Chereads / CEO Termiskin di Dunia / Chapter 15 - Menolak Diajak Refresing

Chapter 15 - Menolak Diajak Refresing

"Jadi apa yang mesti aku lakukan?" tanya Hanjo begitu Hardiman duduk. Seakan tidak diberinya kesempatan bagi pria berwajah klimis itu mengambil nafas.

Hardiman yang duduk di depannya tidak langsung menjawab. Keningnya terlihat berkerut. Entah apa yang dipikirkannya.

"Sori. Sori. Ngopi dulu. Lupa aku," ujar Hanjo kemudian setelah menyadari sikapnya yang tidak bisa menahan diri.

Hardiman menyeruput kopi yang sudah terhidang dengan cangkir porselen berwarna putih. Hanjo menahan mulutnya. Dipandangnya Hardiman seperti orang yang baru dikenalinya.

Yakin Hardiman tengah berpikir mencarikan apa yang mesti dilakukannya, Hanjo menunggu dengan sabar. Tidak didesaknya kawannya. Dibiarkannya saja. Hanjo menghela hirupan rokok seraya mengedarkan mata ke depan cafe. Pagi-pagi, cafe tentu sepi. Hanya mereka berdua di dalamnya.

Pagi-pagi, menjelang ke kantor, ia mendesak Hardiman jumpa. Ia kenal sekali dengan kelemahan sohibnya itu. Tidak pernah bisa menolak bila diajak ngopi. Kapan pun itu. Mau pagi, siang, petang atau malam. Ia pasti oke dan segera datang. Pantangannya satu saja: ia berada di luar kota.

Begitu Hanjo tahu Hardiman sudah kembali ke Jakarta, pagi-pagi ia sudah menghubungi. "Sebelum ke kantor kita ngopi ya," katanya seraya menyebutkan cafenya.

Saat menghubungi Hardiman pagi tadi itu Hanjo menjelaskan secara lengkap hasil pertemuannya dengan notaris Herawati Aida bersama Lucya.

"Udah ada ide, Bro?" usik Hanjo kemudian setelah ia sendiri tidak bisa menahan hatinya. Mulut seakan gatal untuk segera berbicara.

Hardiman mengeleng lemah. Tanpa suara. Dari mulutnya hanya keluar kepulan asap putih. Bergulung-gulung.

Hanjo melirik sekilas. Dalam pandangan matanya, kening Hardiman tampak kian banyak kerutannya. Namun ia tidak bisa memastikan kerutan itu karena usia atau karena tengah berpikir keras mencarikan solusi untuk masalahnya.

Hanjo mengeluarkan HP dari tas tangannya. Dilihatnya pesan di WA. Tidak ada yang urgen yang mesti segera ditanggapi. Dibukannya juga email. Pun tak ada yang memerlukan balasan. Dilihatnya Hardiman masih membisu, ia membaca berita portal. Juga tidak yang menarik perhatiannya. Hanya baca-baca judul dan lihat foto.

"Bro," panggil Hardiman kemudian. "Bagaimana kalau ikuti saja proses yang akan dilaksanakan bersama notaris itu?" sarannya.

Hanjo segera mengeluarkan matanya dari layar HP. Dipandanginya Hardiman dengan mata menyipit. Hardiman tidak punya pikiran. Tak punya ide. Tak biasanya dia seperti itu.

Hanjo tidak bisa menyembunyikan keheranannya. "Maksud, Bro?"

"Ikuti saja apa proses lanjutan sebagai realisasi surat wasiat itu," ujar Hardiman tanpa menggerakkan matanya.

"Tidak punya ide samasekali?"

"Belum," ucap Hardiman singkat membunuh harapan Hanjo.

Hanjo melepaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Bro mau aku mengikuti saja prosesnya? Hanya mendapatkan sebuah rumah kecil dan mobil tua. Begitu?"

"Bukan begitu juga."

"Lalu?"

Hardiman kembali menggelengkan kepala. "Ide itulah yang aku belum punya," akunya.

Hanjo tidak tahu kawannya ini berkata jujur atau memang tidak mau membantunya. Dirasakannya Hanjo makin banyak perubahannya. Tidak banyak bicara dan kepalanya seperti tertutup. Kering dengan ide.

"Bro sepertinya perlu refresing. Berat betulnya kayaknya kerjaan ke Bandung itu. Kepalanya menjadi kering dengan ide dan pikiran-pikiran baru. Sabtu kita ke Puncak?" ajak Hanjo menyampaikan tawarannya.

Hardiman tersenyum miring. Ia menggeleng.

"Ke Pulau Seribu?"

Hardiman meneruskan senyumannya. "Ngapain ke sana?"

"Refresing. Menyegarkan pikiran. Menenangkan kepala."

Hardiman menanggapi dengan diam. Senyumannya selesai.

"Hei!" teriak Hanjo seperti mendapatkan ide baru. "Berdua saja kita pergi. Cari teman di sana saja. Oke kan?"

Semenjak menikah dengan Mamoi, Hanjo memang jarang sekali pergi liburan atau refresing tanpa ada Mamoi di sampingnya. Bukannya tidak mau. Atau tidak kepingin. Hehe, harus diakuinya, ia tidak berani pergi. Selain takut minta izin Mamoi, ia pun yakin tidak akan diperbolehkan.

"Aku pun merasa sumpek juga semenjak Mamoi tiada," tambah Hanjo.

Sebuah tawaran yang menarik, pikir Hardiman dalam hati. Namun ia tidak bisa memutuskan. Mesti banyak juga pertimbangannya. Paling tidak, tak bisa memutuskan sekarang.

"Aku lihat situasilah. Aku pikirkan dulu," elak Hardiman.

"Aduh. Bro tidak perlu memikirkan apa-apa. Biar aku yang memikirkannya. Bro tinggal berangkat. Oke?"

Adalah hal kecil bagi Hanjo untuk mencarter speed boat atau kapal cepat pulang pergi ke Pulau Seribu. Dan bukan masalah besar pula baginya menyewa kamar resort mewah berkelas hotel berbintang lima. Juga untuk membooking teman penghangat yang diperlukan.

"Belum oke," Hardiman masih bertahan dengan penolakkannya.

Tiba-tiba Hanjo terkekeh. Tertawa lepas seperti mendapatkan rezeki nomplok. "Jangan kuatir. Biar aku yang ngomong sama Ito. Tenang saja," ujarnya disela tawa yang berkepanjangan.

Hardiman melotot dengan mata bulat. "Maksudnya?"

Hanjo menahan tawanya. "Aku tahu. Bro pasti tidak berani minta izin sama Ito. Takut ngomong sama istri. Jadi, biar aku yang ngomong. Pasti diizinkan kalau aku yang bicara," tambah Hanjo seakan yakin betul penyebab Hardiman tidak mau memenuhi ajakannya.

"Bukan itu masalah," sela Hardiman cepat. Ia ingin mengatakan dirinya tidak bukanlah anggota ISTI*. Ia bukan pria yang takut sama istri. Namun ditelannya kembali suara itu. Ia tidak mau mengungkit-ungkit bagaimana hubungan Hanjo dengan istrinya.

"Lalu?"

"Aku banyak kerjaan," ujar Hardiman beralasan.

"Bukannya jam kerja. Bukannya pada hari dinas. Kita pergi pada hari libur. Sabtu kita pergi. Minggu balik lagi. Aku pun tidak bisa juga meninggalkan kerjaan," tangkis Hanjo.

"Betul. Banyak kerjaan," ulang Hardiman kembali.

"Aduh, jangan mencari-cari, Bro."

Hardiman menghempuskan asap rokoknya. Seakan menghembuskan pikiran yang membelitnya hingga ia harus mengambil putusan harus menolak ajakan Hanjo itu.

"Ayolah. Sudah lama kita tidak pergi berdua," bujuk Hanjo dengan suara penuh harapan bagai gadis membujuk pacar.

"Oke ya?" tanya Hanjo lagi.

Terdengar Hardiman menarik nafas. "Nanti aku pastikan." Ia masih berupaya mengelak.

"Kenapa mesti menunggu nanti?" kejar Hanjo.

"Tidak mesti terburu-buru kan. Sekarang masih Rabu. Masing panjang waktunya." Hardiman tersenyum dalam hati. Ia masih mendapatkan alasan untuk tidak memberikan kepastian.

"Ada kepastian sekarang tentu lebih baik. Bisa direncanakan dan booking sekarang."

Hardiman mengumam tak jelas. Dan itu ditangkap Hanjo sebagai bentuk persetujuan. Diam tanda setuju, begitu kesimpulannya.

"Oke. Kita berangkat Sabtu pagi. Bro tinggal berangkat. Aku yang siapkan semua," Hanjo memutuskan.

Hanjo mengibaskan tangannya ketika Hardiman akan membuka mulut lagi. Tidak memberi kesempatan berbicara. Hanjo segera memanggil pelayan cafe minta bill pembayaran.

"Kita bubar sekarang. Aku ke kantor," sebut Hanjo mematikan kesempatan bagi Hardiman untuk bersuara.

Usai menyerahkan uang kepada pelayan cafe, Hanjo berdiri. "Aku duluan," katanya seraya memperbaiki lengan kemeja panjang. "Kopi Bro aku tambah itu," Hanjo bergegas menuju pintu cafe.

Hardiman terlongo menggelengkan kepala. Susah sekali menolak kemauannya. Hanjo pun merasa serba salah. Terasa sangat sulit baginya untuk mengikuti ajakan Hanjo. Sama sulitnya menolak ajakan itu.