Malam semakin larut. Suasana di klub malam itu semakin ramai dan seru. Nastya dan kedua temannya sedang asik ngedance di bawah lampu warna-warni diiringi suara musik DJ yang sangat keras.
"Wuwhhh ... ahahah!" teriak Nastya dan Alika dengan kedua tangan diangkat ke atas. Tubuhnya bergoyang mengikuti hentakan musik yang keras.
"Apa kau menikmatinya, Nas?" teriak Alika pada Nastya. Melihat raut wajah sahabatnya kini terlihat sangat bahagia.
"Tentu saja!" Nastya tersenyum lebar, matanya sedikit merah karena mabuk. "Apa kau tidak?"
Alika mengangguk.
"Sebaiknya kita duduk dulu, yuk? Kepalaku mulai pusing!" ajak Alika, menghentikan gerakan tubuhnya. Ia sudah mulai lelah, lampu warna-warni yang terus berputar dengan suara musik yang semakin keras itu membuat kepalanya pusing.
"Duduklah dulu! Nanti aku menyusul!" jawab Nastya, tanpa menghentikan goyangannya. Dirinya sama sekali tidak ingin berhenti.
Matanya menatap kiri dan kanan. Lalu bertanya pada Alika, "Ke mana Gio?"
Pria itu sudah tidak ada di sini lagi. Padahal, tadi, mereka bertiga ngedance bersama.
"Baiklah! Aku tinggal dulu, ya! Sekalian mencari Gio!" ucap Alika. Lalu pergi meninggalkan Nastya di sana.
Tanpa Alika, Nastya menikmati malam ini dengan gembira. Ia melepas semua rasa marah, benci dan kecewanya dengan tarian. Ia berbaur dengan semua orang, menikmati malam ini penuh keseruan.
Dari arah belakang, ada sosok pria berpakaian rapi masuk ke dalam kerumunan. Wajahnya terlihat lelah, namun langkah kakinya masih bersemangat. Tiba-tiba, pria itu menarik pergelangan tangan Nastya, membawa wanita itu ke belakang—menjauh dari kerumunan.
Antara sadar dan tidak, Nastya terpaksa mengikuti langkah pria itu. Setelah tarikan itu berhenti, Nastya melihat orang yang ada di depannya.
"Na-Narendra .... Lepaskan aku!" Tiba-tiba emosinya naik. Nastya menghempaskan tangan pria itu. Mundur satu langkah ke belakang untuk menjauh.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Narendra dengan keras. "Kenapa tidak pulang ke rumah? Jika sampai ada teman Ayah melihatmu seperti ini, keluarga Adipraja yang akan kena malu."
"Hah .... Siapa yang malu? Kau atau ayahmu?" cibir Nastya.
"Jika kau malu punya ibu tiri seperti aku, pergi saja dari sini. Kenapa harus mengurusi hidupku?" Nastya melipat kedua tangan di depan, menatap Narendra dengan sinis. Sorot matanya penuh kebencian.
"Ada apa denganmu? Apa kau marah?" tanya Narendra. Nada suaranya mulai diturunkan, tidak sekeras tadi. Ia bisa merasakan kemarahan Nastya dari sikap dan cara dia menatapnya.
"Siapa yang marah kepadamu? Tidak penting!" sangkal Nastya. Ia memalingkan muka ke sisi lain, tidak lagi menatap pria itu.
Tiba-tiba Narendra menunduk, mengecup bibir wanita itu dengan lembut.
"Maaf!" lirihnya.
Ia tahu, saat ini Nastya marah kepada dirinya. Jika tidak ... mana mungkin Nastya bersikap sedingin ini pada Narendra.
"Ayo kita pulang!" ajak Narendra. Ia memegang tangan wanita itu dengan lembut. Membuyarkan lipatan tangannya lalu menariknya berjalan menuju pintu keluar.
"Aku tidak mau pulang!" jawabnya. Mulut berkata tidak, namun langkah kakinya tidak berhenti, masih mengikuti langkah dan tarikan dari pria itu. "Aku ingin tetap di sini bersama Alika dan Gio!"
"Mereka juga mau pulang, kok!"
"Hah ... darimana kau tahu mereka mau pulang juga?" tanya Nastya, tidak mengerti.
"Tadi, aku melihat Alika dan Gio di luar. Sepertinya mereka bersiap untuk pulang!"
Faktanya, tadi, ketika Narendra baru tiba di bandara kota ini, ia diberitahu Giovani, bahwa Nastya sedang berada di klub ini. Giovani khawatir melihat Nastya yang terus minum hingga mabuk. Jadi, dia memberitahu Narendra agar segera membawanya pulang.
"Aku belum membayar tagihan makanannya!" Nastya berbalik badan, bersiap untuk kembali masuk ke dalam klub.
"Aku sudah membayarnya!" Narendra menghentikan langkah wanita itu. Menarik tangannya dengan tenaga yang cukup kuat, sehingga Nastya jatuh ke dalam pelukannya.
Nastya mendongak, mata merahnya menatap Narendra. Ada perasaan senang ketika ia melihatnya lagi di sini setelah sekian hari tidak bertemu. Tapi ... ada juga perasaan terluka yang ia rasakan di dalam hatinya ketika melihat pria itu. Pengkhianatan Narendra kembali muncul di ingatannya, ketidak pedulian Narendra ketika dirinya sedang terpuruk membuatnya sakit lagi.
"Lepaskan aku!" Ia mendorong tubuh kekar Narendra, berusaha lepas dari pelukannya. "Aku tidak sudi ada di pelukan bekas wanita lain!" cibirnya dengan rasa jijik.
"Hah ... apa maksudmu?" Narendra mengerutkan kening, menunduk untuk menatapnya. "Bekas pelukan wanita lain?"
'Apa maksudnya?'
"Tubuhmu ini ..." Nastya memukul dada Narendra, "bekas sandaran wanita lain!" ucapnya dengan tegas.
Pengaruh dari alkohol, membuatnya lebih mudah mengungkapkan apa yang ia rasakan. Termasuk rasa marahnya pada pria itu.
"Hey ... apa kau cemburu, jika ada wanita lain yang aku peluk?" goda Narendra dengan perasaan bahagia.
Jika itu benar, tandanya, Nastya masih menyimpan perasaan kepada dirinya.
"Coba jawab! Kau cemburu atau tidak?" godanya lagi. Itu membuat wanita itu semakin marah.
"Brengsek!" Nastya memukul dada Narendra semakin keras.
"Kau pria brengsek yang pernah aku temui! Aku membencimu!" teriaknya dengan penuh kesedihan. "Aku ... benci—"
"Uuaaa ...." Tiba-tiba tangisannya pecah. Pukulannya semakin melambat, dengan tangisan yang semakin keras.
"Uuuuuaaaa ...." Rasa sakitnya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Ia sudah tidak kuat membendung rasa sedihnya lagi.
Bohong jika dirinya sudah tidak mencintai Narendra lagi—pria yang sudah bersamanya selama dua tahu. Perasaan terlukanya tidak bisa memusnahkan rasa cintanya pada pria itu. Nastya masih sangat mencintainya. Masih sangat mengharapkannya.
"Uaaaa ... aku membencimu!" lirihnya dengan air mata yang terus membanjiri wajah cantiknya.
Nastya mencengkeram kemeja milik Narendra, mencengkeramnya dengan sangat kuat. Seolah dengan cengkeraman itu, ia bisa membuat pria itu merasakan rasa sakitnya.
"Pukullah! Pukul aku ... marahi aku ... jika itu bisa membuatmu puas!" ucap Narendra dengan lembut.
Ia segera memeluk wanita itu, memeluknya dengan erat. Mengelus rambutnya penuh dengan kasih. "Aku yang salah sudah menyakitimu. Kau boleh membalasnya dengan apapun."
"Uuuaaaaa!" Nastya kembali menangis dalam pelukannya.
"Sstt, jagan menangis lagi. Malu jika dilihat orang, nanti dikira aku menyakitimu."
"Sekarang ... kita pulang, ya?" bujuk Narendra, sambil melepaskan pelukannya. Ia menunduk, menatap wanita itu dari dekat.
"Tidak baik, wanita sepertimu berada di klub malam, apalagi dalam keadaan mabuk seperti ini." Ia menyeka air mata di wajahnya. Tangisannya sudah berhenti.
"Aku tidak mau pulang," jawab Nastya dengan manja. Ia mundur dua langkah ke belakang, memalingkan muka ke samping, menyeka sisa air mata di wajahnya.
"Lalu mau pergi ke mana?"
Nastya terdiam. Bingung, dirinya harus pergi ke mana dengan kondisi mabuk seperti ini.
Jika pulang ke rumah ... ia takut Hindra akan melihatnya.
Jadi ....
"Aku mau pergi mencari hotel!" Nastya berjalan ke depan, berjalan sampai ke pinggir jalan dengan sempoyongan. Melihat ada taksi yang kosong, ia segera melambaikan tangan.
Taksi segera berhenti di depannya. Ketika baru akan membuka pintu mobil, dari belakang, Narendra berlari dan menghampiri Nastya. Dengan cepat, ia memegang pegangan pintu mobil, lalu membukanya.
Nastya menoleh ke belakang, mendengar pria itu berbicara, "Masuklah! Aku akan mengantarmu mencari hotel!"