Tanganku yang gemetaran, lekas kusembunyikan dibalik Hoodie.
"Mie cup-nya pasti sudah masak ..."
Aku menarik mie cup di samping tubuhku, tetapi mendadak tak terangkat.
Ketegangan ini membuat keronglonganku jadi kering.
[ Hantu yang satu ini gigih sekali, dia menahan mie cup ku. ]
[ Apa yang akan dia lakukan selanjutnya? ]
"Sepertinya belum masak. Sebentar lagi, akan kutunggu sebentar lagi!" Aku bergumam dan menarik tanganku dari mie cup.
Hantu itu mendengus, angin berembus menyapu wajah hingga rambutku bergerak.
"Aku tidak salah, mata kita sekilas saling bertemu, kan? Ah, untuk apa kau sembunyikan bakat alami ini, huh? Kenapa tidak dari dulu saja begini?" Hantu itu mendesah panjang, napasnya yang bau berwarna keabuan dan berembus menyapu wajahku.
Sungguh, aku ingin sekali muntah saat ini.
"Ukkkuk ... uhuk!"
"Ouggg ... apa dia makan bangkai?
[ OPPSSS!!!" ] [Terbawa suasana, bodoh, malah mengucapkan hal yang tidak sepatutnya. Sungguh tidak bisa lari lagi. ]
"Yaaaah ... tadi malam aku makan bangkai tikus di kamar sebelah. Jadi kau benar-benar bisa melihatku?" tanya hantu itu dengan wajah takjub.
Wajah pucatnya itu begitu dekat dengan wajahku. Bahkan pipiku dapat merasakan aura dingin wajahnya.
Jantungku bagai kembang api, meletup-letup tak terkendali.
Dia mengikis jarak dan menyatukan pipinya nan busuk itu dengan pipiku.
"Kau harus menolongku!" katanya dengan sedikit tertawa. "Aku akan membayarmu, asal kau mau membantuku!"
Bau busuk mulutnya bahkan sampai membenam di paru-paruku.
"Berhenti menggangguku!" Tanganku mendorong wajahnya. Kemudian spontan melepaskan pukulan tepat di pipinya dengan kuat hingga hantu itu terlempar jatuh ke jendela dan lenyap begitu bertemu cahaya.
"Kamarku berhantu?" Aku terlambat bertanya tentang hal ini.
Segera kuhabiskan mie cup yang sudah bengkak dan kutenggak air dalam botol. Kututup jendela dan membiarkan gordennya terbuka sehingga ruang kamarku tetap terang benderang.
Aku mengambil hoodie lalu bergegas keluar dengan membawa amplop gaji.
[ Aku tak bisa berlama-lama di dalam. Aku harus lebih banyak di bawah matahari agar hantu-hantu tak punya kesempatan untuk menemuiku. ]
Turun dari tangga sedikit berlari, tepat di depan pintu, seorang bibi dengan anaknya menyapaku.
"Hai, Ran! Kau kembali lagi? Bagaimana dengan kuliahmu?" tanya bibi itu dikala aku berlari melewatinya.
Dia, seorang ibu tunggal yang bekerja sebagai pengangkut sampah di sekitar apartemen, kadang mencegatku untuk sekadar bertukar kabar.
"Ah, ya ..." jawabku sekilas.
"Pak Masito katanya pindah ke distrik 20 setelah mendapatkan surat pensiun. Bangunan ini akan segera dijual kepada seorang pengusaha, dengar-dengar untuk membangun studio besar," Bibi itu setengah berteriak memberi informasi.
Kakiku berhenti, berbalik dan mendekatinya. "Benarkah? Lalu bagaimana dengan para penghuni?" tanyaku, kaget.
"Beberapa dari mereka menarik diposito tak lama setelah kamu, tapi kami tak akan beranjak dari sini. Beberapa gelandangan juga ada yang menginap di kamar bekas pembunuhan waktu itu. Sebaiknya kau lekas mencari tempat baru sambil tinggal sementara di sini."
[ Kalau begitu, aku tak perlu meminta ijin pak Masito untuk tinggal di sini. Lumaian bisa tinggal gratis sampai bangunannya laku dijual. Pasti perlu waktu untuk menjualnya akibat kasus pembunuhan dan bunuh diri waktu itu. ]
Setelah berbincang, aku pergi berjalan-jalan hanya sekadar tersengat matahari.
Kalau tidak salah, dekat dari sini ada pasar terbuka yang menjual bahan-bahan makanan. Aku harus mencari bahan makanan yang cukup instan. Karena si tua itu sudah pensiun dan pindah rumah, aku tidak bisa memintanya menyediakan gas untuk memasak. Kalau membeli .... Rasanya lumaian mahal.
<>
Sudah cukup lama aku berjalan membawa sisa tenaga yang tinggal sedikit. Melihat halte bus yang sepi, aku pun beristirahat di sana.
Satu dua orang ikut duduk, sepertinya menunggu bus.
Tak berapa lama, bus menepi di depanku.
Aku menarik napas menenangkan diri, kemudian tersedak begitu melihat isi bus itu.
Sebagian besar penumpang bus itu adalah hantu. Mengerikan sekali wajah mereka. Ada yang tertusuk pecahan kaca, ada yang seluruh tubuhnya terkoyak.
Sejak melihat penampakan di bus itu, aku berhenti istirahat dan melanjutkan perjalanan.
Rupanya tidak seaman dugaanku. Hari mulai beranjak siang begini masih ada penampakan di beberapa tempat yang tersembunyi dari sinar matahari.
Aku berjalan sekitar lima belas menit untuk sampai di swalayan terdekat.
Bagian depan gedung swalayan ini sudah dipadahi banyak pembeli. Asap dari makanan kedai terlihat di mana- mana. Meski ramai, makhluk-makhluk gaib itu masih saja berkeliaran di sela-sela gelap beberapa barang dan kedai.
Aku menarik napas dan menghembuskannya pelan. Kusentuk sebungkus permen Indigo terakhir di kantong hoodie. Setidaknya sebagai pendorong kepercayaan diri.
[ Aku tidak boleh menggunakan permen Indigo ini pada situasi seperti ini. Aku harus menghadapi situasi ini dengan kemampuanku sendiri. Ah, berpura-pura saja tidak melihat mereka. Jika tidak, mereka kemungkinan akan mengikutiku ke apartemenku. ]
Aku memasuki salah satu toko, pendingin udara menyegarkan tubuhku yang gerah.
Aku membeli beberapa lauk kaleng beserta kare instan, sosis dan sayur hijau dalam kemasan. Aku beralih mengambil beberapa cup mie instan dan memuatnya di keranjang belanjaan.
Aku pergi ke depan kasir. Mengantri pembayaran dalam urutan ke empat setelah pembeli lainnya.
Kulihat jam telah menunjukkan pukul 1.00 siang. [ Di tengah hari seperti ini aku harus kemana? Aku tidak mau pergi ke flat dan bertemu hantu bau itu. ]
"Lebih baik aku bekerja lebih awal di toko sayur," aku bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Setelah membayar, aku berpikir untuk menyeduh mie instan. Kuambil satu ramen jumbo, satu mangkok aluminium foil dan Kuletakkan ramen kering di dalamnya.
Mangkok aluminium foil berisi ramen kering diletakkan oleh si kasir di atas dispenser. Dia tersenyum padaku dan berkata, "Perlu menunggu setidaknya 8 menit untuk memasak airnya. Dispenser kami baru saja diperbaiki."
"Ah, iya. Omong-omong aku sedang senggang. Sekarang hampir jam istirahat, apakah orang-orang banyak kemari?" Aku berbasa-basi sambil membuka lemari pendingin.
"Ya terkadang, tapi baru-baru ini agak sepi."
Suhu semakin dingin di toko itu. Aku menoleh pada si kasir sambil mengambil sumpit. "Apa anda menambahkan AC-nya?"
"Eh, tidak." Pria itu menoleh pada indikator AC. " Masih 21 derajat. Apakah anda ingin lebih dingin?"
"Ouh, tidak, sebenarnya ini sudah cukup ... dingin."
Sekelebat suhu dingin kembali melewati punggungku. Kulihat ada seorang gadis berdiri di sampingku. Dia membuka lemari minuman.
Melihat orang itu, memunculkan kecurigaan. Kecurigaanku menuntun mata ini melirik ke bawah.
Gadis itu, tak memiliki kaki.
[ Dia... Hantu! ]
Aku berbalik mengambil sosis dan meninggalkan uang di depan kasir.
"Tolong beritahu jika ramenku sudah masak!" aku berpesan pada si kasir kemudian meninggalkan toko.
Aku berdiri di teras toko, menikmat sengatan sinar matahari yang menyilaukan.
Aku menoleh pada lemari minum dalam toko. Mataku melirik kesana kemari. Gadis tadi sudah menghilang.