Di hotel biasa yang terletak di pinggiran kota itu, Narendra membawa Nastya masuk ke dalam lobi hotel. Ia menghampiri meja resepsionis lalu memesan satu kamar untuk Nastya. Setelah selesai mendapatkan kunci kamar, ia segera membawa Nastya naik ke lantai atas.
Di dalam lift, Nastya bertanya pada Narendra, "Mengapa membawaku ke hotel jelek seperti ini? Apa kau takut uangmu habis dipakai untuk membayar uang sewa kamar hotel berbintang?"
Narendra tidak menjawab.
Ia hanya tidak ingin orang lain melihat Nastya mabuk dan menginap di hotel berbintang. Mungkin di sana banyak rekan ayahnya yang akan mengenali Nastya. Jadi, ia memilih hotel biasa untuk wanita itu.
"Kau tidak usah takut, aku mampu membayar biaya sewa kamar hotel, sekalipun itu kelas terbaik di hotel berbintang," ucap Nastya lagi.
"Bukankah suamiku pemilik hotel Raja, hotel terbaik di negeri ini? Mengapa istrinya harus menginap di hotel jelek?" ocehnya lagi tanpa henti. Efek dari alkohol membuatnya terus berbicara.
Nastya menatap langit-langit lift, memerhatikan setiap sudut ruangan yang terlihat biasa saja.
"Apa kau malu ... mengantar ibu tirimu pergi ke hotel bagus, hah?" tanya Nastya sambil mendongak menatap Narendra, seolah sedang menantang pria itu.
Narendra masih tidak menjawab. Ia hanya berdiri di samping Nastya dengan tangan yang terkepal erat.
"Benar kau malu meng—"
"Emmhh ...." Ucapannya tiba-tiba terhenti, Narendra sudah habis kesabaran. Ia menutup mulut Nastya segera. Tidak ingin mendengar Nastya membahas tentang statusnya sebagai ibu tiri atau istri dari ayahnya. Itu membuat emosinya selalu naik.
"Naren ... emmmh!" Narendra masih menciumnya, mendorongnya hingga ke dinding. Membuat Nastya tidak berdaya.
Tidak lama, pintu lift pun terbuka. Narendra segera melepaskan pautan bibir mereka.
"Jaga ucapanmu! Aku tidak ingin lagi mendengar kau mengatakan hal itu!" Narendra memperingatkan. Lalu menarik tangan Nastya keluar dari lift.
'Hal apa?' Nastya mengedipkan mata beberapa kali, menyeka bibirnya yang terasa basah dengan punggung tangan. Ia masih bingung dengan maksud dari ucapan Narendra.
Tiba di depan pintu kamar, Narendra segera membuka kunci. Setelah pintu benar-benar terbuka, ia melepaskan tangan wanita itu, mendorongnya ke dalam kamar.
"Masuklah! Besok pagi, aku akan menjemputmu pulang!" ucapnya. Lalu bersiap untuk pergi.
"Temani aku di sini!" Tiba-tiba Nastya mengatakannya. Membuat langkah pria itu terhenti.
"Apa yang kau katakan?" Narendra menoleh ke arahnya. Melihat Nastya menatap Narendra dengan datar.
"Kau ... sungguh ingin aku menemanimu?" tanyanya, memastikan.
Nastya tidak menjawab. Otaknya benar-benar sudah korslet. Di sisi lain, ia ingin bersama Narendra, tapi juga tidak ingin.
Melihat tampang bingung wanita itu, Narendra segera menghampiri. "Baiklah, aku akan menemanimu di sini, sampai kau tidur. Setelah itu, baru aku akan pulang."
Nastya mengangguk. Ia masuk ke dalam kamar dengan menundukkan kepala, diikuti Narendra dari belakang.
Di dalam kamar yang sangat sederhana, ada satu tempat tidur, dan satu kamar mandi, dengan dua sofa tunggal. Nastya berdiam diri dengan bingung. Dirinya tidak tahu harus melakukan apa dulu.
Mengerti akan keraguan Nastya, Narendra pun berkata, "Sebaiknya, pergi mandi dulu. Tubuhmu bau alkohol!"
"Nanti, aku akan menghubungi seseorang untuk membawa pakaian untukmu!" tambahnya lagi. Itu membuat Nastya merasa lega.
"Baiklah!" Nastya segera masuk ke dalam kamar mandi. Mulai membersihkan seluruh tubuhnya dengan air hangat.
Setelah Nastya masuk ke dalam kamar mandi, Narendra duduk di sofa. Ia menghubungi seseorang lewat ponselnya, meminta temannya untuk membawakan pakaian untuk Nastya.
"Carikan satu set pakaian wanita, berikut dengan pakaian dalamnya! Antarkan ke hotel Antik, sekarang!"
"Narendra, apa kau gila? Meminta aku untuk mencari pakaian untuk wanita, jam dua belas malam seperti ini! Mana ada ... toko pakaian yang masih buka?" sergah seseorang dari seberang telepon.
"Joshua! Di pusat kota, banyak toko pakaian yang buka dua puluh empat jam. Kau bisa membelinya. Nanti, uangnya aku transfer dua kali lipat," jawab Narendra, tidak mau mendengar penolakan dari Joshua.
"Aisshhhhh, bukan hanya itu saja masalahnya! Tapi ... aku malu harus membeli pakaian dalam untuk wanita. Mau disimpan di mana mukaku jika sampai dilihat oleh orang lain?" Pria play boy seperti Joshua, harus membeli pakaian wanita beserta dalamannya juga. Apa kata orang, nanti?
"Tidak ... tidak, aku tidak mau!" tolak Joshua lagi. Ia sama sekali tidak mampu untuk melakukannya.
"Ya, sudah! Bawakan satu mobil untukku pinjam. Besok aku kembalikan." Joshua tidak bisa membelinya, biar Narendra yang pergi keluar untuk mencari toko pakaian dan membelinya sendiri.
"Eh, ngomong-ngomong, kau butuh pakaian wanita untuk siap? Apa untuk Ralin?" Setahu Joshua, wanita yang sedang dekat dengan Narendra saat ini adalah Ralin. Tidak ada wanita lagi selain dia.
"Hah, Ralin? Haha!" Narendra tertawa mengejek. "Jika sekarang aku bersama Ralin, tidak perlu lagi memintamu untuk mencari pakaian wanita. Biarkan saja dia tidak berpakaian. Itu lebih bagus, kan?" candanya pada Joshua.
"Haha, benar juga!"
Sebelum Narendra berkata lagi, ponselnya tiba-tiba ada yang mengambil, dilempar dan mendarat cukup keras di lantai. Untungnya ponsel itu ponsel mahal, tidak rusak walau sudah dilempar cukup keras oleh Nastya. Hanya saja, ponsel itu mati dan sambungan telepon segera terputus.
"Nast-Nastya?" Narendra segera berdiri. Ia menatap wanita yang hanya mengenakan handuk putih berdiri di samping sofa. "Kenapa kau lempar ponselku?"
Ia tidak mengerti, mengapa Nastya marah dan melempar ponselnya ke lantai.
"Cepat pergi dari sini!" teriak Nastya dengan tangan terangkat, menunjuk pintu keluar dengan jarinya.
"Tapi, kenapa ... kenapa kau marah?" tanya Narendra masih tidak mengerti.
"Aku ingin kau pergi sekarang!" sergah Nastya lagi dengan marah. Tidak menjawab pertanyaan dari pria itu.
Padahal tadi, ia sudah menurunkan semua egonya. Ingin memperbaiki hubungannya dengan Narendra, walau hanya sebatas hubungan pertemanan. Ia tidak ingin bermusuhan lagi dengan pria itu.
Tapi dia ....
"Nastya! Katakan dulu, apa yang membuat kau marah, hingga melempar ponselku dan ingin mengusirku dari sini?" tanya Narendra dengan serius.
"Jika kau tidak mengatakannya, aku tidak akan pergi," ancamnya.
"Itu, karena ...." Nastya ragu untuk menjawabnya.
"Karena apa? Cepat katakan!"
"Pikiran saja sendiri! Apa yang tadi kalian bahas di telepon." Nastya segera berjalan menuju pintu keluar dengan memegang handuk di dada, lalu membuka pintu kamar. "Sekarang cepat pergi!"
'Apa yang aku bahas dengan Joshua? Kami, membahas tentang ....' Narendra mulai mengerti alasan kemarahan Nastya.
"Nastya!" Narendra memanggil namanya. Ia memungut ponselnya dari lantai, dan mulai menyalakannya kembali. Untung saja ponsel itu tidak apa-apa.
Lalu Narendra berjalan ke arah Nastya. "Barusan, aku memang bercanda pada Joshua di telepon. Tapi, itu hanya bercanda, bukan benar-benar ingin melihat tubuh Ralin tanpa pakaian."
"Aku tidak peduli! Sekarang, cepat pergi." Nastya masih memegang pegangan pintu, dengan pintu yang sudah terbuka lebar.
Narendra mendekat. Ia memegang pegangan pintu yang dipegang oleh Nastya, lalu menutupnya.
"Aku bilang, tadi, aku hanya bercanda!" ucapnya dengan pelan. Ia mendekat, hingga Nastya terus mundur ke belakang. "Jika harus bersumpah, aku bersumpah, sudah hidup lebih dari dua puluh delapan tahun, aku belum pernah melihat tubuh wanita tanpa berpakaian, kecuali, kau!"
"Aku belum pernah tidur dengan wanita lain, kecuali kau! Itu pun bukan karena kita menginginkannya, tapi, karena aku yang memaksamu!" ucap Narendra, masih dengan pelan. "Aku minta maaf!"
"Sekarang, jangan marah lagi, ya?" bujuknya, masih dengan pelan. "Banyak hal yang membuat kau membenciku, aku sadar itu."
"Berawal dari kesalahpahaman dulu. Kau kira aku tidur di kamar hotel bersama Ralin, kan? Padahal tidak! Aku hanya pergi ke hotel atas perintah Ayah, dan kebetulan Ralin memaksa untuk ikut. Setelah selesai, aku mengantarnya pulang. Sama sekali tidak melakukan apapun seperti yang kau tuduhkan. Seharian itu, aku memang sibuk, tidak sempat menerima panggilan telepon darimu. Keesokan harinya, aku mendapati kau marah dan ingin kita putus. Saat itu juga, aku dan Ralin jadi lebih dekat, sampai sekarang!" Narendra menjelaskan sesuai fakta yang terjadi, tidak ditambah atau bahkan dikurang-kurangi.
"Sekarang, bisakah kita baikan?" Narendra mengulurkan tangan, mengangkat jari kelingkingnya, tanda mereka akan baikan.
"Aku minta maaf, dulu tidak tahu bahwa orang tuamu kecelakaan. Dan kemarin, aku ditugaskan Ayah pergi ke luar negeri untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Jadi, tidak bisa menemanimu di pemakaman ibumu."