Suasana di meja itu menjadi sangat ramai dengan bertambahnya satu orang. Nastya terpaksa harus memesan satu menu agar tidak membuat mereka semua curiga, padahal perutnya sudah sangat kenyang.
Ketika Hindra, dan yang lainnya sedang membahas masalah pekerjaan, Nastya cukup tahu diri, ia segera pamit pergi ke belakang. Memberikan mereka ruang untuk bebas membicarakan masalah pekerjaan.
Di dalam toilet wanita, Nastya mencuci tangan di wastafel setelah memuntahkan semua makanan yang sudah masuk ke dalam perut. Makanan yang sangat lezat dan mahal itu harus rela dimuntahkan lagi karena kekenyangan, perutnya terasa mual dan begah.
Ketika Nastya sedang mengeringkan tangan, tiba-tiba datang seorang wanita dengan sepatu hak tingginya. Langkahnya terdengar nyaring di toilet yang sangat sepi itu.
Tak! Tak! Tak!
"Nastya!" tiba-tiba wanita itu memanggil namanya. Nastya segera menoleh ke belakang untuk melihat.
"Ralin?"
"Sejak kapan kau menjadi wanita yang tidak tahu malu?" ucap Ralin dengan tajam. Ia semakin mendekat. "Apa kau tidak diajari sopan santun oleh orang tuamu?"
"Hah, apa maksudmu? Mengapa harus bawa-bawa orang tuaku?" Nastya tidak terima dengan ucapannya.
"Kau tiba-tiba muncul di meja kami. Apa itu cukup sopan, hah? Kami sedang membicarakan masalah pekerjaan. Walau kau adalah istri dari Pak Hindra, bukan berarti kau bisa ikut bergabung dengan kami seenaknya," jelas Ralin, tidak suka.
"Lalu kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sana? Bukankah kau juga sama, ikut bergabung karena Narendra?" tanya Nastya.
"Hahah, itu berbeda!" balasnya dengan bangga. "Sekarang, aku sudah resmi menjadi karyawan di perusahaan Raja Grup. Posisiku sebagai asisten pribadi Narenda. Ya, jelas, aku harus ikut ke manapun bosku pergi, kan?"
"Apa?" Nastya terkejut mendengarnya. "Kau ... asisten pribadi Narendra?" Ia kira, Ralin hanya mengikuti Narendra makan di sana saja. Ternyata ....
"Iya, aku adalah asisten pribadinya. Jadi, akan mengikuti Narendra kemanapun dia pergi."
Nastya kesal mendengarnya.
Padahal, semalam, dirinya dan Narendra sudah baikan. Dia berjanji akan segera menjauhi Ralin.
Dan sekarang ... Ralin adalah asisten pribadinya, akan mengikutinya ke manapun Narendra pergi. Bagaimana dia akan menjauhi Ralin?
'Pembohong!'
"Dasar wanita murahan!" cibir Ralin ketika melihat Nastya terdiam. "Tidak bisa bersama dengan anaknya, kau rela menikah dengan ayahnya, agar bisa hidup serumah!"
"Heemm, apa benar, hanya demi uang, kau rela menikahi ayah Narendra?" cibirnya lagi penuh kepuasan. "Hanya demi biaya perawatan ibumu di rumah sakit, kau rela menjual dirimu sendiri."
"Sekarang, ibumu sudah meninggal, mengapa tidak bercerai saja dari Pak Hindra, jika bukan karena ingin hidup satu rumah dengan Narendra?" tanya Ralin dengan kejam. "Toh, menjual diri pun, sudah tidak ada gunanya lagi. Ibumu sudah meninggal. Percuma menjual diri, menikahi pria kaya, hanya akan merusak nama baikmu sendiri!"
Nastya sudah tidak tahan mendengar semua cibiran dari Ralin. Ia segera mendorong wanita itu hingga ke dinding. Mencekik lehernya dengan satu tangan.
"Masalahmu dengan kehidupanku, apa? Aku merugikan kehidupanmu pun, 'tidak'! Mengapa kau terus mengurusi hidupku?" ucapnya dengan menggertakan gigi. Tekanan di tangannya semakin kuat.
"Aku, menikah dengan ayahnya Narendra, sama sekali bukan karena uang! Itu karena ... aku memang menyukainya!" jawabnya dengan berbohong. Tidak mungkin dirinya mengatakan alasan yang sebenarnya pada Ralin—berpura-pura menikah dengan Hindra karena balas dendam.
"Uang tabungan kami masih cukup untuk biaya perawatan Ibu, sebelum dia meninggal. Apa itu bisa dibilang menjual diri?"
"Uhuk! Nast-Nastya ... lepaskan aku!" lirih Ralin dengan susah payah. Tenggorokannya sakit, napasnya sudah mulai sesak. Nastya terus menekan lehernya dengan kuat.
Dirasa sudah tidak tahan lagi, Ralin segera menendang betis Nastya dengan sepatu hak tingginya.
"Ahhh," ringis Nastya dengan tangan yang sudah terlepas. Ia mundur dua langkah ke belakang, merasakan sakit karena tendangannya yang cukup keras.
Ralin tidak mau kalah, ia mulai menyerang balik, menjambak rambut panjang Nastya dengan kedua tangan. "Dasar, wanita murahan!"
"Argh! Ralin, apa kau gila?" teriak Nastya. Wanita gila itu menyeretnya dan membenturkan kepala Nastya ke tembok.
"Mati saja, kau!" teriak Ralin dengan membabi buta. Ia menyerang lawannya terus menerus, tidak membiarkan Nastya melawan.
Padahal, tadi, Nastya hanya mencekik lehernya saja. Tapi sekarang, Ralin ingin membunuhnya.
Nastya berusaha melawan sebisa mungkin, walau kepalanya terasa sakit dan ada luka di dahinya karena benturan tadi. Ia tidak akan membiarkan Ralin menang begitu saja.
Hingga terjadilah keributan di sana.
Ada wanita yang baru masuk ke dalam toilet. Dia terkejut melihat dua orang bertengkar. Dengan cepat, ia segera keluar lagi. Tidak ingin terlibat dalam perkelahian mereka.
Narendra yang menyadari ada keributan itu, segera melihat ke dalam toilet wanita. Terlihat seorang wanita terlentang di lantai, dan satu wanita lagi berada di atas wanita itu.
"Nastya! Ralin! Apa yang kalian lakukan?" teriak Narendra dari ambang pintu. Ia segera berlari masuk ke dalam.
"Ralin, apa kau ingin membunuhnya?" Narendra menarik tangan Ralin agar segera menjauh dari Nastya. "Apa yang kalian lakukan di sini, sungguh memalukan!"
Narendra segera berjongkok, membantu Nastya untuk bangun. "Kau tidak apa-apa, kan?"
"Aishh, ti-tidak!" ringisnya sambil menahan sakit. Tapi masih berkata tidak, padahal, dahinya sudah berlumuran darah karena benturan yang dilakukan oleh Ralin.
Nastya bangkit berdiri, dibantu Narendra.
"Nastya yang menyerangku duluan!" tuduh Ralin dengan ekspresi menyedihkan. "Dia mencekikku, ingin membunuhku. Masa aku diam saja!"
Nastya membulatkan mata, menatap Ralin dengan jijik.
Bisa-bisanya wanita itu memutar balikan fakta. Padahal, tadi, yang ingin membunuh adalah Ralin. Terus menganiaya Nastya hingga terluka.
"Narendra! Ibu tirimu ini sungguh sangat kejam! Dia ingin mengambil semua harta kekayaan ayahmu dengan menikahinya. Tadi, Nastya mengatakannya sendiri kepadaku!" tuduh Ralin, tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Dia ingin meng—"
"Brengsek! Coba katakan sekali lagi? Akan aku robek mulutmu!" sergah Nastya. Ia bersiap menghajar Ralin dengan kedua tangannya.
"Stop!" teriak Narendra. "Ayo, pergi!" Ia menarik tangan Ralin. Berjalan keluar dari toilet wanita dengan langkah cepat.
Ralin berjalan melewati Nastya dengan penuh kepuasan. Narenda ... akhirnya memilih dirinya, dan meninggalkan Nastya di sana.
Setelah keduanya pergi. Nastya ambruk di lantai. Ia sudah tidak kuat lagi, kepalanya terasa pusing dan sangat sakit. Darah dari luka di dahinya menodai wajah cantiknya.
Bruk!
Nastya pingsan di lantai.
*
Di dalam mobil, Narendra mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalan raya yang cukup ramai. Ia terus menginjak pedal gas, memegang roda kemudinya ke kiri dan kanan dengan lincah. Menghiraukan teriakan dan bunyi klakson dari kendaraan lain. Matanya fokus menatap ke depan.
Ralin, yang saat ini duduk di samping pengemudi, memejamkan mata sambil memegang erat pegangan yang ada di atasnya. Ia menggigit bibirnya sendiri karena menahan rasa takutnya.
"Lain kali, aku tidak ingin melihat kau menyakiti Nastya lagi!" ucap Narendra tiba-tiba. Ia membanting setir ke kiri hingga tubuh Ralin bergoyang hebat mengikuti arah bantingan setir Narendra.
"Apa kau mengerti?" teriak Narendra. Membuat wanita di sampingnya ketakutan.
Dengan gugup Ralin menjawab, "I-iya ... aku me-mengerti!" Tangannya masih memegang pegangan dengan erat.
"Ta-tapi, ke-kenapa? Kenapa kau masih mem-membela Nas-Nastya?" tanya Ralin dengan berani. "Apa ka-karena kau ma-masih menyukai wa-wanita murahan itu?"
"Itu karena ... dia adalah anggota keluargaku, sekarang!" jawab Narendra dengan tegas. "Jadi, kau, ataupun orang lain, tidak boleh menghina atau bahkan menyakitinya."
"Oh, ba-baiklah!" Ralin cukup lega.
Ia pikir, Narendra membelanya karena masih menyukai Nastya. 'Ternyata, hanya karena wanita murahan itu adalah ibu tirinya.'
Heheh!
Ralin merasa menang.