Chereads / ZOMBIE AREA / Chapter 3 - Pemuda yang Baik Hati

Chapter 3 - Pemuda yang Baik Hati

Pagi itu, nenek Nam sedang memberi makan kucing kesayangannya. Makhluk itu adalah satu-satunya sebagai pendengar keluh kesah selama ini. Nenek Nam dari dulu memang tergolong orang setengah introvert terkhusus dalam lingkungan keluarga. Ia cenderung menyimpan kesedihan, ketersinggungan karena takut dianggap orang tua jompo yang cerewet. Dan hal itu dapat mengubah pandangan anak, cucu serta sang menantu, bahwa dirinya sebagai beban mereka.

Sekarang ini nenek Nam duduk di depan meja dapur, sambil memotong sayur-sayuran untuk makan pagi ini. Seandainya ia tak melakukan tugas rumah tangga, salah satunya tak memasak pagi, cucu-cucunya akan makan roti bakar nan kering dengan sepotong sosis dipanaskan setiap sebelum berangkat sekolah.

Yeo Ran selalu bangun satu jam setelah dirinya dan wanita itu lebih mementingkan dunia karir dibandingkan bagaimana pertumbuhan anak-anaknya. Dan selain itu, Yeo Ning dan Yeo Han sering diantar oleh sang ibu, membuat mereka makan dengan terburu-buru bahkan pernah hanya menggigit sedikit roti bakar kering dan membawa pergi sepotong sosis untuk dimakan dalam perjalanan.

Lalu bagaimana dengan anak semata wayangnya, Kim Jae Suk? Anak yang menjadi kepala rumah tangga itu begitu dibanggakan karena berhasil menjabat posisi penting di perusahaan elit. Sedih, anak kebanggaannya itu hanya punya waktu dua hari di rumah, selebihnya melakukan perjalanan bisnis di luar kota. Tiap kali mendapat telepon dari Jae Suk, dengan semangat nenek Nam akan menerimanya bahkan ia sering kali menantikan kabar dari Jae Suk.

Selagi memasak, ia bersenandung diiringi lagu bahari dari radio tape keluaran lama hadiah suaminya, menjadi penghibur suasana hati nenek Nam. Sampai tak terasa, ia selesai menata meja makan bersamaan terbitnya fajar yang menembus cantik gorden jendela dari Broket.

Dan seperti biasa, orang-orang rumah itu terbangun satu demi satu. Nenek Nam duduk di depan TV seperti biasa, mencari chanel drama pagi selagi menunggu semua orang siap untuk sarapan.

Yang telah keluar dari kamar lebih dahulu adalah si cucu kecil, Yeo Ning. Nenek Nam menoleh begitu mendengar langkah kecil bocah pendek itu. Di pelankannya suara TV lalu menoleh, melihat gemas Yeo Ning yang masih mengantuk, berjalan dengan sedikit menutup mata dan sepertinya bocah itu sedang menuju kamar mandi. Namun, secepat kilat Yeo Han berlari mendahulu sang adik dan mengunci pintu kamar mandi. Nenek Nam berdecak akan keserakahan anak nakal itu. Dan dalam sekejap kegaduhan pun menjadi tontonannya. Yeo Ning yang tidak terima, menggedor pintu berkali-kali sambil memanggil sang kakak.

Kegaduhan itu bertambah dengan suara ketiga. Yeo Ran dengan baju mandi keluar dari kamar dan membawa Yeo Ning ke kamarnya, lalu dikuncinya.

''Yeo Han! Mengalahlah kepada adikmu! Jangan lakukan kebiasaan buruk itu lagi! Dengar tidak!'' suara wanita itu lantang dan bahkan menghentikan tangis Yeo Ning.

''Maaf, Ma! Aku ada tugas hari ini. Lagi pula adik masih banyak waktu untuk pergi ke sekolah. Terlambat sedikit tidak apa-apa!'' Yeo Han tak mau kalah.

''Sampai kapan mereka berhenti meributkan soal kamar mandi!'' Nenek Nam mematikan TV dan pergi ke dapur untuk membuat susu hangat. ''Rumah ini terlalu kecil untuk menampung lima kepala. Kapan anak-anak ini beli rumah?'' celoteh nenek Nam.

Sampailah pada waktunya, mereka dipertemukan dalam satu meja makan. Baru lima menit, Yeo Ran beranjak dari kursi seraya mengambil satu biji apel dan berkata, ''Mama tunggu di mobil lima menit. Jangan lambat, ada pertemuan penting hari ini!''

Nenek Nam yang baru saja memakan sepotong kimci, dibuat takjub sekaligus kesal akan perilaku menantunya. ''Cepatlah kalian makan, jangan khawatir dengan ibumu. Dia hanya menggertak saja. Nanti kalau tidak makan pagi, kalian akan jadi anak yang bodoh,'' nasehatnya pada dua bocah yang sedang makan di kiri dan kanannya.

Mereka berdua tak merespon, hanya terus menyuap nasi dan lauk. Bunyi sendok ramai sekali usai Yeo Ran pergi. Dan tepat lima menit, dua bocah itu beranjak dari kursi.

Nenek Nam ikut beranjak ingin mengantar cucu-cucunya ke depan pintu.

''Nenek duduk saja dan lanjutkan makannya.'' Suara Yeo Han terdengar jelas dari telinga kirinya diikuti aroma parfum. Tangan pemuda itu menekan pundak nenek Nam agar kembali duduk.

''Kau pulang pukul berapa malam ini?'' tanya nenek Nam. Ketika itu Yeo Ning, menarik lengannya dan nenek Nam membungkuk sedikit untuk menerima kecupan.

''Emm, kurasa bisa lebih cepat dari tadi malam. Akan ku usahakan. Nenek mau dibawakan apa malam ini?'' tawar pemuda itu.

Nenek nam memainkan jari tangannya di atas meja sambil berpikir. Ada rasa terharu oleh ucapan Yeo Han. ''Seporsi sup tulang sapi, hahahaa.''

Bukan tidak ada arti nenek Nam menyebutkan hal itu, melainkan disengaja olehnya agar cucu kesayangan itu tak dapat membelikan makanan. Sebab harganya cukup mahal untuk uang jajan anak remaja sekolah. Dan hal itu bukanlah kemustahilan pula bagi Yeo Han sendiri, ia dapat membelikannya dengan merogoh gaji dari pekerjaan tambahan di beberapa restoran.

Ketika itu, terdengar seruan ibunya untuk segera berangkat. Hubungan hangat antara nenek dan cucu terpaksa berhenti sampai disitu.

Nenek Nam menahan tangan Yeo Han. Ia memasukkan sejumlah uang tambahan di kantong seragam pemuda itu, sempat pula berpesan, ''Bagilah untuk adikmu. Belajarlah dengan benar!''

Mata cucunya tampak bercahaya, dan mata itu bergerak menatap wajah Nenek Nam. Diberinya imbalan lain yakni sebuah senyum manis. Dan sekejap saja, bibir Yeo Han mendarat di pelipis kepala nenek Nam setelah itu ia berlari bersama Yeo Ning.

Nenek Nam tersenyum lebar dan menyatukan tangan keriputnya seraya melihat dua bocah itu memasuki mobil sang menantu. Dilambaikannya salam perpisahan kepada Yeo Han dan Yeo Ning yang sempat menoleh lagi dari jendela mobil bagian belakang. Yeo Han mengacungkan uang segepok yang tadi diselipkan sang nenek lalu menggoyang-goyangkannya sebagai tanda bahwa ia senang.

Malam pun tiba, senja berubah menjadi malam kelam dan hitam. Datanglah cahaya lampu menggantikan fungsi efektif matahari. Lampu-lampu bagaikan replika matahari, terjalin di setiap toko maupun teras, lampu lalu lintas begitu pula lampu jalan. Yeo Han merapatkan jaket karena temperatur udara berubah. Ia berhenti sejenak bersama para pejalan kaki. Sesekali diperhatikannya aba-aba lampu jalan hingga lampu berganti merah.

Padesterian Crossing dipenuhi para pejalan kaki. Salah satu pejalan kaki dari seberang rupanya sedang menuju tempat awal ia berdiri. Pejalan kaki yang satu itu menarik perhatian Yeo Han.

Seorang wanita jompo berusaha keras berjalan menggunakan tongkat berkaki tiga, tetapi salah satu rodanya telah tanggal. Sehingga ketika si tua itu menyeretnya, sepanjang itu pula terdengar bunyi besi di atas aspal. Terlebih lagi, orang-orang yang searah dengannya terlalu acuh dan bahkan membuat si wanita tua itu kesulitan berjalan. Teringatlah ia dengan neneknya di rumah, meski wanita tua dengan tongkat di depannya lebih tua dari nenek Nam. Terlihat sekali nenek itu tak mampu mengikuti arus lalu lintas.

''Astaga, kenapa tidak bersama keluarganya? Siapa yang membiarkan nenek setua itu berjalan sendirian?'' gumam hati Yeo Han. Pemuda tinggi berambut cokelat terang ini memang terbilang cepat peka. Sebab sedari kecil sudah mendapatkan asuhan neneknya dan sering kali bergaul bersama teman-teman nenek Nam.

Melihat lampu kuning berkedip-kedip, Yeo Han lekas menghampiri wanita tua itu. Lantas diberinya tumpangan, nenek itu tak menolak dan digendong Yeo Han hingga ke seberang.

Tak lama ia menginjakkan kaki di padesterian besar, lalu lintas kembali sibuk. Perbuatannya mengundang senyum orang-orang di padesterian itu.

''Nenek mau kemana malam-malam begini? Mau diantar atau mau pergi dengan taksi atau bus?''

Nenek bertubuh bungkuk, setinggi dadanya itu merapikan letak topi pantai. Lalu matanya berlapis kaca mata, mendongak pada Yeo Han. Sebentar kemudian, tampillah senyum senangnya.

Pikir Yeo Han, ''Apa penglihatannya tidak begitu bagus. Apa sebaiknya kutemani saja?''

Nenek itu tak bersuara, hanya terdengar suara napas yang keluar dari mulut dan menolak bantuan Yeo Han dengan melambaikan tangan yang kurus.

Yeo Han membesarkan matanya, tak mengerti. Lantas ia mensejajarkan tubuh. Wanita tua itu menangkup kedua sisi wajah Yeo Han lalu mencium pipi Yeo Han. Kemudian berbalik dan berjalan seorang diri. Orang-orang tersenyum melihat Yeo Han menutup pipinya sambil tertawa kecil.