Chereads / Pelukan Sang Mantan / Chapter 10 - Pemakaman Ibu

Chapter 10 - Pemakaman Ibu

Di dalam mobil, Nastya duduk di kursi belakang dengan gelisah. Beberapa kali ia menghubungi Rasya, tapi tidak pernah diangkatnya.

"Kemana dia? Mengapa tidak memberitahuku jika benar Ibu meninggal?"

"Nona, kita sudah sampai," ucap sopir pada Nastya. Lalu ia keluar dari dalam mobil, membuka pintu untuk majikannya. "Silahkan, Nona!"

Nastya segera tersadar. Ia keluar dari dalam mobil, berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit dengan perasaan berat.

"Bagaimana jika yang dikatakan oleh pelayan itu benar? Ibu meninggal?'

"Ahh, tidak ... tidak! Itu tidak mungkin. Ibu tidak mungkin meninggal."

Nastya segera naik ke lantai atas, terus berjalan menuju ruang rawat ibunya dengan harapan yang besar.

'Ibu tidak meninggal.'

Ketika ia hendak masuk ke dalam ruangan, terdengar seseorang memangil, "Nastya!"

"Eh, Dokter Kavin?" tanya Nastya, melihat dokter tampan itu berjalan ke arahnya.

"Mengapa kau masih di sini?" Dokter Kavin mengerutkan kening, berdiri di depan Nastya dengan bingung.

"Hemm .... masih di sini?" Nastya mengulangi ucapannya. "Memangnya aku harus pergi ke mana?"

"Bukankah tadi pagi ibumu meninggal? Harusnya sekarang kau ada di pemakaman, kan?"

"Apa kau bilang?" teriak Nastya tiba-tiba. "Ibuku meninggal?"

"Mengapa kalian semua mengatakan ibuku sudah meninggal? Tidak kau ... tidak pula pelayan di rumah. Apa kalian ingin ibuku benar-benar meninggal?" teriknya dengan marah. Ia menatap pria itu dengan tajam.

Sekarang, ia benci Dokter Kavin ... dokter pria yang dulu sangat baik padanya.

Tanpa menunggu jawaban dari Dokter Kavin, Nastya bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Ia tidak ingin mengunjungi ibunya dalam keadaan marah seperti ini.

Nastya terus berjalan menuju belakang mencari tempat yang sepi untuk menyendiri. Ketika ia berjalan melewati kamar mayat, tiba-tiba ia melihat ada Rastya dan Hindra di sana. Mereka sedang berdiskusi dengan petugas putih.

"Rastya!" lirihnya ketika ia sudah sampai di sana. "Tuan Hindra, kau aja ada di sini?" Nastya tidak mengerti, mengapa Hindra tidak memberitahunya bahwa dia akan pergi ke rumah sakit.

Rastya melihat sang adik baru datang, rasa marah segera muncul. "Adik tidak berguna! Ibu meninggal, kau baru datang!"

"Apa ... Ibu meninggal? Apa itu benar?" ucapnya pelan, penuh kesedihan.

'Apa Ibu sungguh meninggal?'

"Mengapa kau tidak memberitahuku? Dari mana aku bisa tahu, bahwa Ibu meninggal?" lirihnya dengan perasaan terluka. Ternyata ... ibunya benar-benar sudah meninggal.

"Nastya!" ucap Hindra, pelan. Ia menghampiri wanita itu, lalu memeluknya. "Sekarang, ibumu sudah tidak merasakan sakit lagi. Ibumu sudah bisa bertemu dengan ayahmu di Surga. Kau tidak perlu sedih."

"Uuuaaaaaa ...." seketika tangisannya pecah. Nastya menangis di dada bidang pria itu. "Bagaimana bisa, kau setega itu terhadapku. Kau pergi ke sini sendiri, tanpa mengajakku! Uuuaaaa ... kau jahat!" makinya pada Hindra.

"Ssstttt! Jangan menangis! Nanti, ibumu sedih juga melihat kau menangis." Hindra memeluknya semakin erat. Ia mengelus rambut panjang wanita itu penuh kasih sayang.

"Sebaiknya, kita segera pergi ke pemakaman. Semua orang sudah menunggu di tempat parkir," ucap Hindra lagi.

"Hah ...." Nastya mendongak, menatap pria jangkung itu dengan heran. "Bahkan,kau sudah mempersiapkan semuanya. Dan aku ... sama sekali tidak tahu apa-apa! Ini terlalu kejam ...."

"Uuaaaa ...." Nastya terus memukul dada pria itu, dengan tangisan yang semkin keras. Melampiaskan rasa sedih dan kecewanya pada Hindra.

"Iya, aku yang salah! Kau boleh terus memarahiku. Tapi sekarang ... ayo kita antar jenazah ibumu ke pemakaman!" ucap Hindra masih dengan lembut. "Jika terus bersedih, kasihan juga pada ibumu."

"Aku ingin melihat wajah ibu untuk yang terakhir kali." Nastya melepaskan diri dari pelukannya. Berjalan menghampiri peti mati berwarna putih yang bertuliskan nama "Maria" di sana.

Nastya berusaha untuk membuka peti mati tersebut.

"Buka penutupnya!" teriak Nastya pada petugas di sana. Tangannya menarik-narik peti mati, berharap ia bisa membukanya sendiri.

"Maaf, Nona! Ini sudah dikunci, tidak bisa dibuka lagi," jawab salah satu petugas di sana.

"Mengapa tidak boleh dibuka? Aku adalah anaknya. Ingin melihat wajah ibuku untuk terakhir kali. Apa itu tidak boleh?" Nastya menyeka air mata di wajahnya. Dari rasa sedih, kini berubah menjadi rasa marah.

"Bisa saja mayat ibuku tertukar, kan? Aku harus melihat dan memastikannya sendiri," ucapnya dengan tajam. Menatap semua orang yang ada di sana dengan sinis.

Rastya yang sedari tadi ingin melihat mayat ibunya, juga dilarang terus oleh para petugas itu. Ia pun tidak mengerti. 'Apa bisa, mayat Ibu tertukar?'

Tiba-tiba Hindra merangkul bahu Nastya. Ingin memberi ketenangan pada wanita itu. "Jenazah ibumu tidak tertukar. Tadi aku sudah melihatnya sendiri."

"Tapi ... bagaimana bisa, aku tidak boleh melihatnya?"

"Itu karena ...." Hindra diam sejenak. "Para petugas sudah terlanjut mengunci peti matinya. Jika dibongkar lagi, akan memakan waktu lama. Kasihan juga dengan ibumu."

Walau masih terasa janggal, tapi Nastya tidak memaksa lagi. Ia lebih kasihan pada jenazah ibunya yang harus segara di kebumikan.

Akhirnya, peti mati itu segera dibawa ke pemakaman umum yang ada di pinggiran kota.

Nastya melihat proses pemakaman ibunya dari awal hingga akhir. Tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga, air matanya tidak berhenti mengalir, rasa sakit dan pedih hatinya terus saja hadir silih berganti.

Hingga sore hari, Nastya masih ada di sana, duduk di samping batu nisan sambil terus mengelus wajah ibunya yang ada di foto.

Semua orang sudah pergi meninggalkan pemakaman, termasuk Rastya. Hindra pun pergi karena ingin membiarkan Nastya melepas semua rasa sedihnya tanpa diganggu.

Langit sudah mulai gelap, rintik hujan mulai turun membasahi semua yang ada di muka bumi ini. Nastya masih bertahan, duduk di samping makam ibunya walau seluruh tubuhnya sudah basah kuyup karena air hujan.

Dari kejauhan, mobil hitam terparkir di pinggir jalan. Orang yang duduk di dalamnya terus memperhatikan Nastya dengan perasaan gelisah.

"Tuan! Nonaโ€”" ucapan sang asisten tiba-tiba terhenti, karena tuannya memotong.

"Biarkan saja! Nanti juga dia akan lelah sendiri."

"Bagaimana dengan Narendra?" tanya Hindra, mengalihkan pembicaraan. "Apa semuanya berjalan dengan baik?"

"Tuan Muda baru saja memberi kabar, katanya Maria sudah dirawat di rumah sakit terbaik di Amerika. Minggu depan, Tuan Muda baru akan kembali setelah memastikan kondisi Maria membaik," jawab Asisten Hans.

"Bagaimana dengan orang yang berniat membunuh Maria?" tanya Hindra lagi. Tatapannya terlihat dingin.

"Orangku sudah membereskannya!" jawab Hans. "Tapi, orang itu tetap tidak mau mengatakan siapa yang menyuruh dia untuk melepas oksigen Maria."

"Baiklah! Jangan biarkan dia mati. Nanti, kau desak dia lagi sampai dia mengaku."

"Baik, Tuan!" jawab Hans. Lalu ia bertanya, "Apa kita akan pergi sekarang, atau tetap mau menunggu Nona Nastya?"

"Tunggu sebentar lagi!" Hindra masih duduk bersandar di kursi belakang, melipat kedua tangan di dada sambil melihat wanita yang ada di pemakaman.