Nenek Nam melanjutkan kembali kisah hidupnya kepada mereka yang sekarang terlihat antusias untuk mendengarkan. Maklum saja penasaran, karena nenek Nam baru hampir dua bulan tinggal dan bercengkerama dengan mereka.
Nenek Nam membayangkan kejadian masa lalunya. ''Dia berlaga di medan perang sampai masa pensiun. Dan hal tak terduga terjadi, pada saat ia meninggalkan aku selama beberapa tahun dan hanya berbicara melalui telepon kabel karena pergi untuk melaksanakan tugas perdamaian. Kupikir dia mati, gara-gara aku mendengar berita perang pecah di lokasi perdamaian itu. Namun, dengan segar bugar ia datang menemuiku setelah dua tahun sambil membawa puluhan tangkai bunga jasmin. Ya, cuma tangkai, itu pun beserta lumpur di bajunya ...,''
Belum selesai cerita itu, mereka menertawakannya dengan sangat lepas. Nenek Nam menepuk lutut nenek Woon seraya berkata, ''Aku belum selesai! Rupanya waktu itu dia lupa alamat rumah kami dan sempat terdampar di daerah kumuh bersama oleh-olehnya, puluhan bunga jasmin yang katanya dia beli dari seorang pedagang asing. Aku hanya mencicipi baunya dari ceritanya. Dan kami tak menyangka dengan wajah masing-masing yang telah banyak berubah. Dia tua karena perang dan tanggung jawab militer. Malangnya, aku tua karena sibuk cari uang untuk menghidupi anakku. Aku jatuh melarat usai kehilangan kabar dari suamiku. Bahkan sempat terpikir kalau dia menikah dengan wanita-wanita berkulit merah di wilayah itu.''
''Masa ketegangan di perbatasan, aku masih sibuk mengejar gelar profesor muda. Kalau kau bilang kau gadis yang cantik, kenapa dahulu tidak menikah lagi malah sibuk mengurus anakmu sendirian. Jika beruntung kita bertemu, siapa tahu kita dapat menikah,'' kata kakek Seo. Ia tersenyum pada nenek Nam dan nenek lainnya. ''Kalau sudah tua begini, syahwatku sudah lemah, Nam. Lagi pula apa yang dapat diserang-''
Belum lagi kata terakhir selesai, nenek Nam, nenek Han, serta nenek Woon menyerang dan mencubiti tubuh kakek Seo. Sampai mereka bertiga kelelahan karena Kakek Seo bukan merasa sakit, ia terdengar terbahak digerumbuni wanita-wanita bau itu. Sementara itu kakek Shin dan nenek Soo Jin menggelar tawa bersama lansia di sekitar sana.
''Tua bangka, mesum!'' seru mereka bersama-sama.
Sempat menjadi bahan tontonan, tiga lansia tangguh itu menyerah dan memilih menenggak air mineral lagi. Sementara kakek Seo bersandar di batang pohon. Ini sebabnya, aku tak suka main sembarang wanita. Tua-tua begini, tenaga kalian masih 18 tahunan. Sayang, apa yang mau dicubit kalau hanya sisa tulang begini,'' celotehnya, menghina tubuhnya sendiri.
''Ingat, kau sudah tua. Banyak istirahat dan memanfaatkan waktu untuk menikmati hidup,'' kata nenek Soo Jin. ''Oh, iya. Sering kulihat kau banyak olahraga bulan ini.'' Ia menatap lawan bicaranya, nenek Nam. ''Apa jangan-jangan soal peta kota tadi, kau bermaksud ingin keluar dari panti?'' Pertanyaan itu menarik tanda tanya besar pada mereka dan sontak nenek Nam ditatap semua temannya.
''Nekat kau keluar dari sini dengan tubuh begitu?'' tanya kakek Seo, tak percaya. Karena hal itu bersifat diam-diam, kakek Shin yang menyimak sejak tadi, menepuk lengan atas kakek Seo. Menyuruh diam.
Namun, semua orang telah salah mengira terhadap nenek Nam. Ia yang melihat ekpresi mereka, jadi antusias menyimak dugaan apa lagi untuk dirinya.
''Itu terdengar mustahil, mengingat umur tinggal ku di sini baru dua bulanan. Mana mungkin aku melakukan itu tanpa tahu di mana rumah pindah menantuku. Alih-alih menemukan, aku hanya akan terlunta-lunta di jalan,'' ujar nenek Nam, menepis dugaan mereka.
Nenek Woon dan kakek Seo terlihat bernapas lega. Tetapi, nenek Soo Jin masih menyimpan pertanyaan lain. Ia menuntut lagi tanggapan nenek Nam. ''Lalu, untuk apa Peta itu? Kau sungguh bekerja keras olahraga tampak seperti orang kerasukan saja.''
''Meski memiliki fasilitas kesehatan yang memadai. Aku tidak bisa selamanya bergantung pada alat dokter. Walau saat ini kaki dan pinggangku telah sembuh. Sendi-sendi tetap akan lapuk dan itu menyebabkan rentan cacat. Aku berharap bisa hidup lebih lama dan punya jantung yang sehat. Setidaknya sampai menikahkan cucu tampanku dengan wanita yang tepat,'' jawab nenek Nam. Ia mengembuskan napas panjang, seraya memandangi langit biru. Wajahnya yang berseri-seri membuat orang yang melihatnya ikut tersenyum pula.
''Sudah biasa, orang tua yang jauh dari keluarga anak dan merindukan cucu-cucu kecilnya.'' Nenek Woon berkata lagi, ''Perlahan-lahan kau akan terbiasa tanpa melihat wajah mereka.''
''Untuk yang terserang penyakit rindu seperti mu, aku takjub kau tidak memenuhi kamar dengan foto-foto keluarga mu. Seperti kebanyakan yang terjadi di panti ini. Karena aku yang terlama diantara kalian sudah hapal betul kelakuan anak baru di sini. selain terdengar suara tangis tiap malam, mereka juga memenuhi dinding dengan foto-foto. Ada yang stres sampai-sampai keluarga diminta untuk menjenguk kemari,'' timpal nenek Han seraya mengambil cokelat di kantong celana.
''Saranku,'' Kakek Seo yang sedang membuka bungkus cokelat ikut menambahkan, ''Sebaiknya jangan tempel foto-foto apapun. Orang-orang di sini kurang hiburan, mereka jahil. Foto yang ditempel itu kemungkinan besar akan dipenuhi coretan-coretan pakai spedol permanen.''
Nenek Nam yang baru saja menemukan info baru tak sanggup menutup mulutnya, kaget. Lantas nenek Soo Jin menunjuk ke arah kakek Seo dan katanya, ''Dia hanya meletakkan foto artis dan semua wanita di sini berkontribusi mencoreti foto itu.''
Ekspresi nenek Nam berubah heran. Nenek Soo Jin melanjutkan lagi, ''Artis Bikini!''
Seketika nenek Nam terbahak membayangkan kejadian yang dialami kakek Seo. ''Pantas saja, semua orang beramai-ramai merusak foto itu.''
Nenek Woon yang tak beruban, ikut berucap, ''Kalau nasib sudah berada di sini. Itu artinya kita tak diharapkan oleh anak-anak. Tetap berada di tempat ini akan membuat mereka bahagia. Siapa yang mau tinggal sama orang tua bau seperti ini, anak muda bahkan enggan bergaul dengan kita. Contoh saja cucuku yang kuliah di KAIST, universitas terkenal dan bayarnya mahal itu. Tiap kali aku minta diantar, dia selalu mengatakan aku sebagai pengganggu, dan membuat dia malu membonceng orang tua sepertiku ini. Hahhh... yang dikatakannya memang benar, aku jadi malu dan memutuskan untuk datang kemari atas kemauan sendiri. Lihat, keluargaku saja tak pernah berkunjung. Mereka senang karena aku datang dengan sukarela kemari.''
Kakek Shin menambahkan, ''Lingkungan keluarga memang seperti itu. Kadang mereka hanya coba menjaga perasaan kita meski mereka ingin sekali membuat kita menghilangkan, heh.''
Kakek Seo, tak mau kalah. Ia juga menceritakan kisah hidupnya. "Aku datang kemari karena takut pada kelima anakku yang menginginkan harta warisan. Untuk itu, aku mengasingkan diri dan membuat mereka percaya bahwa seluruh hartaku telah ku sumbangkan pada lembaga sekolah. Hanya dengan begitu, aku tak pusing dengan perkelahian mereka. Padahal dulu aku tak pernah kasar pada orang tuaku, tapi rasanya ini seperti karma.''
Nenek Soo Jin mengangguk, mendukung perkataan temannya. ''Tempat yang paling bagus hanya di sini, karena banyak anak-anak muda yang mengurus kita. Coba lihat!'' katanya seraya menunjuk pada para perawat.
"Mereka memang baik,'' sela nenek Nam. ''Tapi yang terbaik hanya saat bersama anak sendiri.'' Nenek Nam menghela napas, katanya lagi, ''Di kota sana ... Bagaimana keadaan si kecil dan cucu tampanku sekarang? Ingin sekali bertemu dengan mereka."
"Bukankah kau pernah bilang, cucumu akan berkunjung saat hari libur sekolah. Kau sudah berada di sini hampir dua bulan, ku dengar bulan ini mereka memasuki perkuliahan. Anak-anak pasti sudah melupakan mu," goda kakek Seo.
"Walau begitu, aku tak mau menyerah. Kalau aku terlihat sehat dan bertenaga, mereka pasti akan membawaku dengan keyakinan aku bisa mengurus diri sendiri meski berada di rumah sendirian. Aku hanya perlu membuktikan bahwa aku dapat hidup 30 tahun lagi, hahaha!'' Nenek Nam terbahak. Suaranya yang besar dan lantang menarik perhatian sebagian orang di sana.