Malam hari, di halaman rumah keluarga Adipraja, Narendra turun dari dalam mobilnya dan segera masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Langkahnya sangat cepat menaiki anak tangga, tidak sabar ingin segera melihat kondisi Nastya yang tadi terlihat banyak luka di tubuhnya.
Narendra berjalan menuju kamar Hindra, karena ia yakin, saat ini, Nastya berada di dalam kamar ayahnya.
Ketika ia berniat mengetuk pintu kamar, samar terdengar suara ringisan yang cukup memilukan dari dalam sana. Tangannya seketika terhenti di udara, mendengar suara itu yang semakin lama semakin tidak nyaman.
"Aaah, sa-sakit! Pelan-pelan!"
"Maaf! Apa seperti ini masih sakit?"
"Awh ... masih sakit. Lebih pelan lagi."
"Bagaimana kalau seperti ini?"
"Ya, terus, seperti itu! Jangan terlalu ditekan, pelan saja!"
Brak!
Pintu ditendang segera oleh Narendra. Dadanya turun naik dengan napas yang sangat cepat. Sorot matanya tajam menatap ke dalam kamar.
"Narendra?" Hindra menoleh untuk melihat putranya.
"Kenapa kau merusak pintu kamar Ayah?" tanya Hindra yang sedang duduk di sofa sambil membantu membersihkan luka di dahi Nastya. "Pintunya tidak di kunci. Jika kau ingin masuk, tinggal buka saja! Mengapa harus dirusak?"
"Eh, A-ayah!" Ia kira, ayahnya sedang ....
"Tidak, Yah! Tadi, kakiku sedikit pegal. Ingin meluruskan kaki, malah menendang pintu kamar. Hehe! Nanti, aku akan memperbaikinya," ucap Narendra merasa malu. Ia malu sudah berpikiran yang tidak-tidak pada ayahnya.
"Ayah sedang apa?" Narendra segera membenarkan emosinya. Ia berjalan masuk ke dalam kamar, menghampiri mereka yang sedang duduk di sofa.
"Ayah sedang membantu mengobati luka Nastya!" jawab Hindra. Ia masih memegang kapas yang sudah diberi cairan untuk membersihkan lukanya.
"Sini!" Narendra mengambil kapas dari tangan ayahnya. "Aku bantu!"
Narendra berlutut di depan Nastya, membersihkan luka di dahinya dengan hati-hati. "Lain kali, jangan berkelahi lagi. Tidak baik seorang wanita berkelahi sampai luka-luka seperti ini."
"Apa yang diucapkan oleh Narendra, benar! Lebih baik kita mengalah saja. Tidak perlu berdebat, apalagi sampai berkelahi. Jika sudah luka seperti ini, yang rugi siapa? Kau sendiri, kan?" ucap Hindra sambil bangkit berdiri. Ia melepas jasnya, bersiap untuk pergi ke kamar mandi.
"Narendra akan membantu mengobati lukamu. Aku mandi dulu, ya!" Hindra mengelus kepala Nastya, lalu beranjak pergi.
Setelah Hindra menghilang di balik pintu kamar mandi, Nastya segera menepis tangan Narendra yang sedang mengobati lukanya.
"Jangan sentuh lagi!" Ia kesal, karena, Narendra maupun Hindra, tidak ada yang membelanya.
Padahal, tadi, Ralin terus mengatainya "Wanita murahan.", menuduhnya ini dan itu. Tidak mungkin dirinya diam saja dikatai sekejam itu. Bukan hanya Nastya saja, mungkin wanita lain pun akan melakukan hal yang salam, memberontak dan melakukan perlawanan.
"Sebaiknya kau pergi saja," usir Nastya. "Aku bisa mengobati lukaku sendiri!"
Ia mengambil kapas yang baru dari kotak P3K, menuangkan cairan antiseptik, lalu ....
"Aahhhhh! Narendra, lepas!" Baru akan mengobati lukanya sendiri, Narendra malah memegang tangannya.
"Kenapa jadi marah kepadaku?" tanya Narendra, tidak mengerti. Melihat cara Nastya bersikap, menunjukkan bahwa wanita itu sedang marah.
"Lepaskan!" Nastya menarik tangan yang dipegang oleh Narendra.
"Jawab dulu, kenapa kau marah?" Narendra tidak akan melepaskan tangannya sebelum wanita itu menjawab.
"Itu karena kau ... lebih memilih pergi bersama Ralin daripada menolongku, tadi. Kau dan ayahmu, lebih membela Ralin, daripada membelaku!" jawabnya dengan jujur. Karena, memang itulah yang ia rasakan.
"Aku, dikatai oleh Ralin, apa aku haru diam saja? Mengalah saja, seperti yang kau dan ayahmu katakan?" Tatapannya penuh kesedihan.
"Aku tidak bisa!" sergah Nastya sambil menghempaskan tangannya, hingga pegangan Narendra terlepas. "Aku tidak bisa diam saja ketika orang lain membawa-bawa orang tuaku, menghinaku, mengataiku banyak hal. Aku tidak bisa seperti yang kau dan ayahmu katakan!'
Nastya bangkit berdiri. Menunduk, menatap Narendra yang masih berlutut di lantai. "Sekarang, apa penjelasanku sudah cukup?"
Ia berpaling, membuka lemari pakaian, mengambil satu sweater, lalu memakainya. Ia memasukkan dompet kecil dan ponselnya ke dalam saku sweater.
"Kau mau pergi ke mana?" tanya Narendra, melihat Nastya bersiap untuk pergi. Ia segera bangkit berdiri, menghampiri wanita itu.
"Aku mau pergi ke manapun, itu bukan urusanmu!" ucap Nastya. Lalu ia berjalan menuju pintu keluar.
Sambil menuruni anak tangga, Nastya memegang ponselnya, mengirim pesan singkat, lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku sweater.
Di dalam kamar, Narendra masih terdiam menatap kepergian wanita itu. Ia mencerna semua omongan Nastya. Wanita itu marah, karena tadi dirinya lebih memilih pergi bersama Ralin daripada menolongnya.
Padahal, tadi, Narendra sengaja membawa pergi Ralin, karena ingin memperingatkan dia bahwa jangan menganggu dan menyakiti Nastya lagi. Bukan karena lebih membelanya.
Walaupun Narendra pergi meninggalkan Nastya, tapi, dia mengirim pesan singkat pada ayahnya untuk segera menolong Nastya di toilet wanita. Bukan benar-benar membiarkannya begitu saja.
Tapi wanita itu ... malah salah tanggap.
Klek!
Pintu makar mandi dibuka. Hindra keluar dari dalam dengan dibalut jubah mandi berwarna putih, rambut hitamnya masih meneteskan air.
"Ke mana istriku?" Hindra menatap kiri dan kanan. Mengedarkan pandangannya, mencari sosok wanita yang tadi masih duduk di sofa. "Apa kau menggangunya?"
"Siapa yang menganggunya?" Narendra menjawab dengan sinis. Tidak terima dengan tuduhan ayahnya. "Dia pergi sendiri, bukan karena aku ganggu!"
Hindra tidak berdebat lagi. Ia mengambil ponselnya, berniat menelepon Nastya. Ketika membuka layar ponsel, ada satu pesan masuk. Ia segera melihatnya.
"Aku pergi keluar untuk mencari obat pereda sakit. Jangan mengkhawatirkan aku!" Hindra sudah membaca pesan singkat dari Nastya.
Terlihat, keningnya mengerut. "Kenapa membeli obat pereda sakit, keluar? Di kota obat juga ada!"
"Mungkin dia ingin mencari udara segar!" gumam Hindra. Lalu menutup kembali ponselnya. Ia bersiap memakai pakaiannya.
Narendra yang sudah mendengar ucapan Hindra, segera pergi keluar dari kamar. Ketika melewati pintu yang rusak, ia diam sejenak.
"Nanti, aku betulkan. Sekarang, mau mandi dulu!" ucapnya, lalu pergi.
*
Di dalam taksi, Nastya berniat menghubungi seseorang, tapi sedikit ragu. Ia memegang ponselnya, memanggil satu kontak lalu dibatalkan lagi. Panggil lagi, lalu batalkan lagi.
Hingga yang keempat kalinya, barulah ia berani memanggilnya.
"Halo!" sapa orang yang ada di seberang telepon.
"Dokter Kavin!" ucap Nastya dengan ragu. "Apa malam ini jadwalmu piket di rumah sakit?"
"Tidak! Memangnya kenapa?"
"Oh tidak, ya!" Nastya diam sejenak, merasa bodoh sudah menghubungi Dokter Kavin. "Tadinya, aku mau ke rumah sakit untuk memeriksa lukaku. Tapi, jika kau tidak ada, besok saja aku kem—"
Belum sempat Nastya menyelesaikan ucapannya, Dokter Kavin segera memotong, "Ada ... ada! Aku ada di rumah sakit. Kemarilah!"
"Hah ... tadi kau bilang malam ini tidak piket! Mengapa sekarang ...."
"Itu karena ... aku kira, kau ingin mengajakku pergi makan. Jadi, aku mengatakan tidak sedang piket."
"Haha ... kau bisa saja! Mana mungkin aku mengajak seorang pria makan malam? Di mana-mana, yang seharusnya mengajak makan itu adalah pria, kan?"
"Benar juga! Baiklah ... aku akan mengajakmu makan malam, apa bisa?"
"Eemh, ya, jangan malam ini, kondisiku sedang tidak sehat. Lain kali saja, ya!"
"Baiklah! Cepatlah kemari, aku ada di ruanganku!"
"Oke, sebentar lagi aku sampai!'
"Ya, aku tunggu!"
Klik!
Sambungan ditutup. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya.
Jika bukan karena Dokter Kavin pernah membantu merawat ibunya, Nastya tidak mau basa-basi sebanyak itu dengan seorang pria. Walau tidak ada orang yang tahu bahwa dirinya sudah menikah dengan Hindra, tetap saja ia tidak boleh pergi keluar dengan sembarang teman pria.