Chereads / White Love In The Dark Sky / Chapter 59 - Teror

Chapter 59 - Teror

Sebuah ruang cukup besar, terdiri dari satu ruang utama yang berisi 5 meja dan 15 kursi. Ruangan itu menyatu pula dengan beberapa meja sayuran.

Di toko ini selain menjual Jus sayur juga menjual kue dari sayur seperti panekuk, berbagai pizza vegetarian dan makanan olahan fermentasi seperti kimci.

Di pintu samping toko, di luar, Pak Ochi sedang mengemasi beberapa kotak sayur dan buah segar yang akan diantar pada kloter kedua, pukul dua siang ini. Tentu saja aku dan Mas Yushimaru yang pergi mengantar sayuran itu.

Tanpa membuang waktu, aku membuka loker di ruang karyawan dan pergi segera ke toilet.

Aku masuk pada salah satu bilik toilet perempuan. Terdengar pintu bilik lain tengah terbuka beberapa kali secara terus menerus.

Aku berpura-pura tidak mendengar semua itu. Mereka mungkin arwah penasaran yang terperangkap di sekitar toko ini.

"Pssst ... Pssttt," suara perempuan mendesis meminta perhatian.

Suara itu berbisik tepat di telingaku. Dingin dan baunya seperti bau kulkas. Apa dia mati dibenam di kulkas dan membeku? Entahlah, aku hanya terpikir seperti itu.

Aku paling tidak suka melihat wajah mereka yang menyeramkan dan kadang mendekat secara mengejutkan.

Selain berpotensi meningkatkan detak jantung, aku jadi makin takut. Hari-hari yang dibalut rasa takut adalah kondisi psikis yang abnormal.

"Hai, adik kecil. Kau punya aura yang bagus. Berhati-hatilah, sekarang banyak hantu yang hilang jejaknya. Ada pemakan hantu di luar sana sedang berkeliaran."

Telingaku bergerak, saat bisikan itu makin jelas dari telinga kiri.

[ Seenaknya mereka melanggar privasiku. Apa dia tidak bisa menahan diri selagi aku berganti pakaian? Hantu kurang ajar. Ternyata semua hantu sama seperti Renji. ]

[ Ah, dia bilang pemakan hantu! Hantu bisa dimakan? Siapa yang mau makan tubuh berbau busuk seperti kalian? Setan-setan ini pasti sedang menipuku." ]

"Aku terperangkap dua hari di sini, tolong keluarkan aku. Setelah ini ... aku akan memberimu apa yang kau mau. Tembok-tembok ini tidak bisa ditembus. Aku sudah lelah untuk keluar." Suara hantu itu sedikit gemetar, seolah-olah cemas dan ketakutan.

Aku melirik padanya dari celah-celah rambut panjangku.

Wajahnya putih seperti salju dan matanya hitam legam, bibirnya membeku. Tubuh sosok itu meringkuk di sudut gelap. Yang bikin seram, wajahnya yang muncul dari kegelapan.

Setiap kali berbicara, sosok itu menoleh kiri kanan seperti tempat ini tidak aman baginya.

[ Hantu yang aneh. Dia lah yang membuat sebagian manusia ketakutan. ]

Selesai berganti pakaian, aku menyibak rambut yang berantakan.

Aku terperanjat, karena wajah hantu itu tepat di depanku.

"Pinjamkan tubuhmu!"

Suaranya datar. Kedua tangannya memegangi pundakku. Mulutnya menganga seperti karet, bola matanya terbalik menjadi putih.

"Jangan ganggu aku!"

Aku berteriak sejadi-jadinya. Ketakutan membuat tubuhku lemas. Aku menepis tangannya dan berlari keluar.

Pintu kamar ganti tertutup dengan keras di belakangku.

Bruk!

Pandanganku buram dan dahiku membentur dada yang keras. Aku kehilangan keseimbangan dan sempat membuka mata. Kulihat Mas Yushimaru membelalakkan matanya, menatapku.

Kepala belakangku membentur tangannya yang sengaja diselipkan. Hampir saja aku membentur pintu kalau dia tidak menahan kepalaku.

"Yuki, jangan buru-buru begitu. Untung saja aku yang kau tabrak. Kalau Paman Ochi, dia pasti marah sekali."

Mas Yushimaru menarik kepalaku untuk menjauhi pintu di toilet. Dia membuka pintu itu dengan masih memegangi kepalaku. "Kau tak apa? Siapa di dalam sana?"

Aku bersamanya melihat ke dalam ruang ganti, dan hantu tadi sudah tak ada lagi.

[ Beruntung sekali, aku bertemu Mas Yushimaru. Tadi itu mengejutkan sekali. ]

"Kudengar ada teriakan di dalam. Kau bicara dengan siapa?" tanya Mas Yushimaru. Dia merapikan rambutku.

"Tidak, aku hanya terkejut ada kecoak berlari ke arahku. Maaf telah menabrakmu. Apa kita berangkat sekarang?" tanyaku masih sambil mengatur napas.

Mas Yushimaru mengangguk. Dia merogoh saku dan berdiri di belakangku. Mengikat rambutku dengan sesuatu.

"Sejak kapan kau meluruskan rambutmu. Agar tidak terbang kemana-mana sebaiknya diikat saja. Kau punya lekuk leher yang indah, Yuki." Setelah membuat hatiku berbunga-bunga, Mas Yushimaru pergi dan sempat-sempatnya menepuk pundakku.

[ Ah, kalau begini terus. Aku bisa jatuh cinta terlalu dalam padanya. Sikapnya terlalu manis, bukan? ]

Dalam perjalanan mengantar pesanan, kami mendengarkan musik dari radio mobil pickup.

Kubuka kaca jendela, membiarkan angin menjadi AC utama kami di terik matahari nan panas siang ini.

Sesekali Mas Yushimaru bersenandung riang gembira. Selama ini tak ada yang lebih indah selain saat-saat aku bekerja dengan Mas Yushimaru.

Kami mengantar pesanan dari satu toko ke toko lain, kedai hingga restoran bintang lima.

Saat menjelang malam, kami tiba di rumah besar bertingkat-tingkat, dan pagar rumahnya tinggi.

"Ini kiriman terakhir kita. Kau bisa selesaikan, kan?" tanya Mas Yushimaru.

Kami sudah bekerja dari pukul 2.00 siang sampai pukul 6, ini sangat melelahkan. Aku turun dari mobil dan mengangkat dua box sawi. Cukup berat tapi sudah terbiasa.

"Pasti melelahkan sekali. Terima kasih sudah mengantarkannya tepat waktu," ucap seorang bibi berambut panjang yang memberikan uang padaku. Kurasa dia pembantu rumah tangga di sini.

Aku berdiri di atas pot besar dari semen. Kuserahkan dua box itu dari atas pagar. Aku terpatung ketika bibi itu memegang pergelangan tanganku.

Seharusnya dia mengambil boxnya bukan tanganku.

Aku menoleh ke samping box dan jantungnya meloncat-loncat, seketika mata ini bertatapan dengan seseorang berwajah aneh.

Wajahnya putih pucat tanpa kerutan dan tak punya alis. Dia tertawa ketika tangannya memegang erat-erat lenganku.

"Akkhhh!!" Aku mendorong box itu ke wajahnya dan menepis tangannya. Lalu meloncat dan berlari. Kudengar bibi itu terkikik melihat aku ketakutan.

Aku duduk di kursi depan sambil mengatur napas.

"Sudah kau ambil uangnya?" tanya Mas Yushimaru.

Aku menelan saliva sebelum berbicara, "Cepat jalankan mobilnya!"

Dia memandangku bingung, "Kenapa buru-buru sekali? Apakah bibi tadi marah padamu?"

Aku menggeleng dan menyerahkan uang pembayaran dua box sayur ke dalam wadah uang di tengah kursi. Ms Yushimaru pun segera menjalankan mesin mobil.

[ Bagaimana jika mas Yushimaru tahu aku bisa melihat hantu, dia mungkin akan menjauhiku. ]

Aku membenamkan mata dalam-dalam menenangkan diri, mengatur Irama jantung gara-gara terkejut atas perubahan wajah bibi tadi.

[ Jangan-jangan bibi yang tadi sedang kerasukan hantu jahat. Sebab, saat dia berbicara aku tak merasakan aura busuk di sekitarnya. Hantu-hantu jahat merasuki manusia seenaknya. ]

"Kenapa tadi kamu berteriak? Jangan melempar barang kepada pelanggan seperti tadi!" Tegur mas Yushimaru.

Rupanya dia melihatku. "Jadi Mas, tadi melihat tidak wajah bibi itu?"

Mas Yushimaru mengangguk, matanya fokus ke jalan raya.

"Apakah tidak terlihat aneh?" tanyaku lagi.

Dia menggeleng lagi.

Aku membuang napas panjang dan bersandar senyaman mungkin.

[ Mas Yushimaru tidak bisa melihatnya. Kalau dia melihat apakah dia akan merasakan ketakutan yang sama denganku? Siapa saja yang melihat tatapan sosok itu, kurasa akan berteriak ketakutan. Tatapannya seperti mau memakanku bulat-bulat. ]

Sebelum mobil itu sampai di toko sayur, Mas Yushimaru mengajakku makan di kedai pinggir jalanan. Dia membelikanku bento dan nasi seperti janjinya tadi siang. Kami makan bersama untuk beberapa saat.

Pada pukul 7.00 malam, mobil sampai di bagasi toko.

Aku pergi lebih dulu dari Mas Yushimaru. Biasanya ,sehabis kerja aku mandi di toko. Kali ini, mau masuk ke ruang ganti saja gugupnya setengah mati.

Aku menghitung dari satu sampai tiga dalam hati, baru kemudian masuk. Bergegas melepas celana kerja lalu memakai celana training.

"Aku belum selesai bicara, hai bocah kecil. Dengarkan aku dulu!" Hantu itu berbicara dan hendak mendekatiku.

Kujepit hoodie di antara lengan dan bergegas keluar sambil memakai kaus tipis berlengan pendek.

SLAPP!!

Mataku terpejam sesaat, begitu jaket bumber terlempar di wajahku dan menutupi bagian depan tubuhku. Aku menahan jaket itu, dan melihat Mas Yushimaru berjalan menjauh. "Hati-hati dengan sekitarmu. Jangan berpakaian di ruang terbuka dan tutupi perutmu itu!"

Suaranya datar dan dia berjalan melewati beberapa pria yang datang menggantikan tugasnya.

Jantungku yang berdebat ketakutan, kini makin berdebar karena sikap Mas Yushimaru yang begitu perhatian.

Aku menoleh ke ruang ganti dan hantu itu lenyap.