Kerberos membawaku terbang menjauhi karavan, menuju gereja Barones melalui jalur yang berbeda. Setelah Mickey menyadari bahwa bayi yang digendong istri pemilik karavan adalah sebuah mummy atau jasad, dia menyarankan agar kami pergi meninggalkan mereka. Aku sebenarnya masih belum paham alasan kenapa kami harus menjauh dari para pedagang itu, karena dia tidak memberikan penjelasan apapun.
Makhluk mitologi berkepala tiga itu membawaku dalam diam. Lautan pasir di bawah kami, terbentang sangat luas. Tidak ada hal lain yang bisa kau lihat kecuali pasir berwarna keemasan dan perbukitan berbatu dengan semak-semak yang mengering. Ini adalah pengalaman pertamaku terbang tanpa pesawat. Aku bisa merasakan kakiku yang mengambang di udara dan hembusan angin yang menerpa seluruh tubuhku.
Kerberos membawaku meliuk-liuk di udara, seolah terbebas dari gravitasi, 'Apakah ini rasa sebuah kebebasan?,'.
Aku cukup takut menanyakan rasa penasaranku pada Kerberos, namun aku sangat ingin tahu kenapa ada orang yang membawa mummy dan kami harus menjauhinya. Sejauh yang aku pikirkan, itu tidak terlalu menjijikan. Terlebih, jasad yang sudah diawetkan itu tidak mengeluarkan aroma busuk sama sekali. Aku bahkan tidak menyadari, bahwa yang dibawa istri pemilik karavan adalah makhluk yang sudah tak bernyawa.
"Apa itu menjijikan,?" aku bertanya diantara hembusan angin malam yang menerpa wajahku. Rasa penasaranku sudah tak terbendung.
"Apa maksud nona?," sepertinya, Kerberos tidak memahami pertanyaanku.
"Bayi itu," jelasku. Aku sedikit meninggikan nada suaraku, karena angin yang berhembus semakin kencang, "Apa menjijikan, menurutmu? Aneh?," tanyaku lagi.
Kerberos hanya terdiam. Aku bosan menunggu anjing ini bicara untuk menjawab pertanyaanku.
"Ayolah! Beritahu, kenapa kita harus pergi? Itu tidak terlalu buruk," aku masih ingat betul, wanita itu membawa bayi dalam gendongannya, menimangnya seolah dia hidup, menyuapinya seakan dia akan memakannya, "Jujur, aku lebih penasaran daripada takut. Di tempatku, itu tidak ada. Ini kali pertama aku melihat hal semacam ini, apa mungkin itu sebuah gangguan mental atau hal yang lain?!," aku mengoceh sendiri, karena Kerberos tidak kunjung menjawab pertanyaanku.
Aku menerawang jauh ke masa lalu, membayangkan jika wanita itu ibuku dan mummy itu adalah aku, "Jika dulu aku seperti anak itu, apakah ibu akan memperlakukan ku seperti wanita tadi pada jasad itu atau beliau akan sama saja?. Meninggalkan ku dan mengorbankan apapun untuk ayah, bahkan mungkin lebih dari itu?," aku masih terus berbicara sepanjang perjalan ini, walaupun Kerberos tak menyahut sama sekali. Tapi, aku tahu dia memahami maksudku, "Jujur, aku tidak menganggap wanita itu gila. Aku akan bilang, aku kagum padanya dan iri pada jasad itu," dia masih diam, suasana menjadi sangat hening, "Ayolah, beritahu kenapa?," desak ku jengkel. Aku berusaha memecah suasana, ini adalah salah satu caraku mengurangi kebosanan, daripada kami hanya terdiam satu sama lain menuju gereja.
Aku tidak tahu jam berapa saat kami sampai, hanya saja, udara terasa lebih sejuk dan matahari sudah turun. Mickey pun sudah berada disana dengan pemilik karavan. Entah karena alasan apa, Kerberos memintaku sembunyi untuk sementara waktu, hingga mereka pergi.
Rupanya, aku dan Kerberos memang mengambil jalur yang lebih jauh, sehingga mereka sampai terlebih dahulu. Aku memperhatikan mereka dari kejauhan dan tentunya istri si pemilik karavan. Dia sedang menimang bayi dalam gendongannya, meskipun aku tidak dapat memahami jalan pikirannya, ada sesuatu yang membuatku tenang dan ingin menangis bersamaan.
…
Gereja Barones bukan nama sebenarnya dari tempat ini, namun karena bangunan ini ditemukan pertama kali oleh pedagang bernama Barones dan kelompoknya, orang-orang menjadi lebih familiar menyebutnya sebagai gereja Barones.
Gereja ini terletak di tepi jurang yang sangat dalam, sebagian bangunannya bahkan telah tergerus angin dan berjatuhan ke dasar jurang. Sekarang, hanya tersisa 3/4 bagian yang utuh. Dindingnya dibuat dari batu marmer putih, begitu juga dengan lantainya. Kaca-kaca patri dengan berbagai motif dan warna menghiasi jendelanya yang menjulang tinggi. Kubahnya yang putih bagai terbuat dari salju, jika dilihat dari luar. Memiliki lukisan yang menceritakan perjalanan rohani yang dibuat dengan sangat baik di bagian dalam, meskipun sudah banyak yang rusak.
Diam-diam aku masuk kedalam gereja melalui celah pintu yang sedikit terbuka, saat Mickey dan Kerberos berbincang dengan pemilik karavan. Karpet merah yang telah berubah menjadi coklat dan ditumbuhi rumput, masih tergelar menuju bagian altar yang telah menghilang jatuh ke jurang.
Bagian dalam gereja sudah berubah menjadi taman lily. Berbagai jenis bunga itu tumbuh dengan subur di atas lantai yang terbuat dari marmer putih dan hanya menyisakan sedikit lahan kosong. Mereka bermekaran dan menguarkan aroma harum yang memikat. Tempat ini seperti oase di tengah gurun, di luasnya gurun berpasir yang gersang dan bukit berbatu yang terjal, gereja ini justru dipenuhi tanaman yang hijau.
Aku tidak henti-hentinya mengagumi apa yang aku lihat sekarang. Suasana disini seperti mampu membawaku masuk dalam negeri dongeng Cinderella atau Snow White. Yang aku butuhkan sekarang hanya pangeran berkuda, gaun yang bagus dan sebuah cerita romance. "Sial!," umpatku yang akhirnya sadar hanya seorang jomblo dengan beban tugas akhir kuliahnya.
Beberapa bunga menarik perhatianku. Warna mereka begitu cerah dibandingkan bunga-bunga lain yang kulihat. Motifnya menyerupai lidah api berwarna jingga, dengan dasar kuning pucat. Aku berjalan ke dalam gereja untuk melihatnya lebih dekat. Saat kakiku melangkah semakin jauh, aku juga melihat tanaman lain dengan motif yang sama. Jumlah mereka paling sedikit dibandingkan tumbuhan lain dengan jenis serupa.
Siang itu, gereja masih sangat sepi, hanya ada beberapa orang yang sama denganku—melihat sekeliling. Diam-diam aku memetik bunga itu lalu memasukkannya ke dalam tas, kemudian pergi.
Aku kembali, melirik dari celah pintu. Saat kulihat para pemilik karavan pergi, dari kejauhan Mickey memanggilku. Aku segera menghampirinya. Aku sangat ingin menanyakan, kenapa tadi kami harus berpisah dan aku harus menjauhi kelompok pedagang itu.
"Mereka sudah pergi?," Mickey mengangguk, "Kenapa tadi kita harus berpisah jalan?,".
"Harus ada yang menjadi korban," jawaban Mickey semakin membuatku bingung, "Mereka mencari manji. Apa kau tahu, para manji tidak bisa melakukan itu sendiri?," mata safir kucing itu melirik pada Kerberos.
Aku semakin bingung, "Apa?," tanyaku penasaran.
"Jumlah roh yang datang ke dunia roh, harus sesuai dengan total orang yang meninggal. Seluruh rohnya juga tidak bisa berkurang, kecuali reinkarnasi. Saat kau meminta manji memberikan satu nyawa, dia mengambil roh dari dalam alam roh dengan menipu orang ini," Mickey melirik Kerberos dengan memberikan penekanan pada kata 'orang ini', "Dan menggantikan roh yang dia ambil dengan roh lain, sehingga jumlahnya akan selalu sama," jelasnya.
"Jadi?," aku melihat pada Kerberos. Sekarang, sepertinya aku paham alasan anjing putih itu tidak mau menjawabku tadi. Aku akan mengetahui kelemahannya. Dia bisa menghitung roh yang ada, tapi tidak hafal dengan masing-masing roh. Sehingga, saat kau mengambil 1 dan menggantinya dengan yang lain, dia tidak akan tahu.
"Para manji adalah musuh besarnya," imbuh Mickey, nada bicaranya terdengar mencela.