Setelah masuk ke kamar, aku bersembunyi pada sebuah kotak seukuran mesin cuci di dekat lemari. Untung muat.
Ternyata ada gunanya juga bertubuh pendek.
Aku diuntungkan atas hal itu.
Aku melakukan ini untuk berjaga-jaga kalau si penjaga asrama nekat menerobos kamarku. Akan berabe jadinya kalau dia tahu aku di dalam kamar.
Setelah melewati masa pemeriksaan kamar, penjaga asrama pergi selesai mengabsen seluruh penghuni lantai dua.
Kala itu, aku sempat mendengar namaku disebut beberapa kali beserta hukuman yang dianggarkan sesuka mulut si penjaga itu.
"Dia hanya tidak tahu saja apa yang sedang kualami. Menjadi boneka hantu untuk memuaskan hasrat hantu adalah hal yang pasti tak terbayangkan orang lain. Aku gila, jika terus seperti itu."
Apa pun hukuman yang dia sebutkan tadi, mana peduli, toh sekarang saja aku sedang melarikan diri dari neraka ini.
Demi agar rencana ini berjalan mulus, aku harus membuang waktu, setidaknya menunggu cukup lama sampai semua orang mengunci pintu kamar masing-masing.
Sebenarnya aku merasakan kejadian aneh di kamarku ini. Mungkin tak lama setelah aku kembali ke kamar dan bersembunyi.
Jantungku hampir copot mendengar pintu lemari di sampingku terbuka.
Pasti itu Renji. Beruntung sekali, aku cepat kembali ke kamar sebelum pelayan hantu itu datang. Jika tidak, dia pasti memergokiku tengah berusaha bersembunyi.
[ Dirasukinya, itu sangat mengerikan! ]
Keringat berjalan di sekitar pipiku. Berada di kotak ini membuat seluruh tubuh berkeringat. Sudah cukup lama semenjak kehadiran Renji, aku memutuskan keluar.
Begitu keluar, udara ruangan terasa menyegarkan seluruh tubuhku yang basah oleh keringat.
[ Rasa asam manis pada lidahku mulai memudar. Kata Hiro, efeknya akan hilang sejalur dengan rasanya di lidah. Kalau begitu mungkin beberapa menit lagi. ]
[ Aku harus pergi sebelum Renji kembali kemari dan melihatku. ]
Setelah apa yang dilakukannya padaku, dia masih punya muka mencariku.
[ Dasar hantu brengsek tidak tahu malu! Aku harus memulihkan tenagaku sambil bersembunyi. Kalau hari ini gagal seperti kemarin, kurasa tidak hanya hukuman dari penjaga asrama lantai dua tetapi juga madam Ryio yang ternyata bukan manusia. Pastinya Renji akan turut campur merusak hidupku. ]
Aku sengaja menghindari Sakura. Karena kuat dugaanku kalua Renji pasti bertanya tentang aku pada Sakura.
Aku melepas seragam kampus dan menggantinya dengan kaos oblong, celana training longgar dan hoodie bertudung besar. Kuambil satu permen di kantong hoodie dan memakannya.
Rasa asam manis beraroma delima dan sensasi salju yang dingin di mulut, kupikir nenek Hiro menggunakan piper mint.
Kusentuh saku hoodie dan memastikan sebungkus permen Indigo aman di tempatnya. Aku akan menggunakannya saat terdesak.
[ Kuharap dapat permen lebih. Tetapi ini sudah cukup untuk membuat aku keluar dari sini. Aku hanya khawatir, apa yang kulihat nanti kalau aku bermalam di flat kumuh itu lagi malam ini. ]
Ransel kuselempangkan, kemudian tudung hoodie kutarik ke depan agar rambut tertutup.
Saat jam beker menunjukkan pukul 9.00 malam, baru aku berani keluar.
Berbagai jenis hantu berwajah menyeramkan berpesta pora di ruang tengah begitu jam malam berlangsung, seperti yang kulihat kemarin.
Pintu kamar kubuka sedikit. Dari celah itu tampak pemandangan di luar sepi sekali.
Namun, tidak mengurangi kewaspadaan. Aku mengembulkan kepala di antara pintu dan melirik kesana kemari, memastikan tak ada anak-anak asrama yang memergoki aksi kali ini.
Aku melangkah pelan, hingga tak bersuara. Kemudian menuruni tangga dengan bebas.
Senang sekali karena hidupku seperti kembali pada sedia kala. Tak tampak hantu-hantu memadati tangga, semuanya lenggang.
Kuharap yang dikatakan Hiro benar, bahwa dengan permen ini hantu juga tak akan melihatku. Jadi hanya perlu menghindari mata manusia saja.
Begitu sampai di lantai satu, aku berlari keluar dari asrama menuju gerbang belakang.
Perjalanan tak semudah yang kukira. Karena pada jam malam, ada divisi patroli yang selalu berjaga-jaga menjelang pukul 10.00.
Aku bersembunyi di balik pot bunga dekat pintu belakang, mengamati dua orang yang menjaga pintu.
"Hai ada penyerangan!" Seorang dari mereka berseru tegas.
Kemudian terdengar dari walkie talkie, "Ada penyerangan, kami perlu bantuan di bagian depan gerbang!"
Suara dari walkie terdengar gemericik dan ribut sekali. Dua penjaga itu meninggalkan pintu belakang dan berlari ke arah gerbang depan.
"Siapa yang diserang?" aku bertanya-tanya.
[ Mereka berlari sangat terburu-buru. Pasti terjadi sesuatu. Ah, jangan buang waktumu, Yuki. Ini kesempatan. Tidak ada yang menjaga pintu belakang. ]
Kudorong pintu gerbang belakang. Suara besi berdecit melengkik, sempat membuat aku tercekik, gugup.
Aku keluar sambil menahan pintu agar tidak menarik perhatian.
Sejauh ini situasi masih terkendali. Aku mengambil jalan dari arah belakang gedung universitas. Sebuah kawasan yang dipadati rumah penduduk. Dari jalan itu, aku mengambil jalan pintas untuk sampai ke jalan utama yang besar.
Kalau beruntung mendapatkan taksi, meski harus merogok uang agak mahal dari biaya bus. Namun, bukan itu yang harus diperhitungkan, tetapi cara menyelinap ke apartemen lamaku. Kuharap kamar apartemen itu tidak dikontrakkan.
Setelah menyusuri jalan nan sepi, aku menemukan jalan besar. Beberapa orang berlalu lalang, ada yang mabok ada yang keluar dari bar, beberapa bocah nakal dan beberapa penjual makanan jalanan. Semuanya tentang dunia malam di Jepang yang penuh dengan entrik.
Aku berjalan di padestrian sambil memainkan tali ransel dan menikmati pemandangan malam; pada lampu-lampu jalanan, mobil yang sibuk meramaikan lalu lintas dan gedung-gedung tinggi yang mulai surut oleh cahaya.
Tit
Tit
Tit
Aku terperanjat, dan mundur dari arus jalan.
Sebuah mobil berhenti di tepi jalan. Kaca jendela terbuka, jantungku langsung berdebar-debar.
Di mobil itu, Mas Yushimaru melambaikan tangan padaku.
"Yuki, apa yang kau lakukan malam-malam begini? Ayo masuk ke mobil!" Mas Yushimaru dengan wajah senang menatap padaku.
Ini namanya keberuntungan. Sebuah pertolongan yang diberikan Tuhan saat anak manusia nan malang ini sedang kesulitan.
Aku tak bisa menahan mulut dari senyum lebar. Betapa senang melihatnya. Mas Yushimaru datang diwaktu yang tepat.
Aku sedikit berlari dan memasuki mobilnya. Kuletakkan ransel di kursi belakang.
"Kulihat wajahmu kusut sekali. Kau mau kemana? Omong-omong kenapa bawa ransel besar begitu. Kau keluar dari asrama?"
Pertanyaan tepat dengan situasiku. Aku mengangguk meski malu. Kuharap dia tahu bagaimana kerasnya hidup di asrama.
"Aku terpaksa. Asrama itu sedikit tidak cocok denganku," kujawab sedikit samar dengan fakta sebenarnya.
Mobil merangkak memasuki jalur lalu lintas.
Dia sesekali melirikku. Aku balas meliriknya.
"Lalu sekarang bagaimana? Maksudku, kau mau kemana?"
"Bisa antarkan aku ke apartemen lama, aku rindu tidur di sana," jawabku singkat.
"Kau yakin. Kamarmu tidak dalam kondisi baik. Kalau kau mau, kau bisa tinggal di apartemenku."
"Eh?!"
Tawaran itu bagaikan sengatan listrik. Aku terkejut, jantungku terguncang lagi oleh ucapannya yang tidak bisa ditebak.