Yeo Han berjalan lagi di padesterian crossing hingga sampai ke seberang. Tempat tujuannya adalah tempat mencari uang. Sebuah restoran italia yang sedang banyak pelanggan.
''Sepertinya benar, tuan manager pasti sedang kerepotan mengurus pesta di tempat itu. Akan lebih baik kalau tak ada yang disewa selain aku, dengan begitu aku bisa mengumpulkan uang lebih banyak,'' gumam Yeo Han. Kini dirinya telah berganti seragam, sengaja dibawanya dan diletakkan di loker untuk berjaga-jaga sewaktu ada panggilan kerja part time mendadak.
Selama tiga jam lebih menjadi karyawan tambahan di restoran yang kebanjiran pengunjung itu, Yeo Han akhirnya mendapatkan gajinya. Kejadian itu saat ia selesai mencuci piring terakhir, seorang manager tua berkaca mata memanggil namanya, ''Yeo Han! Kemarilah sebentar!'' perintah seorang manager tua.
Mendengar suara besar itu, Yeo Han lekas melepas celemak, dengan senyum yang terpatri di wajah.
''Ini uang sesuai perjanjian di awal. Lain kali datanglah lebih awal untuk membantu membereskan piring bekas,'' kata sang manager, di tangannya ada amplop yang dilipat dua.
Perlahan-lahan senyum lebar andalan Yeo Han turun hingga mengubah wajahnya menjadi datar tak bergerak. Tidak malam ini, pujian yang sering menciptakan bunga di hatinya tak ia dapatkan. Pria tua itu mengeluh meski ditutupi rasa kasihan padanya.
''Kalau bukan karena nenek itu... Ah, tidak, tidak!'' Hatinya menepis pikiran yang larut dalam penyesalan. ''Tak seharusnya aku mengungkit hal itu.''
Diterimanya amplop cokelat berisi harga keringatnya dengan ramah. ''Terimakasih, aku pasti berusaha lain waktu. Telepon aku jika anda perlu pegawai lepas,'' tanda terimanya sambil memaniskan wajah tampan itu dengan seulas senyum tanpa gigi.
Pria tua itu mengangguk-angguk saja dan hendak berbalik pergi, tetapi Yeo Han yang mendadak ingat pesanan nenek Nam terpaksa mencegat si manager.
''Anda bisa memotong upah ini, dan berikan aku barang sedikit saja sisa sup tulang sapi yang ada di panci.'' Karena sup tulang sapi harganya mahal, Yeo Han terdengar memohon dengan agak kasihan.
Mendengar hal itu, si manager pun tak jadi pergi. Orang itu berbalik lagi sambil berkacak pinggang. Melawan tatapan mata Yeo Han yang dipertajam oleh alis tegak khas garang.
Bukan main rasanya ditatap seperti itu, Yeo Han pun jadi salah tingkah. ''Aku salah bicara. Mungkin tidak benar kalau kutawarkan gaji ini untuk mengambil seporsi sup sapi. Seharusnya ku katakan untuk membeli sop yang tersisa.''
Beberapa detik setelah sibuk memikirkan perkataannya sendiri, akhirnya keluarlah kata-kata yang membuat si manager tertawa.
Sambil sesekali menyentuh dagu, dan menunjuk-tunjuk panci sop sapi, Yeo Han berucap sekiranya dapat memperjelas ucapannya. ''Itu ...,'' ujarnya sembari mengacungkan telunjuk pada panci sop tulang sapi, ''Ini ...,'' kata-katanya terpotong lagi dan kini mata itu berpindah pada amplop dengan lembaran uang.
''Aku menyukai sop tulang sapi, dan ingin membeli seporsi jika masih boleh ...,'' bibirnya kelu kembali, rupanya sikap gerogi itulah yang membuahkan senyum di bibir sang manager.
Mengerti gelagat pemuda di depannya adalah anak-anak, maka dielusnya kepala Yeo Han lalu jatuh pada pundak pemuda itu, sambil sedikit ditepuk-tepuk pelan. Meski Yeo Han tidak memakai seragam sekolah, si tua itu akhirnya menyadari bahwa lelaki di depannya adalah seorang pelajar yang masih remeh dan sensitif.
Usai diusapnya pundak Yeo Han, rupanya pemuda itu agak sedikit lebih tenang. Lantas saat itulah ia berkata, ''Jangan sungkan untuk meminta sesuatu. Dan simpan kembali uang itu untuk keperluan lain. Semua sisa makanan yang tidak laku dan tidak bisa disimpan untuk besok, sudah kuberikan kepada karyawan,'' si manager menghentikan ucapannya setelah melihat luluhnya ketegangan di wajah Yeo Han.
''Tak banyak orang semuda kau yang suka sop tulang sapi dikarenakan baunya yang kuat sekali.''
''Sejujurnya ada yang lebih menyukai sop itu dari pada saya, Tuan Manager. Nenek saya berpesan jika mampu, untuk membelikannya seporsi sop tulang sapi dari restoran ini,'' jelas Yeo Han, menuturkan kata-kata sesopan mungkin.
''Kalau seperti itu, ambillah lebih semangkok lagi dan nikmatilah bersama nenekmu.'' Seusai berucap, sang manager keluar dari dapur.
Yeo Han membungkuk hormat dalam kepergian sang Manager.
Ia pulang kurang lebih pukul 09.30 malam. Dengan sekantong plastik berisi dua porsi besar sop tulang sapi, Yeo Han memasuki ruang tengah. Suasana rumah tampak sepi dan saking sepinya seperti tak ada orang satu pun. Jika seperti malam biasa, ia akan disambut oleh omelan sang ibu atau bahkan perdebatan sengit antara nenek dan ibunya yang biasa jadi tontonannya.
''Nenek?'' panggil Yeo Han. Namun suasana tak berubah sama sekali.
''Yeo Ning!'' panggilnya lagi. Heran dengan kondisi yang tak biasa itu, Yeo Han langsung meletakkan plastik Sop tulang sapi dan berjalan ke kamar, hendak mandi.
Namun diluar dugaan, begitu pintu kamar dibuka baru secelah, ia melongo menemukan sang nenek sedang bermain game di depan televisi di kamar itu. Siapa sangka, wanita yang terbilang memasuki masa lanjut usia awal itu diam-diam penasaran dan bermain game layaknya anak muda.
Yeo Han pun tertawa dengan segenap tenaga yang ditahan-tahan. Lantas dalam pikirannya berucap, ''Rupa-rupanya nenek penasaran sekali sehingga tidak sanggup menungguku untuk bermain game.''
Tanpa mau mengusik kesenangan si tua itu, pintu kamar dirapatkannya lagi. Ia beralih ke kamar sang adik. Yeo Ning rupanya berkutat dengan beberapa tugas sambil mendengarkan musik. Yeo Han mengelus serta mengacak rambut sang adik kemudian melepas headset dari telinga kecil bocah itu.
''Sudah ku bilang jangan biasakan menggunakan ini!
''Ah ...,'' rengek bocah itu seraya merebut kembali headset, tapi sayangnya Yeo Han menggantungkannya di atas bilah-bilah kipas angin di pelapon.
''Jangan ganggu aku!'' bentak Yeo Ning. Teriakannya memekikkan telinga. Wajah bocah itu berubah masam hingga pecahlah tangis.
''Hah, bocah manja! Pokoknya tidak boleh pakai, kalau masih bersikeras, burungmu kakak potong habis!'' ancaman itu membuat ia ngilu sendiri.
Tidak tanggung-tanggung, tangis adiknya semakin menjadi-jadi.
''Repot kalau sudah keluar air mata begini, hah!'' Yeo Han seketika menutup mulut Yeo Ning dan menggendongnya sambil berlari menuju meja makan.
Sepanjang berlari, bocah itu terus menangis dan meronta-ronta.
Nenek Nam keluar dari kamar. Sambil memperbaiki bajunya, ia menghampiri dua cucunya. ''Kenapa ribut sekali? Kau apa kan Yeo Ning, hah?''
''Nenek, ayo makan bersama! Aku membawa dua porsi besar sop tulang sapi. Yeo Ning melakukan kebiasaan buruknya lagi. Terpaksa benda itu kusingkirkan. Apa dia mau tuli semuda ini?'' cerocos Yeo Han seraya menatap wajah adiknya nan merah karena menangis. Sekarang tangis lantang itu berubah senyap sambil tersedu-sedu.
Nenek Nam duduk di samping Yeo Ning dan mengusap-usap rambut cucunya sambil mengelus-elus punggung.
Setelah suasana kembali tenang, sisa air mata telah hilang dari pipi bocah kecil itu, hanya tersisa kemerahan pada mata, pipi, dagu dan hidungnya. Di depannya tersaji semangkok sup tulang sapi dan semangkok kecil nasi. Demikian juga di sebelah kiri dan kanannya. Aroma khas sapi dan daun bawang serta bumbu kaldu memenuhi hidung mereka.
''Kemana ibu pergi? Dia tidak memberiku kabar.'' Yeo Han bertanya di sela makan.
''Katanya akan pulang larut malam. Jangan ditunggu, habis ini istirahat saja,'' ujar nenek Nam lalu menyerumput kuah sop.
Malam telah meninggi, dan waktu berada pada pukul 12 malam. Nenek Nam terbangun ketika Yeo Ran datang sambil bertelepon dengan sang suami. Karena haus, nenek Nam beranjak dari kamar dan berjalan dengan suara kaki yang senyap. Begitu melewati kamar Yeo Ran, ia mendengar sekelebat pembahasan.
''Anak-anak akan diberitahu secepatnya. Bangunannya dekat dari sekolah! Agar aku tidak repot mengantar mereka. Kapan kau pulang? Ah, aku sedang berkemas.'' Suara Yeo Ran sambil bertelepon.
''Ada masalah apa lagi? Zaman sekarang pekerjaan jadi nomor satu, keluarga dan anak-anak bisa diurus belakangan. Ah, apa salahku punya menantu seperti dia. Seharusnya aku tidak langsung menyetujui hubungan mereka. Nasib baik, dia mau ku desak untuk punya anak. Dasar wanita gila karir! Oh Tuhan, semoga aku masih hidup sampai pada saatnya aku dapat memilih pasangan terbaik untuk cucuku, Yeo Han.'' Doa terpanjat dalam hatinya. Ia kembali tidur lelap ditemani sebingkai foto tua sang suami.