"Bangsat lo, orang ganteng kayak gue mana bisa dia malu." balasnya. tanpa peduli Nara mau muntah atau bergidik ngeri dengan ucapannya barusan.
"Percuma GANTENG DOANG, TAPI NGGAK PINTER!" pekiknya sembari beranjak pergi menuju ke anak tangga.
Manu melemparkan bantal kecil dari sofa ke arah Nara, "Amit-amit punya calon bini kayak lo! Nggak ngehargain kegantengan gue." pekik Manu,
Gadis itu tak memperdulikan Manu, ia segera menaiki anak tangga menuju kamar. "Siapa juga yang mau jadi bini lo, haha." celetuk Nara membuat Manu agak marah dan mengejarnya ke atas. "Setan, dia ngejar gue."
"Sialan lo. Sini nggak, gue cium mampus lo!" Manu berlari menuju ke atas menyusul Nara ke kamar sehingga gadis itu geli sendiri. Mengusik Manu sama saja membuatnya memberikan nyawanya ke cowok itu.
****
Nara memasukki perpustakaan di sana, ada Gevan yang tengah duduk di atas meja. Gevan memang anak brandal, tak beda jauh dengan Manu. Nara menghampiri cowok itu, kemudian menepuk pundak Gevan sampai menoleh ke arah Nara.
"Kok lo di sini, Ra?" tanya Gevan sembari duduk yang benar.
"Nggak papa kok, btw lo ngapain disini sendirian? Tumben bngt." tanya Nara, merasa aneh dengan Gevan.
"Hehe, gue emang sengaja ke sini. Karena lo mau ke sini juga." ujar Gevan.
"Ada aja lo, hehe." ujar Nara, kemudian ia memilih-milih buku untuk dibaca.
Gevan pun mengikuti Nara. Gevan memang memiliki rasa suka dari dulu dengan Nara. Hemm dah lama dung, Nara pun biasa saja di samping Gevan. "Nara, lo satu apartement ya sama manu?" tanya Gevan.
"Em iya, karna mama dan papa kenal dekat sama keluarga Manu." jawab Nara
"Lo nggak ada perasaan kan sama Manu, sebenernya lo jangan dekat-dekat banget sama Manu, Nar." ujar Gevan. Ia tahu bagaimana kelakuan Manu yang playboy tingkat akut. Kemarin saja manu terlihat membawa seorang gadis ke kantin, dan itu bukan Deby.
"Em, gue cuma anggap dia sahabat aja van. Lagian manu juga nggak ada perasaan sama gue. Meski selalu gatel dan tengil ke gue." ujar Nara, dalam hati yang paling paling dalem Nara bingung dengan perasaannya sendiri.
"Ya bagus deh, gue cuma nggak mau lo dapet cowok yang kayak dia. Yang ada lo selalu sedih dan sakit hati. Tengil kek begitu kelakuannya." cibir Gevan.
"Ini nih tipe-tipe orang nggak sadar diri." sindir Nara sembari melirik sengit ke arah Gevan. Penampilan Gevan saja badboy kelas kakap, tak ada beda dengan Manu.
"Ya kan gue itu ... apa tuh gue cuma nasehati lo doang." ujarnya. Padahal ya Gevan sangat menyukai Nara, sudah pasti tak mau jika Manu lebih cepat darinya.
"Alasannya ada aja. Dasar Gevan, abang gue yang paling ganteng." ujarnya sembari mencubit kedua pipi Gevan.
"Aw sakit Nera. Makin tembem dah pipi gue." cetusnya.
"Biarin," ledek Nara, kemudian Nara tersenyum lebar memperlihatkan gigi rata yang membuatnya terlihat sangat cantik sekali. Gevan yang melihatnya sangat mengagumi sekali, kenapa Nara dulu disia-siakan oleh Gavin. Seharusnya Gevanlah yang memiliki Nara. Hemmmm.
"Sakit ya cuma dianggap abang doang. Padahal cinta gue tulus sama lo." ucap Gevan membuat Nara melirik ke arah cowok itu. Kalau saja tidak beda Agama mungkin saja mereka bersatu sekarang.
"Kita LDR nya jauh banget. Nggak bisa seperti yang lainnya." ujar Nara.
"Boleh peluk nggak?" Gevan ingin memeluk gadis itu sebentar saja. Walaupun tak bisa memilikinya Gevan ingin selalu menjaga Nara dari kejauhan. Ia tak mempercayakan Nara kepada Manu.
"Boleh." jawab Nara. Kemudian Gevan memeluk Nara dengan erat, "Bisa nggak sih selamanya lo buat gue? Ah harapan yang tak pasti itu sakit ya." ungkapnya. Mencintai memang tak harus memiliki.
****
Manu berjalan saja sudah menebarkan pesonanya kepada gadis-gadis. Namun, banyak pula gadis yang menatap ke arahnya, tatapan mereka tergila-gila dah terhipnotis dengan ketampanan Manu.
"Manuuu, ganteng bangettt ni orang anjay."
"MANUUUUU, SARANGHAEEEE."
"MANUUU, SARANGAN TAHUUU."
"MANU GUE KENTANG, KERJAAN GUE HALUIN ELU." ujar gadis berambut pendek sebahu, berteriak seperti itu. Menunjukkan betapa bucinnya dengan Manu.
"Anjay, geli gue dengernya," cibir Nara, yang sudah berada dikantin dengan teman-temannya. Nara yang melihat logat tengil Manu, memutarkan bola matanya jengah. Malas sekali dengan kelakuan anak itu.
"Bisa minggir? " ujar Manu kepada salah satu murid yang sejak tadi duduk ditempat itu. Namun, ia memilih pergi saja dari pada ribut dengan seorang Manu tengil. Manu melirik ke arah Nara yang tengah sibuk tertawa dengan teman-temannya. Manu terbayang kejadian semalam, saat Nara menahannya untuk pergi dari kamar.
"Btw, kemaren lo di tanyain sama ketua gangster di sana. Karna lo jarang gabung sama mereka." ujar Jake.
"Kemarin baru aja gue ke sana. Cuk," jawab Manu. Memang benar, ia dan arka sedang memburu seseorang yang meneror Nara. Kelihatan dicctv itu seorang gadis, tapi tidak tahu siapa gadis itu.
"Oh ya, telat dong gue. Ahah dia nanya 2 hari yang lalu." ucapnya sembari tertawa.
"Untung temen gue, kalo bukan gue kasih jurusnya minato." cibir Keano.
"Kasih duit, diem dia." sahut Manu.
"Keenakan dia, lempar ke jurang aja." ujar Keano, mendapat dorongan dari Jake. Mereka hampir tersungkur.
"Sadis lu, kasian adel nggak ada yang nemenin." ujarnya.
Mereka melanjutkan makan siangnya di kantin, Deby yang sejak tadi memperhatikan Manu. Hanya tersenyum tipis, semenjak tinggal bersama Nara. Manu nampak acuh padanya, bahkan banyak alasan saat Deby meminta jalan bersama manu. Perasaan tidak suka muncul di hati Deby, iri dengki dah pasti!