Keduanya berjalan menuju arah Melinda duduk. Makin jelas raut wajah mereka. Melina kembali memeras ingatannya. Siapa ya?
Ops! Melina ingat. Bukankah mereka yang pernah jumpa dengan ia bersama Lucya di supermarket? Tidakkah pria muda berambut gondrong itu adik temannya Lucya di Surabaya? Betul. Melina tidak salah ingat.
Melina segera menyapa mereka. "Haii..." ujarnya setelah memperbaiki posisi duduk.
Keduanya terhenti. Memandang pada Melina dengan menyipit. Mungkin mengembalikan ingatan pula.
"Lupa ya? Aku adiknya Lucya. Kita pernah jumpa kemarin itu," jelasnya sambil berdiri.
Pria muda berambut gondrong menepuk jidatnya. "Oh, iya. Jumpa kemarin di supermarket. Tidak lupa, kok," ujarnya. "Cuman pangling ja. Iya kan dek," ia menoleh pada gadis di sebelah. "Makin cantik dari kemarin."
"Wuss, lepek begini dibilang makin cantik," bantah Melina cemberut dengan senyuman. "Aku yang lupa nama kalian."
"Marten dan Sonia, Mbak"
"Ya, ya. Pasangan yang serasi sekali. Selalu berdua ke mana saja."
"Kebetulan saja jumpa pas lagi berdua," kilah Sonia.
"Tidak bersama Mbak Lucya?" tanya Marten.
"Mau jumpa dia. Tapi lagi keluar apartemen pula?"
"Mbak Lucya tinggal di apartemen ini?" tanya Marten.
"Ya kalau lagi berada di Jakarta. Dia kan lebih banyak di Surabaya."
"Wuih, hebat. Ini masuk kelompok 10 apartemen termewah di Jakarta lho," jelas Sonia. Ia seperti kenal banyak dengan apartemen.
Melina tidak menanggapi. "Kalian mau ke apartemen ini juga?"
Marten dan Sonia sama-sama menggeleng. "Mau ke cafe. Tuh di sana," tunjuk Sonia dengan bibirnya ke sebelah lobi yang dibatasi dinding kaca. Marten tertawa membenarkan.
"Baik. Silahkan dilanjut saja."
"Mbak sendiri?"
"Di sini ja. Menunggu Mbak Lucya," sebut Melina.
"Bagusan nunggu di cafe bareng kami. Menunggu sambil minuman. Jadi tidak membosankan. Iya kan Nia?" Marten seakan minta persetujuan pada gadis di sebelahnya.
Sonia pun setuju. "Iya, Mbak. Menunggu itu pekerjaan paling membosankan."
Melina terdiam. Ia tidak punya alasan pula menolaknya. Lagi pula, dari pada bosan menunggu sendirian, tentu lebih baik menunggu bertiga sambil ngejus atau ngopi. Ia pun menghela travel bag-nya.
"Mbak ini baru nyampe nih?" tanya Marten yang kemudian memegang handel travel bag berwarna merah itu.
Melina mengangguk.
Mereka kemudian melangkah ke cafe. Cukup luas ruangan cafe. Mungkin itu sebab cafenya tampak lengang. Melina memilih meja di pinggir. Dengan demikian ia bisa melihat Lucya datang.
"Dari mana Mbak? Sepertinya dari luar kota," tanya Marten begitu mereka duduk.
"Batam."
"O, Mbak tinggal di Batam."
Melina membenarkan.
"Aku belum pernah ke Batam. Pingin sekali ke sana. Kapan-kapan kita ke sana ya. Katanya dekat dekat dengan Singapura," tutur Sonia melirik Marten.
Pria berambut gondrong itu menanggapi dengan santai. "Oke. Kapan-kapan," katanya.
"Kapan-kapan itu kapan?"
"Kapan-kapan kita berjumpa, kapan-kapan kita bersama lagi, mungkin lusa atau di lain hari..." jawabnya dengan berirama.
"Itu nyanyian Koes Plus, Kadrun!" protes Sonia kencang.
"Hehe itulah jawabannya. Bisa besok atau di lain hari."
Melina tersenyum melihat keakraban mereka. Tertawa gembira. Lepas. Seakan tanpa beban. Sesuatu hal yang sudah lama hilang dalam kehidupannya. Ah, kenapa berpikiran begitu pula.
"Kalian satu kuliahan?"
"Satu kampus tapi beda fakultas. Aku di Teknik dan Sonia di Sastra."
"Sastra?"
"Sastra Indonesia, Mbak," jelas Sonia.
"Aku juga tamatan Sastra. Sastra Inggris," sebut Melina.
"Kuliah di mana dulunya, Mbak?"
Melina menyebutkan nama universitas swasta di Jakarta. Beda dengan universitas tempat kuliah Marten dan Sonia sekarang.
"Waduh, tak nyangka sama-sama anak Sastra kita, Mbak," tuturnya Sonia seraya menceritakan dirinya sempat didiamkan keluarga berbulan-bulan karena tidak suka dengan pilihannya kuliah di Sastra.
Melina memandang agak lama. Gadis ini manis dan cantik. Raut wajahnya bulat putih bersih. Namun, dalam kacamata Melina, dandanan gadis ini sedikit norak. Terutama di bibir dan lingkaran matanya. Bibirnya merah merangsang. Matanya hitam menggoda. Perhiasannya juga tampak menyolok.
Pembicaraan mereka sudah sampai ke barat dan ke timur, namun belum kelihatan Lucya nongol. Minuman sudah bertambah dan berganti, yang ditunggu belum muncul juga. Hingga kemudian Marten dan Sonia pamit duluan. Mareka, katanya, ada kuliah sore. Melina tentu tak bisa menahan.
Melia kembali pindah duduk di lobi. Duduk di sofa menghadap pintu kaca. Ia memberi tempo penantian selama lima belas menit. Dalam tempo itu Lucya belum juga tiba, ia memutuskan pulang ke apartemennya.
Apartemen Melina hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari apartmen kakaknya ini. Sama kelasnya. Apartemen mewah juga. Awalnya, mereka sepakat membeli apartemen di gedung yang sama. Mungkin beda lantai saja.
Tetapi belakangan muncul pikiran Melina akan sering terjadi hal-hal yang kurang mengenakkan bila sangat berdekatan dengan sering berjumpa. Privasi bisa terganggu. Atau masalah tetek bengek lainnya. Maka kemudian ia memutuskan tidak jadi membeli di gedung yang sama dengan apartemen Lucya. Alasannya pada Lucya, ia mendapatkan diskon yang lumayan di apartemen lain itu. Bagi Lucya juga tidak masalah.
"Heh! Bengong sendirian," terdengar suara di sebelah kanan Melina. Sangat dekat. Hanya beberapa jengkal dari telinganya.
Tanpa menoleh pun ia sudah kenal suara siapa yang mengusiknya. "Kenapa lama betul?" rungut Melia dengan muka cemberut.
"Sori. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Jam berapa kamu nyampe?"
"Udah pagi tadi!"
"Pagi tadi?"
"Iya. Aku terbang dengan pesawat pukul delapan dari Batam. Tau kan jam berapa nyampenya?"
"Berarti kamu sudah nyampe jam puluh pagi tadi?"
"Batam Jakarta hanya satu setengah jam!"
"Aduh. Terus kamu menunggu di sini? Kenapa baru telpon aku? Kenapa tidak dari pagi itu kasih tahu kamu dah di Jakarta?" Terlihat raut wajah kecemasan di muka Lucya. Ia merasa bersalah pada adiknya.
Melina menahan senyum melihat rona wajah Lucya. "Tidak. Jalan-jalan dulu."
"Jalan-jalan ke mana? Sama siapa?" kejar Lucya.
"Keliling Jakarta."
"Sama siapa?"
"Sendirian."
"Kamu sendirian?"
"Sewa taksi online."
"Aduh. Kenapa tidak ke apartemen kamu aja?"
"Iya ini mau ke sana. Kalau tidak nongol dalam waktu lima belas terakhir, aku dah balek," ucap Melina yang mulai keluar dialek Melayu-nya.
"Iya. Maaf. Aku dah pulang sekarang. Ayo kita naik. Maaf ya," ajak Lucya seraya meraih handel travel bag Melia.
Melia mengikuti langkah kakaknya dengan menyimpan senyuman. Hatinya terasa nyaman dengan atensi kakaknya itu.
Tidak sampai hitungan lima menit, mereka pun sudah berada dalam apartemen. Melina melemparkan badannya ke sofa hitam besar yang empuk. Ia meluruskan badan dan kaki. Badannya yang pegal-pegal terasa mendapatkan pijatan yang lembut.
Lucya datang membawa botol air mineral. Dituangnya ke dalam dua gelas. "Nih, minum dulu," tawarnya seraya mengangsur gelas ke dekat Melina.
"Heh, aku ada cerita menarik," ujarnya setelah duduk.
"Cerita apa?" tanya Lucya.
"Ntar aku minum dulu. Kehausan dari tadi." Melina meraih gelas minuman.
"Ah, kamu berlebihan sekali. Banyak yang jual minuman di lantai bawah. Cafe dan restoran juga banyak."
"Iya banyak. Aku malas saja. Capek."
"Sekarang sudah bisa istirahat. Segera lepas capeknya. Sudah makan kan?
"Capek dan bengong. Mana selera makan?"
"Oke. Istirahat dulu. Ntar kita makan. Aku ada bawa makanan spesial," ujar Lucya pula. "Eh, barusan kamu ngomong ada cerita menarik. Cerita soal apa?" tanya Lucya.