Chereads / CEO Termiskin di Dunia / Chapter 22 - Mesti Harus Ada Wasit

Chapter 22 - Mesti Harus Ada Wasit

"Kalau kita bertengkar. Berantam di sana. Siapa yang akan melerai?"

Tidak hanya tertawa yang ketiga, namun Hanjo malah terkekeh-kekeh. Sampai air matanya keluar. Sampai badannya berguncang-guncang. Sampai berderit-derit bangku besi tempat mereka duduk.

"Ada, ada..." ujarnya di sela kekehan. "Hehe, ada yang akan melerai. Dan. Dan ada yang menjadi wasit hehehe..." ucap Hanjo terangguk-angguk.

"Kalau kita bertengkar. Berantam di sana. Siapa yang akan melerai?"

Tidak hanya tertawa yang ketiga, namun Hanjo malah terkekeh-kekeh. Sampai air matanya keluar. Sampai badannya berguncang-guncang. Sampai berderit-derit bangku besi tempat mereka duduk.

"Ada, ada..." ujarnya di sela kekehan. "Hehe, ada yang akan melerai. Dan. Dan ada yang menjadi wasit hehehe..." ucap Hanjo terangguk-angguk.

*

Terdengar deringan panggilan di seluler. Melina menjangkau HP yang berada di atas meja. Sekilas ia tersenyum membaca nama yang tampil di layar.

"Ada apa Ren?" tanyanya.

Melina diam mendengarkan suara di HP-nya.

"Kamu sekarang di pelabuhan. Mengikuti dia? Dengan siapa dia pergi?"

Diam lagi mendengarkan.

"Ya. Kamu ikuti terus. Cari tahu apa yang dilakukannya di sana? Siapa saja yang bersamanya? Cari tahu semua. Kamu bawa kamera?"

Melina kembali diam.

"Bagus. Bagus.," jawabnya dengan senyuman. "Ikuti saja. Kamu berangkat juga ke Pulau Seribu," perintahnya.

Kembali Melina memasang telinga mendengarkan perkataan Randi. Terlihat dahinya berkerut.

"Kan sudah aku kirim semalam. Belum kamu ambil? Hehe aku juga lupa ngasih tahu. Aku kirim lima belas juta. Pasti cukuplah untuk ongkos kapal dan bermalam satu dua hari di Pulau Seribu. Pulang dari sana aku tambah lagi. Oke!"

Melina mengembalikan HP ke atas meja. "Kak, kak..." panggilnya.

Tak lama Lucya datang. Pakai kaos pendek dan celana pendek. Barusan selesai mandi. Masih terlilit handuk di lehernya.

Melinda bersandar di ujung spring bed. "Si Blekok itu mau liburan ke Pulau Seribu. Sore ini berangkatnya," jelasnya. "Katanya dia pergi berdua."

Lucya duduk di depan lemari kaca. Mengeringkan rambut dengan handuk. "Tahu dari siapa?"

"Dari orang yang memantau dia itu."

Lucya menghentikan gerakan tangannya di kepala. "Berdua dengan cewek? Siapa yang dibawanya? Baru beberapa minggu Mami meninggal sudah kegatelan dia. Sudah pandai liburan dengan cewek," gerutu Lucya.

Ia duduk mendekati Melina. "Bilang ke kawan kamu itu ambil foto-fotonya. Kalau bisa malah videonya sekalian. Biar punya banyak bahan kita."

Melina tersenyum. "Tanpa disuruh pun pasti akan dilakukannya."

*

Seorang pria mendekati Hanjo. "Maaf, Bapak. Dengan Pak Hanjo ini?" sapanya dengan ramah.

Hanjo mengucek mata. Turun dari kapal saat hari sudah berangsur gelap, membuat matanya kurang jelas mengenali orang. Namun Hanjo kemudian tertawa. Dari seragam yang dipakainya, Hanjo sudah tahu siapa dia. "Ya, saya Hanjo." ujarnya.

"Saya Usman dari Resort Ombak Pantai. Saya ditugaskan menjemput Bapak. Bapak berdua ya?" tanya pria muda itu.

"Ya. Itu rekan saya," tunjuk Hanjo pada Hardiman dengan tengah berbicara via HP.

"Baik, Bapak. Kita tunggu Bapak itu selesai nelpon, kita segera ke resort."

"Jauh dari sini resortnya?"

"Tidak sampai 10 menit naik mobil. Di pinggir pantai juga. Tapi sebelah timur dari pelabuhan ini," jelas pria muda itu.

Sebagian besar penumpang kapal cepat tadi adalah warga Jakarta yang akan libur akhir pekan di Pulau Seribu. Kapal telah menyinggahi beberapa pulau sebelum sampai di Pulau Pari. Cukup banyak juga yang liburan ke kawasan pulau ini. Kapal cepat yang tumpangi Hanjo dan Hardiman barusan, penuh dengan penumpang.

Hardiman selesai dengan HP-nya. Entah siapa yang ditelponnya. Usman, petugas resort, mendekatinya. Memberitahu bahwa mereka sudah bisa berangkat ke resort seraya menawarkan diri membawakan tas yang tersandang di bahu Hardiman. Pria itu menolak.

Tak lama mereka sampai. Kawasan resort temaram sekali. Terutama bagian taman depan. Lampu-lampunya bersinar redup. Pohonan dan bunga yang tumbuh pun cukup rindang menghalangi pandangan.

Setelah sampai di kawasan parkir terlihat kemewahan resort. Bangunanya tidak bertingkat. Konstruksi kayu semua. Tampak artistik. Masing-masing bangunan saling terpisah. Terlihat dari cahaya lampu yang menerpanya.

"Mari Bapak-bapak. Saya antar ke resortnya," ujar Usman setelah seorang rekannya datang dan ikut bergabung. Kelihatan tangannya dipenuhi kunci.

"Karena sudah booking dan selesaikan pembayarannya di depan, kita tak perlu lagi ke resepsionist," sebut Usman menjelaskan karena cukup jauh juga berjalan bila hendak ke ruangan resepsionist. Lazimnya, kalau mau menginap di hotel tentu harus melapor ke resepsionist terlebih dahulu.

Memang bangunan kayu. Tapi bukan kayu biasa. Tiang-tiang dan rangkanya dari batang kelapa. Hitam, licin dan berkilat. Sementara dinding, pintu dan jendela dari kayu kualitas terbaik. Kayu jati. Bangunannya sekitar semeter dari atas tanah. Mesti naik tangga untuk masuk ke bangunan.

"Ini resort yang Bapak Hanjo pesan. Bangunan dengan kamar terbaik di sini. Ada dua kamar. Keduanya bisa saling terhubung. Bisa juga tidak. Masing-masing dengan toliet lengkap dengan bathub. Di sini ada ruang rapat. Ada bar mini. Ruangan karaoke pun ada. Juga ada kolam renang di bagian depan," jelas Hasan panjang lebar.

Rekan Hasan membukakan kedua pintu kamar yang agar berjauhan. "Silahkan istirahat, Bapak-bapak. Tentu capek juga di atas kapal," ujar rekan Hasan.

"Untuk makan malamanya nanti bisa Bapak-bapak pilih. Bisa kami antar ke sini. Atau bisa juga Bapak-bapak yang restaurant. Itu restaurantnya, yang lampunya paling terang, bangunannya paling tinggi. Bapak call saja nanti dengan telepon yang ada dalam kamar," kata Hasan.

"Bagusnya di mana?" tanya Hardiman.

Usman dan rekannya tertawa. "Tentu di resrorant, Bapak-bapak. Pemandangan di sana sangat indah. Kelihatan kapal nelayan atau kapal-kapal di tengah laut. Seakan terlihat lampu-lampu yang berjalan. Bangunan restorant sengaja lebih tinggi untuk melihat laut di tengah malam," jelas Usman yang layak bertugas di bagian pemasaran. Pandai sekali ia mempromosikan dagangan.

"Oke, aku pilih di restaurant!" Hardiman segera memutuskan.

Usman memandang pada Hanjo seakan minta persetujuan. "Oke juga. Tak masalah," ujar Hanjo setuju.

Hanjo segera masuk kamar begitu kedua petugas resort kembali ke pekerjaan mereka. Hardiman pindah duduk ke bagian depan resort.

Di depan, makin kentara kemewahan resort ini. Lihatlah kursi di teras depan. Kursi kayu dari batang kayu besar yang sengaja dibentuk dan dipahat agar menjadi tempat duduk dengan corak yang tidak biasa. Namun tampak alami dan artistik. Ada empat tempat duduk dengan gaya dan ragam yang berbeda. Meja kacanya juga dari batang kayu besar.

Duduk di kursi kayu itu terpampang lautan di depan. Tidak jauh. Belasan meter jaraknya. Tidak berpantai memang. Lautnya tidak berombak. Dibatasi dinding batu. Bangunan resort jauh lebih tinggi dari permukaan laut.

Di antara banguanan resort dengan pinggir laut kolam renang. Tidak begitu besar. Berukuran 4x5 meter. Kolam renang dengan pinggiran berliku itu seperti terbenam dalam tanah. Permukaan airnya sama rata dengan tanah di sekeliling.

Ketemaraman sinar lampu membuat kawasan itu tampak mewah dan berkelas. Diakui Hardiman, tidak rendah selera sohibnya itu.