Chereads / ZOMBIE AREA / Chapter 6 - Sifat Orang Tua

Chapter 6 - Sifat Orang Tua

Nenek Nam pergi mengambil syal rajut pesanannya di sebuah toko di pinggir kota. Di perjalanan ingin pulang ia minta diturunkan di sebuah kedai makanan. Di sana ia membeli empat porsi besar makanan kesukaan anaknya, yakni pangsit udang dan Jjampong serta beberapa salad buah untuk dibawa ke acara rekreasi sore ini.

Bermodal beberapa lembar uang simpanan dan kupon jumbo dari kedai itu. Dengan satu plastik besar ia keluar dari kedai itu, dibantu oleh pegawai toko untuk membawa makanan ke dalam mobil taksi.

''Kenapa tidak minta diantarkan saja ke rumah, Nenek. Kalau seperti ini, Nenek akan kesulitan untuk membawanya. Nenek masih punya kupon gratis antar, kan?'' tanya karyawan kedai, seorang pria dewasa nan ramah dan baik.

Nenek Nam tersenyum hingga matanya sipit. Ia melambaikan tangan, menolak. ''Itu tidak akan jadi spesial. Hari ini anakku datang dari luar kota, aku ingin membelikan makanan kesukaannya dengan tenagaku sendiri. Terima kasih!''

Karyawan kedai itu tersenyum tipis seraya mengangguk paham, lalu menutup pintu belakang taksi dan sebelum melepas pergi ia berpesan, ''Tuan, tolong jalannya pelan-pelan.'' Dan sang supir mengangguk.

Sesampainya di depan rumah, lewat kaca mobil taksi, mobil hitam keluarga sudah masuk ke halaman depan. Nenek Nam dibantu Supir taksi memindahkan makanan itu ke depan pagar. Nenek Nam berjongkok sebentar setelah memindahkan satu kantong platik. Ia mengelus lutut yang ngeri, napasnya terdengar hingga ke telinga si supir.

Melihat si tua itu tergopoh-gopoh mengangkat dua plastik makanan, sang supir menawarkan bantuan untuk mengangkat barang ke depan pintu. Dan lagi-lagi nenek Nam menolak. Wajahnya sumringah sekali sehingga tak kuasa pula si supir memaksa keinginannya.

''Sudah berapa lama dia tidak makan udang pangsit dari kedai favorit kami. Aku merindukan melihat wajahnya yang melahap semua udang-udangku. Kuharap Jae Suk punya waktu untuk diajak ke restoran bahari dan makan berdua seperti ketika dia masih bocah.'' Nenek Nam teringat akan masa lalunya.

Dahulu mereka hanya hidup berdua, karena suami sedang bertugas sebagai dokter militer yang hanya datang empat hari dalam sebulan. Kedai di dekat pusat lalu lintas itu menjadi bukti perjalanan dia dan anak sematawayangnya. Suatu massa, kehidupannya normal kembali saat Jae Suk berusia 27 tahun. Ia tinggal bertiga dengan sang suami setelah suaminya pensiun. Mereka hidup dari gaji pensiun dan tabungan. Mengingat kenangan lama itu, berat beban di kedua tangannya jadi terlupakan hingga tanpa terasa ia telah berada di depan pintu rumah.

Senyum nenek Nam menjadi pudar mendengar suara tiga orang sedang berdebat di dalam sana. Kenop pintu diputarnya pelan, dari celah sudah tampak wajah datar anaknya dan dalam sekejap berubah garang. ''Jangan malah menyulitkan ayah. Semua uang sudah digunakan untuk rumah itu. Bahkan biaya sekolahmu sudah disedikan di sana.''

Pintu itu didorong lebih lebar sambil membawa dua kantong plastik makanan. Dan di depan mata jelas lah dua orang lagi. Keluarga kecil itu tak menyadari kehadirannya.

Yeo Han memohon dengan menggenggam lengan baju ayahnya. ''Siapa suruh kerja di luar kota. Jangan tinggal nenek di sini. Nenek harus ikut pindah rumah. Yeo Ning dan aku bisa bergantian menemani nenek di rumah seperti biasa, Ayah!''

Seolah-olah dipukul di belakang kepala, hingga nyeri menghantap tengkuk lehernya. Nenek Nam hampir berkaca-kaca oleh kekecewaan yang mengisi hatinya. Sekarang mengertilah si tua itu akan keadaan sekitar. Keberadaanya sedang diperjuangkan sang cucu di depan menantu dan anak sendiri.

Jae Suk terlihat jengah dan tak tahan melihat Yeo Han masih bersikeras. Napas yang menggembus panjang itu seketika menyinggung perasaan sekaligus memupuk semakin besarnya kesedihan di hati nenek Nam. Hanya dengan melihat sikap anaknya, ia pun tahu Jae Suk tak suka jika ia ikut bersama keluarga kecil itu. Mata nenek Nam melirik ke bawah, rupanya hati tak sanggup menampung lebih banyak kekecewaan terhadap sang anak, ia mengelus tangannya yang tebal dan keriput dan berpindah memandangi dua kantong plastik di dekat kaki.

''Jangan berbohong! Mulai bulan ini kau akan menghadapi persiapan ujian kelulusan dan persiapan ujian universitas. Bukan hanya itu, kudengar kau diam-diam mendaftarkan diri dalam pertandingan Taekwondo. Bagaimana membagi waktu untuk di rumah, hah?'' lawan sang ibu. Yeo Han menjadi kecut dan tak mampu mengelak.

Semua orang memandangi raut wajah nenek Nam yang terdiam bak patung di depan pintu. Perasaan si tua itu semakin tak karuan. Di satu sisi, sepasang suami-istri itu tak ubahnya melihat padanya seperti melihat seorang yang hina, yang sudah sepantasnya menyadari kehadiran dalam keluarga itu tak lebih hanya sebagai pengganggu saja. Kemudian matanya beradu dengan mata merah Yeo Han, seolah-olah air mata darah akan mengalir dari sana.

Yeo Han memutuskan kontak mata, dan berpaling menahan perasaan yang tak sudi dilihat olehnya. Kegembiraan menetes di lautan hatinya nan keruh, meski hanya bocah, cucunya jelas lebih menghargainya. Nenek Nam diliputi haru, tapi segera di sembunyikannya. Meski air mata ingin sekali mengalir deras saat itu juga. Mata nenek Nam kembali lurus, masih menemukan raut menantunya yang congkak dan garang.

''Nenek tak akan terlantar. Jangan kau maksud dengan meninggalkan Nenek di sini, dia tak ada yang urus. Lagi pula jika ikut kita, apa nenek akan senang, tiap hari rumah sepi dan dia akan sendirian. Aku punya pekerjaan malam, Yeo Ning juga akan tinggal bersama saudaraku yang punya anak seusianya. Kenapa tidak begini saja ...,'' usul Yeo Ran. ''Di atas bukit tak jauh dari kota, ada sebuah panti jompo. Daftarkan saja ibu di sana. Kudengar pelayanan dari lembaga masyarakat milik pemerintah lebih baik.''

Raut Yeo Han tampak gelisah. Ia tak punya pembelaan lagi jika demikian keinginan keras orang tuanya.

Perkataan Yeo Ran didukung oleh sang suami. ''Kau benar, dengan begitu ibu tidak sendirian. Dia dapat memiliki teman seusianya.''

''Tapi lebih baik, nenek berkumpul bersama keluarga ...,'' Yeo Han bersikukuh. Perkataannya terhenti begitu melihat nenek Nam beranjak masuk.

Langsung saja Suami istri itu dengan suara nyaring meminta pendapat nenek Nam tentang rencana mereka.

''Ibu, kau tidak bisa ikut kami pindah. Ibu tidak ada yang merawat. Bukankah bagus jika Ibu di panti jompo saja?'' tanya sang menantu, nadanya menekan dan memaksa.

''Kami akan berkunjung dua kali sebulan, Bu. Ibu tak perlu khawatir, kudengar di sana banyak kegiatan dan tak akan membosankan,'' timpal sang anak.

Meski sedih dan terpukul, nenek Nam pandai membuat suasana jadi tenang. Disetujuinya tawaran itu dengan senyum ceria demi anaknya yang ingin bahagia tanpa dirinya. Sudah cukup bagi dirinya menyaksikan kesedihan Yeo Han.

Saat semuanya telah diputuskan, nenek Nam menyembunyikan kedua tangann ke belakang, sembari mengeratkan plastik makanan lalu masuk ke kamar dengan wajah yang menunduk.

Ketukan pintu terdengar padahal baru saja ia menyandarkan punggung di depan pintu. Di letakkannya perlahan dua plastik makanan itu. Begitu pintu dibuka, wajah sang menantu tampak berseri-seri.

''Bu, lekas kemasi barang-barang, sore ini kita ke panti jompo.''

''Sore ini?'' Mulut si tua itu jadi berat.

Pukul tiga siang itu seharusnya mereka rekreasi bersama. Makanan dari kedai yang dibeli untuk sang anak bahkan belum sempat dingin, ia sudah disuruh menjauh dari sisi mereka.

''Iya, sore. Lebih cepat lebih baik agar kami dapat mengemasi barang-barang.''

Nenek Nam tak lagi bersuara, senyumnya kecut dan menutup pintu kembali setelah kepergian Yeo Ran. Jauh di dalam lautan hatinya, ia berharap banyak pada keluarga itu. Agar suatu hari ia mati dalam kondisi melihat anak dan cucunya, bukan menjadi seorang wanita renta yang sebatang kara dan sendirian