Chereads / CEO Termiskin di Dunia / Chapter 9 - Bertikai Soal Melihat Surat Wasiat

Chapter 9 - Bertikai Soal Melihat Surat Wasiat

Senin pagi. Hanjo terlambat tiba di kantor. Mobilnya terjebak dalam kemacetan. Entah apa penyebabnya. Ia baru sampai di kantor menjelang pukul 09.00 WIB.

Masuk ruang kerja, ia disuguhi pemandangan yang suram. Di sebelah, ruangan yang biasanya ditempati Mamoi, sudah duduk Lucya dan Melina. Mungkin keduanya sudah datang semenjak pagi.

Saat masuk ruangan barusan, ia sudah merasa ada yang berbeda dengan suasana di kantor. Para karyawannya tampak duduk menunduk di meja masing-masing. Biasa mereka tersenyum atau menganggukan kepala bila ia lewat. Namun tadi terlihat kaku sekali.

Meski ia sudah tahu, namun Sarita tetap memberitahunya. "Buk Lucya dan Melina datang, Pak Bos CEO," lapornya begitu masuk ruangan.

"Sudah tahu," jawab Hanjo. "Mau apa mereka?"

Sarita meletakan bundelan map di atas meja. "Tidak tahu juga. Belum jumpa dengan saya," jelasnya seraya berdiri di ujung meja. "Tadi tampak keliling ruangan karyawan," tambahnya.

Hanjo menjangkau surat-surat. Dibacanya satu per satu sebelum diteken. Cukup banyak juga. Sarita masih berdiri. Ia menunggu perintah. Selesai dua berkas map, Hanjo menyerahkannya pada sekretarisnya.

"Apa agenda aku hari ini?" tanya Hanjo tanpa mengangkat kepala.

"Rapat dengan manajer keuangan dan beberapa staf. Setengah jam lagi. Trus ada kedatangan petugas Bea Cukai sebelum istirahat siang. Usai istirahat rapat dengan tim pemasaran yang akan persentasi ke Surabaya. Hanya itu, Pak Bos CEO," jelas Sarita.

"Jadi hanya ada waktu longgar menjelang istirahat?"

"Benar sekali, Pak Bos CEO."

"Oke. Kalau mereka mau jumpa aku bilang sebelum istirahat."

Sarita kelihatan ragu. "Apa mereka mau, Pak Bos CEO? Mereka sudah datang pagi tadi."

Hanjo menoleh sekilas. "Untuk urusan di kantor ini siapa pun ikut jadual aku," tegasnya.

"Iya, Pak Bos CEO," angguk Sarita.

"Lanjutkan pekerjaan kamu. Tunggu saja mereka mau apa," perintahnya.

Sarita menekuk kepalanya. "Siap, Pak Bos CEO."

Hanjo melanjutkan pekerjaannya. Dengan sudut mata ia mengerling beberapa detik. Tampak Lucya duduk di kursi yang biasanya ditempati maminya. Ia bergaya seperti bos juga. Menaikkan kaki ke atas meja kecil di samping tempat duduk.

Sementara Melina duduk di pinggiran meja. Ia memakai rok pendek. Terlihat sebelah kakinya tertekuk di pinggiran meja. Keduanya seperti tengah berbicara. Tentu tidak terdengar samasekali suara mereka. Terhalang kaca. Hanjo menarik matanya ketika dilihatnya Lucya memandanginya.

Usai meneken surat-surat, Hanjo melangkah ke ruang meeting. Ia menoleh sekilas pada Lucya dan Melina seraya mengangkat tangan.

Melina mengejarnya. Hanjo menghentikan langkah. "Aku mau meeting. Ngomong saja dulu sampai sekretaris aku," ujar sebelum Melina buka mulut. Tanpa menunggu Hanjo berlalu.

Tidak terlihat olehnya wajah Melina yang berkerut dengan bibir cemberut. Juga tidak tampak olehnya sorotan mata kebencian dari Lucya melihat saudara diabaikan begitu.

*

Melina masuk ruangan seraya bersungut-sungut. "Belagu betul dia. Seperti bapaknya yang punya perusahaan ini." Ia menghempaskan pantat di kursi.

"Apa katanya?" tanya Lucya.

"Dia mau meeting katanya. Disuruh jumpai sekretarisnya."

"Trus..."

"Tak lah. Ngapian jumpa sekretarisnya. Kita perlu sama dia," dengus Melina.

Lucya setuju. "Ya tunggu saja dia,"

Melina mengeluarkan air mineral dari dalam tas. Sebotol diserahkannya kepada kakaknya. "Kita harus cepat menyelesaikan soal perusahaan dan rumah dengan si blekok itu. Jangan beri waktu lagi dia," ucap Melina usai meneguk minuman.

"Seperti yang dibilang Bang Hen, kita mesti memegang salah satu sekretaris. Sepertinya sekretaris Mama bisa didekati," ujar Lucya. "Coba kamu datangi dia."

"Sekarang aku jumpai dia?"

"Ya, selagi si Blekok itu tidak ada."

Melina tidak membantah. Ia segera ke luar ruangan. Kebetulan sekali ruangan mantan sekretaris Mamanya itu masih terpisah dengan dua sekretaris Hanjo. Ia bisa ngomong tanpa didengar dua sekretaris si Blekok itu. Ia pun sudah kenal dengan Putri.

Putri menyambut Melina dengan senyuman ketika anak bungsu mantan bosnya itu masuk. "Apa kabar, Buk?" sapanya sambil mengulurkan tangan.

Melina menyambut salamannya. "Jangan panggil Buk deh. Makin bertambah tua aku. Mau sih bertambah muda. Hehehe panggil Mbak saja," ujarnya seraya duduk di depan meja Putri.

Putri tersenyum setuju. "Iya deh, Mbak."

"Umuran kita mungkin selisih setahun dua tahun juga. Kamu berapa sekarang?' tanya Melina.

"Dua empat. Mbak sendiri?" Putri tertawa renyah.

"Tidak salah kan. Aku dua lima."

Keduanya saling tertawa. "Bagaimana masih betah kerja kan? Apalagi dengan bos barunya."

Puteri menghentikan tawanya. "Ya, masih dong, Mbak. Apalagi sekarang tidak mudah mencari kerja. Mbak mau masuk ke perusahaan?"

"Ya begitulah rencananya. Ssttt. Tapi jangan bilang ke yang lain-lain. Apalagi sama Pak Bos CEO-nya itu."

"Aman kalau soal itu."

"Pelan-pelan aja. Soalnya ada yang memantau kita," ucap Melina begitu mengetahui dua sekretaris Hanjo memperhatikan mereka.

Putri melirik. Ia kemudian tersenyum.

"Mbak Putri sudah berkeluarga?"

Putri menggeleng. "Belum laku," timpalnya.

"Belum laku apa susah memilih?"

"Sepertinya yang pertama itu."

"Aku doakan deh, mudah-mudahan segera bertemu dengan pilihannya," tutur Melina pula.

"Amiinn."

Melina tersenyum dalam hati. Ia merasa sepertinya bisa mendekati Putri. "Mbak, aku boleh minta nomor HP-nya?"

"Tentu bisa, Mbak," ujar Putri seraya menyebutkan nomornya. Melinda langsung mencatat di HP-nya. Ia menghubungi nomor yang disebutkan Putri. HP Putri berbunyi. "Itu nomor aku. Simpan, Mbak ya."

Putri mengangguk. "Tentu," ujarnya. "Masih lama di Jakarta, Mbak?"

"Ya, sampai selesai semua urusan di sini. Terima kasih ya. Maaf, menganggu kerjanya," ucap Melina yang kemudian pamit.

Kembali ke ruangan Maminya, Melina mengacungkan jempolnya. "Sepertinya Putri bisa kita ajak kerjasama."

"Semoga begitu."

Meski harus menunggu beberapa jam lagi, namun Melina dan Lucya tetap bertahan dalam ruangan. Mereka tidak ingin melepaskan kesempatan. Kedua menyibukkan diri dengan bermain game atau chatting di HP masing-masing.

Ketika Hanjo masuk ke ruangannya, keduanya segera masuk. Hanjo menyambut dengan kaku. Mereka bertiga duduk di meja meeting dengan empat kursi di sudut ruangan.

"Maaf, baru sekarang bisa jumpa. Ada apa ini?" tanya Hanjo diplomatis.

Melina melirik Lucya. Ia memberi kode agar kakaknya yang berbicara. Tapi sebelum Lucya bersuara, Hanjo kembali buka mulut. "Sebelumnya aka mau bertanya untuk apa foto-foto yang diambil di rumah. Aku tahu kalian datang dari para pembantu," sebut Hanjo.

"Sepertinya tidak perlu melapor kepada siapa-siapa. Itu kan rumah Mami. Rumah kami juga," ujar Melina.

"Betul. Tapi kalian menfoto-foto ketika aku tidak ada di rumah."

"Emangnya salah?" tantang Melina.

"Tidak juga. Hanya kurang etika saja."

"Etika soal apa. Itu rumah kami, kok."

"Oke kalau itu penjelasan kalian. Lalu soal apa lagi?" tanya Hanjo menahan diri.

"Banyak soal sebetulnya. Tapi yang pertama soal warisan itu. Kapan kita bisa melihat surat wasiat yang Anda punya?" tanya Lucya.

Hanjo menarik bibir. "Semula kalian datang mengajak aku melihat surat wasiat yang ada di notaris kalian. Aku setuju. Aku malah menunggu-nunggunya. Tapi tidak ada pemberitahuan. Kenapa sekarang berubah pula?"