"Kamu kemanakan boneka itu? Kenapa sejak kecil, kamu selalu menyusahkan ku?," teriaknya seperti orang gila.
Ini adalah sosok ayahku yang sebenarnya. Aku selalu berharap beliau mampu mengendalikan emosinya, merubah sikapnya dan lebih menghargai keluarganya, bukan terus mengejar kepercayaan kelompok penyihir hitam yang selalu dia banggakan.
Mereka tidak pernah menganggap keberadaan ayah, karena ayahku tidak mampu menguasai sihir. Beliau memang mewarisi darah penyihir dari nenekku, namun juga darah manusia biasa dari kakekku.
Ayahku membenci kakek setengah mati, hingga hari saat beliau meninggal, ayah tidak mau datang di pemakamannya.
"Bukan aku yang menyusahkan ayah, tapi ego ayah lah yang sudah menyengsarakan hidupmu sendiri!," wanita disampingnya berdiri dengan posisi siaga. Kerberos berubah ke wujud aslinya, sementara Mickey mundur ke belakang. Aku melihat para burung batu bersedia di antara rimbun dedaunan pohon, mereka membawa sesuatu yang berwarna merah membara di kakinya.
Aku berlari hendak menerjang ayah, tapi sebuah ledakan yang tiba-tiba tepat berada di depanku, membuatku terpental ke belakang. Aku terjungkal dengan luka gores dimana-mana.
Tak ingin hal yang lebih buruk terjadi, Mikey memberikan aba-aba pada para burung batu, sementara Kerberos berusaha menghalau setiap wanita itu hendak merapal mantra.
Salah satu burung melemparkan kerikil merah seukuran biji jagung ke arah wanita di samping ayah. Dan, saat lemparan batu kecil itu berhasil mengenai kakinya, seketika kaki itu hancur menjadi abu.
Wanita itu berteriak kesakitan sambil membungkuk. Aku mengambil kesempatan untuk memukul ayah, tapi aku yang justru dipukul hingga terpental ke sungai yang ada di samping rel.
Aku berusaha untuk naik dan saat aku sampai di atas, aku melihat kaki depan Kerberos yang terluka dan ayah yang membawa pisau. Wanita tadi pun masih berteriak kesakitan.
Jarak ayah yang cukup jauh dari wanita itu, ku manfaatkan. Satu letusan terdengar berteriak di malam yang sunyi. Sebuah peluru menembus kepala wanita itu, berikutnya dia terkulai tak berdaya, sama persis seperti yang terjadi pada Zie.
Kualihkan moncong pistol yang kubawa tepat ke wajah ayahku, "Aku menghormati ayah, lebih dari siapapun di dunia ini. Setelah kamu mengabaikan ibu dan kakakku, aku masih saja menghormatimu. Jangan buat rasa hormatku kotor dengan kelakuanmu yang tidak pernah bisa aku tiru. Teruslah mengikuti egomu, tapi jauhi kami," aku muak dan lelah dengannya. Ini, bagiku adalah perpisahan, "Pergilah, sebelum aku memecah kan kepalamu. Gigi dibalas dengan gigi dan darah dibalas dengan darah. Antonie bisa melakukannya pada Zie, akupun juga bisa!" aku mengancamnya, meski tanganku gemetar, "Aku mewarisi tubuh manusia ibuku, tapi jiwa iblis yang kupunya adalah darimu,".
Ayah tertawa terbahak-bahak, seolah aku dianggapnya sedang bercanda.
"Dorr!!" letusan kedua terdengar, aku sengaja membuatnya meleset dan hanya mengenai lengan ayah, "Pergilah! Aku mengampunimu", ucapku sambil memasukkan pistol ke dalam ransel, "Jangan temui ibu dan kakak ku, atau aku akan membunuhmu," aku berjalan ke arah Mickey dan Kerberos. Mereka menatapku dengan tatapan yang sama sekali tak bisa ku artikan. Tubuh mereka hanya terdiam, terkunci pada satu posisi, sementara matanya mengikuti tiap gerakku yang sedang membereskan barang-barangku yang berceceran saat aku terpental tadi.
…
Ayahku terlahir dari seorang ibu yang mampu menguasai sihir dan seorang ayah manusia biasa. Saat beliau berumur 10 tahun, beliau tidak kunjung mampu menaklukkan mantra satupun. Hal itu terjadi hingga beliau dewasa.
Ayah yang merupakan anak tunggal nenekku, pada akhirnya tidak mampu meneruskan jabatannya sebagai pemimpin dari para penyihir selatan yang terkenal elit, dibandingkan kelompok lain. Hal ini menjadi aib, bukan hanya untuk keluarga nenek, namun juga seluruh perkumpulan penyihir hitam.
Keberadaan ayah berikutnya di kelompok itu hanya menjadi bukti atau tanda bahwa mereka masih menghormati nenekku, namun semua perlakukan berubah setelah nenek meninggal.
Posisi ayah yang awalnya sudah sangat rendah, saat itu menjadi semakin tak dianggap. Namun, ayah masih percaya bahwa suatu saat, dia akan mampu menggantikan nenek.
Ayah melakukan apapun untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Beliau meninggalkan kami, saat aku masih berusia 7 bulan.
Saat itu, mereka menemukan zona nol, dimana di tempat itu, sihir menjadi netral. Ayah satu-satunya orang yang tidak memiliki sihir, kemudian ditugaskan di sana untuk sekedar mengawasi. Alasan utamanya adalah tidak ada satupun penyihir yang mampu melakukannya, selain ayahku yang memang tidak punya kemampuan menyihir.
Ibuku sangat mencintai ayahku. Ibu masih mau mengunjungi ayah saat beliau membangun rumahnya dan memberinya banyak hal.
Saat aku masih kanak-kanak, ibu mengajakku mengunjungi ayah, itu adalah kali pertama seumur hidupku melihat wajah ayahku.
…
Ayah pergi membawa jasad wanita tadi, sementara aku terduduk lemas di depan Kerberos. Tanganku gemetar seperti terserang tremor, air mataku luruh tanpa kusadari.
"Aaargh!," Teriakanku menggema, aku menangis sejadi-jadinya, setelahnya. Ku lihat Mickey mendekat, lalu duduk disampingku, sedangkan Kerberos menunduk dan terdiam, "Apa salahku?," tanyaku pada mereka, "Apakah kelahiranku adalah sebuah kesalahan? Kenapa aku tidak seperti teman-temanku yang lain?," tidak ada jawaban yang aku dapatkan dari mereka. Dua makhluk itu hanya terdiam menatapku.
Kerberos menyarankan agar kami istirahat di suatu tempat dan mungkin melanjutkan perjalanan besok siang, tapi Mickey melarang kami berhenti.
"Kita akan melanjutkan perjalanan malam ini," putusnya, dia mengarahkan kami untuk pergi ke bukit yang tak jauh dari sungai, "Ikuti saja sungai ini, tak jauh dari sini, ada pemakaman umum. Tempat yang akan kita tuju tak jauh dari pemakaman itu, setelah kita melewati portal,".
"Apa? Portal?," tanya Kerberos, "Zarina? Jangan bilang dia tidak tinggal di dunia ini?," anjing putih itu menuntut penjelasan.
"Zarina sudah meninggal, nak," ucap Mickey dengan nada mengejek, "Sama seperti Zie, rohnya tidak berada di alam roh. Dia menyegel rohnya sendiri pada tubuh em," kucing itu terlihat bingung untuk menjelaskannya, "Nanti saja kujelaskan, kita sudah dekat sekarang," dia memberi isyarat agar para burung batu sembunyi.
"Tha, kamu pasti kuat! Sebentar lagi kita akan sampai," hibur Mickey, dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
Kami berjalan pelan menyusuri sungai malam itu. Tubuhku masih sedikit gemetar, dan tentunya Mickey tak bisa berjalan cepat mengimbangi kami.
Tak berapa lama kami berjalan, aku melihat satu batu nisan dan berikutnya kami melihat batu-batu yang lain. Makam disini terlihat sangat tidak terurus dengan jasad yang dikuburkan sangat berantakan. Mereka tertutup dedaunan kering dan ditumbuhi rerumputan yang meranggas. Nisannya pun hanya berupa bantu tanpa nama.
"Siapa yang dimakamkan disini?," tanyaku penasaran, "Sangat berantakan dan tak terurus. Maksudku, apakah tidak ada keluarganya yang datang untuk membersihkannya atau petugas makam?," saat pertama kali melihatnya, jujur saja, aku merasa penasaran.
"Oh', nona bisa melihatnya?," ucap Kerberos kaget.
Aku yang mendengarnya merasa bingung. Aku menghentikan langkahku dan mengamati baik-baik pemakaman itu, "Aku tidak salah lihat, kan?," tanyaku memastikan.
"Nona tidak salah lihat, itu memang pemakaman. Hanya saja, bukan manusia yang dikuburkan di sana," Mickey turut menghentikan langkahnya.