Pada hari minggu pagi, nenek Nam bersama cucuk kecilnya, Yeo Ning sedang jogging di taman kota. Ketika merasa kelelahan, ia istirahat di kursi kayu di pinggir taman, membiarkan beberapa manusia lain melewatinya.
Gerakan orang-orang yang sedang jogging begitu bebas, lutut mereka yang sehat, lari gesit, peluh bercucuran dan satu hal lagi, punggung yang tidak nyeri. Selagi mengelus-elus lutut, matanya mengekori tiap langkah pemuda-pemudi, dewasa bahkan anak-anak yang sedang berlari kecil. Sejujurnya, nenek Nam sedang iri melihat mereka yang bebas menggunakan kaki tanpa merasakan sakit. Usia lanjut pada umumnya memang penuh dengan keluhan sakit, hal itu karena kinerja sel dan otot mereka mulai melambat, perlahan-lahan mati.
''Apa nenek ingin makan kaki mereka? Seperti melihat ceker ayam pedas saja,'' canda Yeo Han, yang datang dari arah samping
''Ah! Mengagetkan saja! Buatlah suara jika kau datang, Bocah!'' seru nenek Nam. Ia mengelus-elus dada dan menatap sinis pada Yeo Han.
Yeo Han menyeka keringat dengan handuk kecil lalu duduk di ujung kursi. ''Sejak tadi aku melambaikan tangan pada Nenek. Mau berapa lama nenek mandangi kaki-kaki mereka, itu tak akan membuat nenek bahagia. Nenek mau kubelikan sesuatu? Atau mungkin sop tulang sapi lagi?''
Saat berbicara, Yeo Han merogoh kantung celana yang menyisakan dua lembar uang. Dengan uang itu tak memungkinkan membeli seporsi sop tulang lagi. Selepas menghitung jumlah uang, ia mengalihkan pandangannya, seketika itu mulut jadi enggan untuk berucap. Matanya beralih melihat lutut nenek Nam. Si tua itu hanya memandang lurus ke depan dan tak menanggapi tawarannya tadi.
Merasa salah bicara, Yeo Han berdeham dan membungkuk sejajar kaki neneknya. Tangannya memijat dengan pelan seraya berkata, ''Apa lutut Nenek nyeri lagi? Nenek tidak memakai salep yang kubelikan?'' Matanya beralih memandangi lutut nenek Nam lantas berkata lagi, ''Tuan Lutut, tetaplah kuat agar nenekku tidak merajuk lagi! Sehatlah sampai aku tua nanti, ya?'' Yeo Han mendekatkan telinganya pada lutut sang nenek, seperti anak kecil.
Terasa sentuhan tangan nenek Nam pada pucuk kepalanya. Ia menoleh lalu mengangguk-angguk. ''Ah, iya. Katanya, Iya, Nek!''
''Lutut tidak bisa bicara, anak bodoh!''
Akhirnya nenek Nam tertawa, tapi dipukulnya pelan lengan sang cucu dan berkata, ''Kalau kau menjadi tua, bagaimana penampilanku nanti. Oh Tuhan, anak ini mengada-ada. Seperti ini saja, wajahku sudah penuh kerutan. Bagaimana nanti kau menjadi setua aku, lantas aku seperti apa?—''
Yeo Han kembali duduk dan meraih tangan Nenek Nam yang sedang membelai wajah. ''Ini bukan kerutan, Nek.''
''Lalu apa?''
''Urat leher! Ha ha ha.''
Goyonan Yeo Han tak membuat Nenek Nam tersenyum, dan malah semakin cemberut.
''Nenek tenang saja. Meski aku akan setua Nenek. Dengan lutut yang terasa sama seperti mu, aku akan menggendong Nenek mengelilingi taman ini lagi. Ingat saja nanti! Nenek harus gunakan salep pereda nyeri. Aku membelikan dengan jumlah banyak asal Nenek bisa jalan dengan nyaman. Jadi ... jangan ditinggal lagi!'' di ujung ucapannya, sengaja ditekankannya nada bicaranya.
''Seperti tak tahu orang tua saja. Nenek lupa!'' jawab nenek Nam tak kalah, ia juga menekannya. Sehingga mereka terlihat sedang berdebat, padahal tidak.
Menjadi tua adalah hal yang tak bisa dihindari, seiring berjalannya waktu itu akan terjadi. Setelah kematian suaminya 5 tahun yang lalu, nenek Nam kehilangan kepercayaan diri terhadap dunia luar, hubungan sosialnya tak sehangat yang dulu dan konsekuensi atas kematian pasangan hidup membuat perhatiannya lebih persuasif pada keluarga si anak dan cucu-cucunya. Tanpa sadar hal itu berujung mengubah sikap dan mentalnya seperti saat ini.
Agar tidak mengalami stres dan depresi pasca kematian kakeknya, Yeo Han lah yang pertama mengusulkan untuk melakukan liburan keluarga sekali seminggu, tepatnya dilakukan pada tiap hari minggu sore dan kadang juga mengajak nenek Nam olah raga di pagi hari.
Suatu ketika, nenek Nam tak sengaja mendengar pembicaraan Yeo Han di telepon. Sebuah kabar gembira dari pembicaraan itu membuat nenek Nam bersemangat sekali. Tentang anaknya yang bekerja di luar kota telah datang pagi itu juga.
Setelah mendengar kabar kedatangan Jae Suk, nenek Nam dan Yeo Han bergegas pulang. Setelah 10 menit, sampailah mereka di depan pagar, Yeo Han dan nenek Nam turun dari taksi. Dibukanya pagar halaman dan mendahulukan si tua itu untuk masuk. Derit pintu besi pagar itu bagaikan aba-aba, nenek Nam menyelonong masuk. Langkah kakinya memang pendek tapi gesit. Sehingga baru saja Yeo Han menutup pagar, nenek Nam sudah membuka pintu rumah dan dalam sekali menoleh neneknya telah hilang dari depan pintu.
''Nenek, tidak perlu terburu-buru. Perhatikan sekeliling mu, lagi pula butuh dua jam bagi ayah untuk bisa pulang. Dia masih di perjalanan, belum di pesawat!'' Yeo Han melangkah santai memasuki rumah sederhana itu.
Di ruang tengah, AC yang mati lekas dinyalakannya dan melempar remot kontrol ke atas sofa kursi. Baju kaos diayun-ayunkan agar peluhnya cepat kering. Ia tersenyum miring, melihat nenek Nam menggunakan kaki mengusir kucing gendut dari kamar.
''Apa yang sedang diperbuat Nenek? Aku tak bisa mengerti kelakuannya. Kadang dia sangat memanjakan kucing itu, kadang mereka seperti bermusuhan,'' Yeo Han bergumam, lantas tak tahan melihat tingkah lucu sang nenek, ia berseru, ''Nenek, dia akan menggaruk gorden lagi kalau kau mengusirnya.''
Suatu ketika, Yeo Han keluar dari kamar dengan handuk di bahunya bermaksud menuju kamar mandi. Baru saja pintu kamar ditutup, sekelebat udara dingin lewat di sampingnya. Begitu dilihat, pintu kamar mandi telah tertutup disertai suara kunci dari dalam. ''Astaga, Nenek menerobos antrian lagi. Tak heran kalau aku sering melakukan itu.''
Yeo Han tak punya pilihan, kecuali menunggu dengan santai di kursi dekat pintu sambil bermain game. Mendadak ponsel berdering dan tampillah sebuah pesan dari ibunya.
''Apa ada kabar baru, Yeo Han?'' tanya nenek Nam dengan berteriak air shower menghalangi suaranya. Kalau lagi rindu-rindunya dengan Jae Suk, telinganya bahkan dapat menangkap suara kecil.
''Aku cukup takjub, ada nenek seperti ini. Kalau tentang ayah pendengaran Nenek tajam sekali. Ayah sedang dalam perjalanan kemari!'' Yeo Han mengatakan sesuai isi pesan. ''Sepertinya ayah sudah membereskan semua urusannya. Mungkin tidak kurang dari 30 menit lagi.''
Pintu kamar mandi yang mendadak terbuka membuat Yeo Han terperanjat. ''Nenek sudah selesai?'' Dilihatnya, si tua berbadan besar itu hanya mengenakan handuk sedada, tampak jelas kulit tubuh nan pucat dan kendur berlemak di bagian tangan serta leher yang berlipat. ''Sudah selesai, secepat itu? ini kurang dari 7 menit.''
''Dingin sekali. Airnya tidak hangat. Sudah kutunggu tetap tidak mau hangat,'' Nenek Nam menggerutu sepanjang menuju kamarnya.
Yeo Han terheran-heran, lantas katanya, ''Bagaimana mau hangat, Nenek mandi terlalu cepat.''
Delapan belas menit berlalu, Yeo Han keluar dari kamar mandi dan menyadari neneknya sudah tidak berada di rumah. ''Wah, untuk orang setua dirinya, kecepatannya menghilang bahkan melebihi aku dan Yeo Ning.''