Di dalam mobil, Narendra mengendarai mobilnya dengan perasaan gelisah. Matanya terus menatap kaca spion yang ada di atas, seolah sedang memperhatikan sesuatu. Padahal, mobil sudah melaju cukup jauh dari tempat tadi dirinya naik.
"Sayang, kau kenapa?" Ralin menoleh ke belakang, melihat arah pandangan pria itu. "Apa ada barangmu yang tertinggal?"
"Hah ...." Narendra segera tersadar. "I-iya ... iya ada barangku yang tertinggal. Tapi tidak apa-apa! Nanti, aku minta Ayah untuk mengambilnya," jawabnya dengan berbohong.
"Barang apa? Kita putar balik saja, mumpung masih belum jauh," ucap Ralin. Sedikit khawatir dengan barang milik Narendra yang tertinggal. Mungkin saja itu barangnya yang penting.
"Oh, itu! Aku hubungi Ayahku dulu!" Narendra mengambil ponsel dari saku jasnya. Lalu menempelkan ponselnya ke telinga, dengan satu tangan masih memegang roda kemudi.
"Halo, Ayah! Apa barangku masih ada di atas meja?"
"...."
"Hah, kembali? Sekarang? Tapi, aku sudah di jalan, mau pulang ke rumah."
"...."
"Jamuan makan malamnya masih belum selesai? Aku masih harus ikut?"
"Baiklah! Aku akan segera kembali!" Telepon ditutup. Ekspresinya terlihat cemas.
Narendra segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jas. Tangannya memutar roda kemudi, berbelok ke kanan untuk memutar arah, bermaksud kembali ke hotel Raja.
"Ayahmu meminta kau kembali?" tanya Ralin, mengerti dengan maksud dari Narendra memutar arah mobilnya.
"Iya! Aku tidak boleh pergi sebelum acara jamuan makan malam itu selesai," jawab Narendra masih terus berbohong.
"Aduh, bagaimana dengan barangku? Apa Ayah menyimpannya?" ucapnya pelan. Ekspresinya terlihat cemas. Seolah, barang yang tertinggal itu adalah barang yang sangat berharga di dunia. Takut jika sampai barang itu hilang dan diambil orang.
"Barang apa?" Ralin mulai curiga. Ini tidak seperti Narendra yang biasanya. Pria itu tidak pernah bertingkah aneh seperti ini, sebelumnya.
"Kau begitu cemas, apa karena mengkhawatirkan Nastya?" tanyanya lagi dengan sinis.
"Hah ... ma-mana mungkin aku mencemaskan ibu tiriku," sangkal Narendra dengan senyum samar di bibirnya. "Nastya sudah menikah dengan ayahku. Mana mungkin aku mencemaskannya?"
Walau saat ini, dirinya sedang mencemaskan Nastya, Narendra tidak mungkin mengatakannya pada Ralin.
"Nastya menikahi ayahmu? Apa itu benar?" tanyanya sedikit mengejek.
"Ya, itu benar! Mereka sudah menikah." Narendra membenarkan.
"Tidak bisa mendapatkan anaknya, ayahnya pun jadi! Haha! Dasar wanita payah!" ejeknya lagi, penuh kepuasan.
"O, iya! Tadi, kau menanyakan kondisi ibunya Nastya. Kau tahu juga bahwa ayahnya sudah meninggal?"
"Ya, tentu saja aku tahu! Dulu, kami kan, bersahabat. Hubungan kami jadi merenggang, itu karena aku lebih memilih kau ... Narendra!" jawabnya dengan manja.
Ralin ingin menunjukkan pada Narendra, bahwa, ia dibenci oleh Nastya demi dirinya.
"Hah .... Kau sudah tahu bahwa orang tuanya mengalami kecelakaan?" Narendra mengerutkan kening.
Setahunya, Ralin dan Nastya bermusuhan setelah tuduhan perselingkuhan mereka. Bahkan, Narendra saja tidak tahu kedua orang tuan Nastya mengalami kecelakaan, karena saat itu mereka baru putus. Tapi Ralin ....
'Dari mana dia tahu, tentang kecelakaan itu? Tidak mungkin Nastya yang mengatakannya, kan?'
Sebelum Narendra bertanya lagi, mereka sudah sampai di depan hotel Raja. Ia segera menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Sudah sampai, aku masuk dulu, ya!" Narendra membuka sabuk pengaman, membuka pintu mobil, lalu keluar.
"Kau pulanglah, hati-hati di jalan." Narendra melambaikan tangan pada wanita itu. Lalu beranjak pergi menuju pintu masuk hotel.
Ralin pun segera beralih ke kuris pengemudi. Ia membawa mobilnya pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah mobil Ralin benar-benar pergi, Narendra keluar lagi dari gedung hotel. Ia tergesa-gesa, berlari keluar sampai ke lampu jalan—tempat terakhir dirinya dan Nastya tadi berpisah.
"Di mana dia?" Narendra menatap kiri dan kanan, mencari sosok ramping yang mengenakan mini dress berwarna hitam di setiap sudut jalan.
Tapi, sosok itu sama sekali tidak terlihat.
Narendra semakin cemas, ia mulai mencarinya lagi, berlari ke sana kemari, sambil mengedarkan pandangannya. Berharap, wanita itu masih ada di sekitar sini.
"Aish, sial!"
Setelah dirasa tidak ada Nastya di manapun, Narendra segera menghubungi ayahnya untuk memastikan keberadaan wanita itu. Karena telepon yang tadi ... hanya sandiwara saja agar bisa keluar dari mobil Ralin.
Tidak lama, sambungan telepon terhubung.
"Halo, Ayah! Maaf, aku pulang duluan, tidak bisa menemanimu sampai selesai," ucapnya basa-basi.
"O, iya, Yah! Apa nanti Nastya akan pulang bersamamu?" Inilah yang ingin Narendra tanyakan. Nastya pulang bersama dengan siapa?
"...."
"Oh, dia pergi ke rumah sakit yang ada di pusat kota untuk melihat kondisi ibunya?"
"...."
Narendra merasa lega. Ternyata, Nastya tidak bersama dengan ayahnya. "Baiklah ... aku pulang duluan, ya! Selamat malam."
Klik!
Sabungan ditutup.
Setelah mengetahui keberadaan wanita itu, Narendra segera menghentikan taksi, berencana pergi ke rumah sakit yang ada di pusat kota untuk mencari Nastya.
Setibanya di rumah sakit, Narendra menanyakan keberadaan pasien yang bernama Maria pada petugas resepsionis. Setelah mendapatkan informasi, ia bergegas pergi ke atas untuk mencari ruang ICU tempat ibunya Nastya dirawat.
Hari sudah malam, di lorong rumah sakit terasa dingin dan sepi. Tidak ada lalu lalang orang di sana, bahkan, yang sekedar duduk di bangku tunggu juga sudah tidak ada.
Narendra berjalan dengan langkah pelan menuju ruang rawat Maria. Dari kejauhan, ia melihat sosok yang tidak asing di matanya.
Bukan Nastya—sosok yang ia cari—yang sekarang ada di depannya, tapi Rastya ... kakak dari wanita yang sedang ia cari.
Sebelum Narendra melangkah semakin mendekat, terdengar Rastya berbicara pada orang yang ada di seberang telepon, "Kau tenang saja. Setelah semuanya selesai, uang akan aku kirim ke rekeningmu. Aku ingin, besok kau melakukannya. Apa bisa?"
Narendra segera menghentikan langkahnya. Ia bersembunyi di belakang tiang, bersandar di sana, tidak ingin Rastya melihat dirinya.
"Oh, ya, baiklah! Semakin cepat, itu akan lebih baik," ucap Rastya lagi.
"Sekarang aku sendirian menemani ibuku. Nastya entah pergi ke mana. Seharian ini dia belum menampakkan batang hidungnya." Ia masih terus berbicara.
"Oke! Aku tunggu kabar baik darimu." Percakapan pun berakhir.
"Aish, sial!" bisik Narendra, pelan. "Sudah capek-capek datang ke rumah sakit ini, Nastya malah tidak ada."
"Nastya tidak kembali ke rumah sakit? Dia sudah berbohong pada Ayah!"
Tidak ada gunanya lagi Narendra tetap tinggal di tempat ini, toh wanita yang ia cari tidak ada. Ia berbalik badan, segera pergi meninggalkan gedung rumah sakit dengan pikiran rumit.
"Dia pergi ke mana? Apa kembali ke rumah?" Narendra segera menghentikan taksi lagi, berencana pulang ke rumah untuk memastikan keberadaan wanita itu.
Dua puluh menit kemudian, taksi sudah sampai di depan rumah. Setelah membayar ongkos taksi, Narendra segera masuk ke dalam.
Di sana, ia bertanya pada para pelayan, "Apa Nastya sudah kembali?"
"Belum, Tuan! Tuan Besar bilang tadi di telepon, malam ini Nyonya tidak akan pulang. Dia kembali ke rumah sakit menjenguk ibunya."
"Aishhh, dia berbohong pada semua orang!" gumam Narendra.
Dia segera pergi ke lantai atas, masuk ke dalam kamarnya masih dengan kesal. Ia membanting pintu, berjalan dengan cepat menuju jendela kamar.
Narendra membuka jendela kamar, merasakan angin berhembus mendinginkan seluruh tubuhnya. Ia mendongak, menatap gelapnya langit malam yang dihiasi oleh kerlap-kerlip bintang. Walau terlihat sangat indah, namun di matanya terlihat sangat suram.
Ia ingat, tadi Nastya mengajaknya untuk pulang ke rumah. Tapi dirinya malah pergi bersama Ralin, dan meninggalkan wanita itu di pinggir jalan.
"Apa Nastya marah karena hal itu?"