Gadis itu duduk di balkon kamarnya, teringat dengan perkataan Manu yang selalu menggodanya. Ada perasaan lain dihatinya, ia juga bingung sendiri kenapa jantungnya berdebar lebih cepat saat bersama Manu. Nara tersenyum, tak mau berharap dengan seorang Manu playboy kelas kakap itu. Yang ada nanti Nara cinta bertepuk sebelah tangannya, pikir Nara.
Seperti biasa Nara memeluk foto Liana, ia begitu merindukan sosok ibu. Ibu adalah segalanya, dan Vino juga sudah menggantikan Liana. Sosok ayah yang sekaligus menjadi ibu untuk Nara. Namun, kerinduan Nara pada Liana bukan hal yang mudah. Jika orang lain merindukan ibu yang telah tiada, mereka akan pergi ke makam mendoakannya di sana. Tapi Nara, jasad ibu nya saja Nara tidak tahu.
Akhirnya Nara berdoa dalam hati, dengan memejamkan matanya sebentar. Berdoa agar ia akan bertemu dengan ibunya, semoga Liana masih sehat dan bisa menemuinya lagi. Nara tak yakin jika Liana sudah meninggal.
"Nara," panggil Oma Nesia tiba-tiba.
Nara membuka matanya setelah berdoa, kemudian ia terkejut dengan kedatangan Oma Nesia. Oma Nesia adalah mamanya Vino, Oma Nesia sangat menyayangi cucu satu-satunya ini. Sebagaimana Nara mempunya trauma yang cukup dalam setelah kecelakaan itu. Sampai kehilangan Liana.
"Oma, kenapa gak bilang Nara mau kesini. Terus Oma sama siapa? Ih lain kali biar Nara yang ke rumah Oma." ucap Nara tanpa jeda, gadis itu tiba-tiba mencemaskan omanya dengan cerewet.
"Emangnya kenapa? Oma kesini sama sopir kok. Lagian kamu kan sibuk sekolah dan belajar sayang. Biar Oma yang ke sini. " jawab Oma Nesia sembari mengelus rambut cucunya.
"Enggak juga kok Oma, hehe maaf ya Nara suka ngerepotin." ujar Nara sembari memeluk Oma nya penuh kasih sayang.
"Gak ngerepotin, tapi kamu makin bawel sama Oma." kata Oma Nesia kemudian tangannya membalas pelukan Nara.
"Oma kan harus selalu jaga kesehatan, jadi harus banyak-banyak istirahat di rumah. Nanti kalau Nara libur sekolah, Nara jemput Oma terus jagain oma di sini. " ujar Nara
"Paling kamu nanti minta liburan kan hehe. Hayoo." goda Oma Nesia.
Nara melerai pelukannya," Oma, nara serius. Kesehatan Oma nomor satu, Nara sayang sama Oma."
"Iya iya, Oma bercanda kok. Oma juga sayang sama kamu,"
Oma Nesia tak mau membahas foto yang Nara selalu peluk, karena Nara nanti akan kembali sedih. Anak itu mudah sekali terenyuh, apalagi tentang orang yang ia sayangi. Kemudian Oma Nesia mengajak Nara memasak untuk makan malam. Nara tersenyum lebar, tertawa bahagia dengan Oma Nesia yang selalu meledek cucunya.
****
Lampu yang terang membuat Liana terbangun, membuka matanya perlahan semuanya buram. Kemudian ia melihat dokter beserta suster berada disampingnya. Dokter itu tersenyum lega, melihat orang yang dibawa tadi telah sadar.
"Saya dimana? Terus siapa yang bawa saya kesini? " tanya Liana bingung.
"Saya yang membawa kamu kesini, kamu tadi pingsan. Kamu kelelahan, jadi istirahatlah," ujar Dokter Woojin yang masih sangat tampan tak berubah.
"Terimakasih Dokter." ucap Liana, kemudian dokter memeriksanya lagi.
Liana termenung, harus dimana lagi ia mencari Vino dan Nara. Rumah mereka yang dulu sudah ditempati oleh orang lain, begitu juga rumah Zara dan Bara.
"Dimana mereka sekarang?" gumam Liana.
"Nara, Mama kangen kamu, Nak pasti kamu menganggap Mama udah pergi ninggalin kamu. Hikss Nara, Vino. Aku di sini. Aku masih hidup." gumam Liana sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis, betapa nelangsanya Nara tumbuh besar tanpa sosok ibu.
Ada yang belum ia temui, yaitu rumah mertuanya. Liana yakin, rumah Oma Nesia masih berada di sana.
****
Nara duduk di bangku kelasnya, ia sedang berbincang dengan teman-temannya. Meski tak banyak bicara tapi Nara harus merespon mereka. Meski dengan senyuman tipis, kepribadiannya begitu dingin disekolah. Judesnya apalagi.
"Eh nar, lo dicari seseorang." kata adel
"Siapa?" tanya Nara.
"Manu, siapa lagi deh." balas Adel.
"Oh, ngapain dia nyari gue."
"Samperin aja, kalau nggak gue aja deh yang nyamperin. Seger gue pagi-pagi liat wajah gantengnya dia," ujar Adel.
"Ah jadi masalah nanti, udah sana." sahut Arina.
"Okelah," ucap Nara kemudian keluar kelas menemui Manu yang menunggunya.
Manu berdiri di depan kelas dengan tangan yang ia masukkan ke saku celana. Tangan satunya yang bebas memainkan gelang yang berwarna abu-abu. Dengan gaya cool nya Manu menatap ke arah Nara yang tengah berjalan menghampirinya.
Manu tersenyum tipis, gadis itu berjalan dengan raut wajah dinginnya. "Dasar jutek," cetus Manu.
"Ada apa?" tanya Nara, sembari melipatkan tangannya di atas diperut.
"Judes amat ketemu orang ganteng," ujar Manu.
Nara memutar bola matanya malas, selalu saja Manu mengeluarkan kata-kata seperti itu dengan percaya diri. Ya memang ganteng. "The point aja," ujar Nara
"Lo punya gelang kayak gini?" tanya Manu, sembari menunjukkan gelang abu-abu itu kearah Nara.
"Punya? Tapi gue lupa naro dimana," jawab Nara
"Kok dia punya gelang itu sih, mirip banget." Batin nara.
"Ada nama nya juga kan?"
"Nara dan Manu," sambung Manu.
"Ha apa iya? Soalnya gue lupa," ujar Nara.
Pyyaaaaaarrrrr suara kaca pecah, akibat anak kelas 11 main putsal. Tiba-tiba Nara yang melihat pecahan kaca itu, dirinya mengingat kecelakaan itu. Traumanya menyerangnya lagi kali ini. Nara berkeringat dingin, tangan yang meremas kuat tok abu-abunya. Tatapannya tertuju pada kaca suara khas tabrakan itu teringat lagi. Manu yang kembali melihat Nara berdiri kaku di depannya, ia bingung ada apa dengan gadis ini.
Nara menutup kedua telinganya, agar tak mendengar dan tak ingat lagi suara itu. Tiba-tiba dirinya menangis, memejamkan matanya memojokkan dirinya kedinding. Manu bingung, saat akan mendekati Nara. Gavin datang dan memeluk Nara kemudian mengelus pundak gadis itu secara lembut. Membuat Nara tenang, meski begitu Nara beriak ketakutan. Traumanya menyiksa dirinya, yang lain nampak panik dan bingung. Ada apa dengan Nara?
"Tolong, jangan muncul lagi. Tolong!" teriak Nara kemudian Gavin semakin erat memeluk Nara. Sejak kecelakaan itu, Nara sensitif sekali dengan pecahan kaca suara mobil bertabrakan dan kadang suara itu muncul sendiri. Itu membuat Gavin sangat mengerti dengan keadaan Nara. Dia sudah berteman dekat sejak SMP yang dimana Nara sering mengalami kejadian seperti ini.
Saat SMA, hari ini ia pertama kalinya trauma nya menyerangnya lagi. Karena melihat pecahan kaca di depan matanya.
"Nara lo tenang, pliss yang tenang." ujar Gavin
Matanya panas melihat Gavin memeluk gadis yang dia inginkan, kemudian Manu mengambil alih. Ia menyingkirkan Gavin dan kemudian menggantikan posisi cowok itu menenangkan Nara.
"Minggir," kata Manu dengan tatapan tajam serta panik.
"Plis, Nara butuh gue." ujar Gavin.
"Dia butuh gue, gue pacarnya." ujar Manu, kemudian Gavin mengalah dan membiarkan Manu menenangkan Nara.
"Nara," ujar Manu sembari memeluk menepuk pelan pundak nara. Kemudian Nara terdiam melepaskan tangannya yang menutup kedua telinga. Ia berada di dekapan Manu.
"Manu ..." belum menyelesaikan ucapannya Nara pingsan, Gavin semakin panik. Kemudian Manu dengan cepat membopong Nara membawa ke ruang UKS.
T B C.