
Setelah mengirim kakak ku ke sekolah asrama, aku dititipkan pada Nana. Beliau adalah seorang wanita tua yang tinggal disamping rumahku. Kami berdua seperti sekeping uang logam, berada di dua sisi dunia yang tidak bisa disatukan namun memiliki satu kesamaan, sehingga kami dipertemukan untuk selalu bersama.
Nana tinggal sendirian, karena seluruh anaknya harus bekerja ditempat yang jauh dan hanya akan pulang di hari natal selama beberapa hari saja. Wanita tua itu seperti ibu pengganti untukku, dialah yang menyiapkan sarapan untukku, menjemputku saat pulang sekolah, hingga menemaniku belajar di waktu malam.
Ibu hanya datang beberapa kali dalam setahun, mengirimkan uang kepada Nana untuk membiayai sekolahku dan memenuhi kebutuhan. Kadang, beliau hanya berkunjung untuk sekedar melihatku, tanpa bicara atau apapun, kemudian pergi.
Aku tidak pernah mengetahui seperti apa nasib kakakku di asrama, aku hanya bersyukur karena ibuku tidak mengirimkanku juga ke sana. Terkadang, kakak masih menelepon di hari Jumat, Sabtu atau Minggu. Menceritakan hal yang membuatku tertawa terpingkal-pingkal, namun lebih sering bercerita tentang hal yang membuatku menangis dan menyesali kehidupan yang harus aku jalani.
…
Aku masih benar-benar mengingat kejadian itu. Saat itu, usiaku masih 12 tahun, ibu mengajak aku dan kakak ke upacara pemakaman kakek dari ayahku. Pagi-pagi sekali, kami bersiap untuk berangkat ke asrama kakakku untuk menjemputnya.
Sesampainya di rumah nenek, jam masih menunjukkan pukul 7 pagi. Upacara pemakaman akan diadakan tepat, pukul 8. Aku menunggu di sebuah kursi, di samping jasad kakek yang sudah dibalut kemeja hitam di dalam sebuah peti kayu. Dia tidak terlihat sedang meninggal, tapi hanya tidur di sana dan begitu tenang.
Nenek terlihat mondar-mandir bersama ibuku, mereka kulihat sedang menghubungi seseorang, namun ekspresi mereka terlihat begitu khawatir. Hingga saat jam sudah menunjukkan pukul 8.45, upacara belum juga dimulai, beberapa orang memilih untuk berpamitan karena harus menyelesaikan urusannya.
Beberapa kali nenek meminta agar upacara itu ditunda karena ayah belum juga menjawab panggilan telepon. Hingga saat jam sudah menunjukkan pukul 10, nenek akhirnya menyerah. Beliau mengiyakan agar pemakaman itu dilaksanakan tanpa kehadiran anak laki-lakinya, ayahku.
Ayah tidak menghadiri upacara pemakaman kakek. Saat itu, aku mungkin belum begitu memahami keadaan yang ada, hanya bertanya 'Kenapa ayah tidak datang?,'. Sekarang aku memahaminya.
Ayahku sangat membenci kakekku, beliau selalu menganggap bahwa kakek lah yang membuatnya menjadi seperti dirinya sekarang. Dia dikucilkan semua penyihir, tidak mampu mengemban jabatan nenek ku dan dibuang..
…
Kami berjalan melewati makam, aku memperhatikan mereka satu per satu. Mickey mengatakan bahwa makam-makan itu bukan untuk manusia dan seharusnya aku tidak mampu melihatnya. Sekarang, aku justru bertanya pada diriku sendiri, 'Apa yang sudah terjadi padaku?,'. Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang mereka katakan.
Di dekat makam itu, aku melihat sebuah kawasan yang cukup ramai. Tapi dimataku, pemandangan itu sedikit kabur. Bersamaan dengan aku melihat tempat itu, aku melihat bayang-bayang pohon dan hutan. Mickey memintaku mengikutinya dan meskipun ragu, aku terus saja berjalan di belakangnya.
Pemandangan pasar yang kulihat saat ini sedikit berbeda dengan yang biasa aku temui, aku seperti melintasi mesin waktu dan kembali ke suatu zaman yang belum pernah aku ketahui.tana
Kami menyusuri jalan pasar yang dipenuhi para pedagang dan pembeli yang sedang menawar barang, kios-kios sederhana berjajar rapi. Atapnya terbuat dari kain tebal yang lusuh dengan penyangga kayu dan keempat ujungnya diikatkan pada pasak yang ditanam ke tanah. Lantainya terbuat dari batu yang disusun begitu rapi. Mereka bertransaksi seolah mengabaikan kami.
Aku melihat beberapa barang yang mereka jual memang tidak cukup asing untukku, namun yang lainya adalah benda-benda yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Mickey mengarahkan kami ke bagian pasar yang lebih dalam. Kondisinya yang gelap membuatku merasa tidak nyaman, karena bagian atapnya yang tertutup sehingga cahaya tidak bisa masuk. Aku juga merasa bahwa disini sedikit berbeda dibanding sebelumnya. Lampu-lampu dari kaca patri berjajar rapi, berbagai jenis potongan tanaman yang dikeringkan—mungkin untuk obat, dijual hampir disetiap kios dan juga beberapa benda aneh yang menurutku cukup ekstrim untuk dijajakan.
Kami masih mengikuti kucing gembul itu, ketika dia berbelok pada salah satu kios yang menjual bibit tanaman. Saat itu, bayangan toko bunga tempatku bekerja tiba-tiba muncul. Untuk sesaat, aku merasa sangat ingin pulang.
Aku merasa ada hal yang berbeda dengan Mickey, tidak seperti saat kami masih di Euron, dimana mereka akan sembunyi-sembunyi untuk bisa berbicara denganku. Tapi disini, mereka lebih leluasa untuk melakukannya.
"Masih sedikit jauh," ucapnya, "Kita jalan lurus ke depan sampai di belokan itu," Mickey mempercepat langkah kaki-kaki kecilnya.