Dini hari, Nastya baru kembali ke rumah besar keluarga Adipraja. Ia memegang kedua sepatunya di tangan, melangkah masuk ke dalam rumah dengan kaki yang sangat kotor. Tubuhnya lelah, kakinya terasa sakit, dan tatapannya terlihat kosong, antara mengantuk juga capek.
Ketika Nastya masuk ke dalam rumah, di sana kebetulan ada Hindra yang sedang mengambil air di dapur. Pria itu sudah sejak dari tadi pulang, dan sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur.
Melihat Nastya kembali ke dalam rumah dengan keadaan berantakan, Hindra cukup terkejut.
Ia segera menghampiri Nastya. Bertanya dengan cemas, "Kau kenapa? Apa yang terjadi? Apa baru dirampok?"
Suaranya cukup keras, membuat Narendra keluar dari kamar. Ia berdiri di lantai dua sambil melihat ke bawah. "Ternyata, Nastya baru pulang!"
"Apa benar kau dirampok?" Hindra kembali memastikan, ketika wanita itu tidak segera merespon.
Penampilannya memang sangat menyedihkan. Rambut panjangnya berantakan, kakinya kotor, bahkan ... make-upnya sudah luntur karena menangis.
"Eh ...." Nastya segera tersadar. "Ti-tidak! Aku tidak apa-apa!"
"Apa terjadi sesuatu pada ibumu?" tanya Hindra sedikit khawatir. Bisa saja, Nastya seperti ini karena telah terjadi sesuatu pada ibunya.
"Tidak! Ibuku baik-baik saja!" Nastya menggelengkan kepala.
"Tadi, dari rumah sakit aku pulang dengan berjalan kaki, karena tidak ada taksi yang lewat," ucapnya dengan berbohong.
"Hah .... jalan kaki? Apa kau sudah gila? Jarak dari rumah sakit ke sini, sangat jauh! Bisa-bisa kau pingsan karena kelelahan," sergah Hindra, semakin khawatir dengan keadaan Nastya.
Hindra segera mengambil sepatu dari tangan wanita itu. "Mengapa tidak dipakai? Sekarang, kakimu pasti terluka!"
"Karena, kalau dipakai kakiku semakin sakit," jawab Nastya dengan pelan.
"Apa melepas sepatu, kakimu jadi tidak sakit lagi?"
"Emmmm ... tidak juga!" Nastya menggelengkan kepalanya lagi.
"Mengapa tidak meneleponku? Nanti aku atau sopir akan menjemputmu!"
"Ponselku mati."
"Aish, sudahlah!" Hindra berbalik badan. Ia berjalan ke dapur. Menyimpan sepatu Nastya di sana, lalu mengambil handuk kecil dari kamar mandi. Ia mencari wadah yang cukup besar di dapur. Setah ketemu, ia isi dengan air hangat.
Pria berusia empat puluh delapan tahun itu kembali menghampiri Nastya.
"Duduklah di sini!" Hindra menunjuk sofa panjang. "Aku akan membersihkan kakimu."
Nastya sangat lelah. Dirinya memang sangat ingin duduk atau bahkan merentangkan seluruh tubuhnya di atas sofa atau kasur. Tanpa rasa malu, ia duduk di sofa yang tadi ditunjuk oleh Hindra.
"Aahhh!" Rasanya nyaman sekali bisa bersandar di sofa yang empuk. Ia mulai memejamkan mata. Merasakan pegal di seluruh tubuhnya.
Hindra segera membungkuk, membersihkan wajah cantik itu dengan handuk kecil.
Gerakannya sangat telaten membersihkan wajah Nastya, membuat seseorang yang ada di lantai dua tidak nyaman. Narendra segera masuk ke dalam kamar dan membanting pintu.
Nastya merasakan rasa hangat di wajahnya, juga gerakan lembut dari tangan Hindra. Ia segera membuka mata. Terlihat wajah seorang pria yang begitu lembut sedang menatapnya.
Tidak ada perasaan apapun ketika mereka bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Yang ada hanya ... perasaan nyaman dari kasih sayang seorang ayah.
Tiba-tiba ujung matanya terasa basah. Nastya segera menyeka air mata yang hampir menetes. "Ah, maaf!"
Hindra tersenyum, lalu menjauh. "Tidak apa-apa! Jika ingin menangis, menangislah! Mungkin itu akan membuatmu merasa lega."
Ia membasahi lagi handuk itu dengan air hangat yang ada di wadah. "Jika kau lelah, berbaringlah! Aku akan membersihkan kakimu."
Nastya sedikit ragu. Ia terdiam beberapa saat.
Pakaiannya sangat terbuka seperti ini, rasanya tidak nyaman berbaring di depan seorang pria seperti Hindra. Bisa saja dia ....
"Hehe ... apa yang kau pikirkan?" Hindra mencolek hidung wanita itu. "Kau takut, ya?"
"Aku sudah bilang dari awal, akan menyayangimu seperti anak kandungku sendiri." Hindra diam sejenak, menyentuh dahi Nastya dan mengelusnya.
"Aku ..." Ia menatap kiri dan kanan sebelum berbicara, "tidak seperti pria normal pada umumnya. Aku tidak bisa memiliki anak, dari dulu hingga sekarang. Itulah mengapa aku begitu mencintai mendiang istriku. Dia tidak pernah menuntut apapun walau aku tidak bisa memuaskannya."
"Jadi sekarang ... kau tidak perlu takut aku akan bereaksi jika melihat tubuhmu." Hindra memegang handuk itu lagi. "Sekarang, berbaringlah! Aku akan membersihkan kakimu. Lukamu juga harus segera di obati. Kalau tidak, bisa infeksi."
Nastya ragu sejenak, lalu mulai menggeser tubuhnya, berbaring di atas sofa dengan perasaan haru. Kakinya mulai dibersihkan oleh Hindra.
Di dunia ini, ada pasangan suami istri yang bisa hidup bahagia tanpa berhubungan badan. Sang istri menerima semua kekurangan suami hingga ajal menjemputnya. Sang suami begitu kehilangan ditinggal istri tercinta. Tidak ada niatan mencari wanita lain untuk mengisi kekosongan di hatinya. Pria itu memilih untuk melakukan nikah kontrak demi mendapatkan status seorang istri di mata semua orang.
Semua cerita itu bagaikan sebuah dongeng, yang jauh dari kehidupan zaman sekarang. Membuat Nastya terhanyut dan mulai tertidur.
*
Di pagi hari, Nastya dikagetkan dengan suara ketukan pintu yang cukup keras, diiringi suara pelayan, "Nona! Apa Anda sudah bangun?"
Nastya mendengarnya, segera bangun dan menjawab, "Iya, aku sudah bangun!"
'Ah, di mana ini? Kakiku masih pegal!' Ia menggeliat, menatap sekeliling ruangan yang nampak tidak asing.
Ternyata, dirinya sudah ada di kamar Hindra, pakaiannya pun sudah berganti dengan baju tidur. 'siapa yang mengganti pakaianku?'
"Nona! Apa Anda tidak ingin pergi ke rumah sakit," ucap pelayan itu, dengan sedikit khawatir.
"Ke rumah sakit? Memangnya ada apa?" Nastya merasakan firasat yang tidak enak, ketika mendengar pelayan itu berbicara.
Ia segera turun dari tempat tidur, berjalan menuju pintu keluar, lalu membuka pintu. Terlihat wajah panik dari pelayan wanita itu.
"No-nona!"
"Ada apa, cepat katakan? Jangan membuat aku bingung," tanya Nastya semakin tidak sabar.
"Tuan Besar dan Tuan Muda, sudah pergi ke rumah sakit dari dua jam yang lalu. Tuan Besar tidak ingin membangunkan Nona, karena semalam Nona kelelahan. Tapi .... " Pelayan itu ragu sejenak, "Saya rasa, Anda harus segera pergi ke rumah sakit."
"Sebenarnya, apa yang terjadi? Cepat katakan!" sergah Nastya. "Mengapa Narendra dan suamiku pergi ke rumah sakit? Apa mereka sakit?"
"Bu-bukan, Nona! Tapi ... ibu Anda—"
"Ibuku, kenapa?"
"Tadi pagi, pihak rumah sakit menghubungi Tuan, bahwa ibu Anda meninggal dunia." Akhirnya, pelayan itu mengatakannya.
"Apa? Ibu meninggal?" Nastya mundur dua langkah ke belakang. Seolah ingin menghindari kenyataan pahit yang ia dengar. "Kau jangan berbohong! Tidak mungkin ibuku meninggal!"
"Ponsel Anda tidak aktif, jadi, pihak rumah sakit menghubungi Tuan Besar untuk memberitahu kabar ini."
Sebelumnya, Nastya memang mencantumkan nomor ponsel Hindra sebagai anggota keluarga Maria. Tidak heran, sekarang, pihak rumah sakit menghubunginya.
"Cepatlah, Nona! Saya akan meminta sopir untuk mengantar Anda ke rumah sakit," ucap pelayan itu. Mengerti dengan perasaan Nastya saat ini.
Setelah itu, pelayan segera pergi ke bawah.
Nastya masih terhanyut dalam keterkejutannya mendengar berita kepergian Maria. Antara percaya dan tidak, Nastya masih mematung di tempat. Sama sekali tidak mengerti ... dirinya harus berbuat apa, sekarang?