Hano merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Dilepaskannya pegangan tangan dari handel pintu. Ia membalikkan badan. Bersandar pada pinggir kunsen pintu. Kakinya gemeteran.
Tubuh Hanjo melorot turun. Dibiarkannya. Hingga kemudian pantatnya terjerembab. Di lantai di pinggir dinding. Hanjo meluruskan kedua kakinya.
Hanjo menekuk kepala. Terlihat olehnya dada dan perutnya basah. Basah oleh keringat. Mungkin karena cuaca siang yang panas.
Terasa kerongkongannya kering. Ingin sekali ia minum. Namun ia yakin tidak ada tenaga untuk berdiri, masuk ke kamar, mengambil air mineral. Hanjo menelan ludahnya. Mulutnya terasa pahit.
Hardiman dan kedua gadis itu tidak ada. Ke mereka? Mereka pergi dan meninggal aku sendirian? Tidak mungkin. Hardiman bukan pria yang tidak punya sikap. Ia tegas dan berkarakter kuat. Lalu kenapa dia tidak ada? Kenapa pintu kamarnya tergembok?
Tiba-tiba Hanjo teringat dengan ruang karaoke. Tergambar kembali di benaknya pertunjukan yang diketengahkan Inge dan Meisa. Terlihat lagi olehnya gerakan, liukan, gelinjang tubuh, mulut menari, tangan mengapai, kaki menerjang dan menghentak. Terdengar lagi olehnya dentuman musik, pekikan tertahan, desahan nafas, lenguhan panjang dan suara-suara asing tanpa nada. Terasa kembali oleh Hanjo hempasan badan ke atas pangkuan, lumuran kehangatan dan himpitan kasar dan lembut.
Jangan-jangan mereka masih di sana. Masih di ruang karaoke. Tapi kenapa aku sudah berada di kamar?
Hanjo menghela kakinya. Mencoba menaikkan badan. Aneh sekali. Badannya terasa ringan. Dengan sekali helaan saja ia sudah bisa berdiri. Hanjo menggeleng-geleng. Heran ia.
Hanjo melangkah ke pintu ruang karaoke. Berada di lorong sebelah pintu kamar Hardiman. Tidak jauh. Diraihnya handel pintu. Didorong kuat. Tidak bergerak sedikitpun. Ternyata terkunci juga.
Hanjo melepaskan nafas. Benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin keanehan ini terjadi?
Dengan langkah gontai ia kembali ke kamar. Diteguk habisnya dua botol air mineral. Hanjo meraih bungkus rokok. Segera dinyalakannya mancis. Tapi tak jadi dibakarnya. Ia teringat sesuatu.
Hanjo meninggalkan kursi. Ia bergegas ke ruang tamu. Ada pintu di sana ke kamar yang ditempat Hardiman. Pasti mereka bertiga ada di dalam. Pasti kudapatkan mereka. Hanjo menahan senyum.
Perlahan di rengkuhnya handel pintu. Bergerak sedikit ke bawah. Didorongnya. Ops! Tidak bergerak pintu itu. Terkunci juga.
Bruk! Bruk! Hanjo menonjok pintu kayu berwarna coklat muda. Dua kali. Kemudian ia mengosok-gosok kepalan tangan kanannya. Dipandanginya. Tidak rusak atau patah. Hanya terasa nyeri.
Hanjo duduk di kursi tamu. Sofa mewah warna hitam. Terbenam tubuhnya di sana. Dilanjutkanya membakar rokok. Memandangi kepulan yang membubung, Hanjo melihat pesawat telpon di atas meja.
Kenapa tidak dari tadi? Kenapa baru sekarang terlihat? Hanjo merutuk dalam hati. Ia mendekati meja kecil itu. "Aku mau ke ruang karaoke. Bawa kuncinya. Sekarang!" teriaknya begitu telpon tersambung.
Belum habis rokok di tangan, seorang pria muda berseragam datang menghampiri. Ia menekuk kepala. "Ada yang bisa saya bantu, Bapak Hanjo?" tanyanya.
"Aku mau ke ruang karaoke!" tegasnya lagi.
"Maaf, Bapak Hanjo, kuncinya kan sudah diserahkan semalam."
"Hilangnya kuncinya."
"Baik, Bapak. Mari saya antar sekarang," ujar petugas resort itu.
Hanjo menyambar baju kaos. Dipakainya sambil mengikuti langkah anak muda itu.
Membuka pintu tergembok dengan kunci tentulah mudah. Dengan sekali putar saja pintu terbuka. "Silahkan, Bapak Hanjo," tutur petugas setelah membukakan pintu. Ia berdiri di sisi pintu. Tidak masuk.
Hanjo segera masuk. "Gelap. Mana lampunya?" teriaknya.
Petugas resort berlari masuk. "Maaf. Maaf, Bapak," ucapnya. Ditekannya tombol lampu yang ada di dinding. Lampu hidup. Terang dalam ruangan. Kosong melompong. Tidak ada orang. Ruangan tersebut sudah bersih. Tak berantakan. Peralatan nyanyi dan karaoke tersusun dengan baik dan rapi. Tidak terlihat lagi tanda-tanda ruangan habis dipergunakan. Dua meja kaca panjang juga bersih. Tidak ada botol, gelas atau bekas minuman. Sofa hitam bulat melengkung juga bersih mengkilat. Tidak ada sampah tisu. Tidak ada apa-apa.
Hanjo menggeleng bingung. "Ya, sudah. Aku ke luar," dengusnya jengkel.
"Maaf, Bapak Hanjo. Ruang karaoke ini dikunci lagi atau dibuka saja?
"Terserah kaulah!"
Hanjo melangkah pergi. Kembali ke ruang tamu di dalam kamarnya. Belum sempat duduk, ia kembali berteriak. "Kalau kunci kamar itu ada kau bawa?" Hanjo menunjuk pintu kamar Hardiman dengan ujung mulutnya.
"Aduh, maaf Bapak. Tidak saya bawa."
"Kau ambil segera. Kuncinya juga tak tampak. Aku mau masuk ke sana!"
Petugas resort mengangguk takzim. "Baik, Bapak. Saya sambil segera," ujarnya.
"Cepat!" teriak Hanjo.
Petugas itu menelan suaranya. Ia segera berlari.
Tidak sampai dua atau tiga menit, petugas berseragam warga kuning itu sudah berada kembali di dekat Hanjo. "Ini kuncinya Bapak Hanjo. Mau saya bukakan? Atau..."
"Ya, buka!" potong Hanjo.
Pria muda 18 atau 19 tahun melangkah panjang ke arah pintu kamar kedua. Kamar yang ditempati Hardiman. Hanjo mengikuti.
Petugas itu menyorongkan anak kunci. Diputarnya. Anak kunci bergerak. Ketika didorong pintu tidak terbuka. Dicobanya kembali. Dua tiga ia mendorong. Pintu tidak bergerak sedikit pun.
"Maaf, Bapak Hanjo, tidak bisa. Pintunya terkunci di dalam. Ada orang di dalamnya," jelas petugas itu.
"Kau coba lagi!"
"Tidak bisa, Bapak Hanjo. Terkunci dengan cantelan di sisi pintu. Kalau begini pasti ada orang di dalamnya. Panggil saja, mungkin masih tidur," sebut petugas itu lagi.
"Tidak perlu kau ajari pula kalau itu!"
Petugas itu menekuk kepala. Minta maaf lagi.
"Tidak ada pintu lain?" tanya Hanjo.
"Ada. Yang di luar itu, Bapak," jelasnya.
"Coba kau buka pintu itu!" perintah Hanjo pula.
"Baik, Bapak." Ia berlari ke luar ruangan.
Hanjo tidak mengikutinya. Ia sudah menggedor-gedor pintu itu. Terkunci. Pasti terkunci dengan cantelan juga.
Tidak salah perkiraan Hanjo. Ketika petugas itu tergopoh-gopoh kembali, ia melaporkan pintu tidak bisa dibuka. Terkunci juga dari dalam.
"Pastilah teman Bapak Hanjo itu ada di dalam. Maaf Bapak, ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya petugas resort kemudian.
"Ya. Sudah!"
"Maaf, Bapak Hanjo. Saya kembali ke kantor. Kalau ada perlu Bapak hubungi saja," ujar sambil mengangguk.
Hanjo diam saja. Petugas itu berlalu.
Hardiman masih tidur di dalam kamar? Tidur bersama dua gadis itu? Apa yang mereka lakukan bertiga? Sudah tengah hari belum bangun.
Entah mengapa. Hanjo tidak bisa mengingat pasti apa yang sesungguhnya terjadi setelah Inge melemparkan diri ke dalam pelukannya.
Yang tergambar dalam benaknya Inge merengek-rengek minta minuman. Disodorkannya minuman yang ada di atas meja. Masih banyak minuman. Yang tanpa alkohol pun ada. Tapi dia tidak mau. Inge menggeleng. Ia mengapai tangan minta minuman yang ada sama Hanjo. Tak hanya mengapai. Ia malah mencari-cari. Mencari dengan tangan, kaki dan mulutnya.
Jari tangannya menjelajahi wajah, tangan, kepala, punggung dan kaki Hanjo. Tidak dapat. Mulutnya pun bergerak. Menyusuri segenap tempat yang tersembunyi. Tangan, kaki, dagu, telinga, mulut, hidung, bibir dihendus satu per satu.
Tak ketemu juga. Kakinya ikut mencari. Kakinya menerjang-nerjang dan menghantam. Seakan Hanjo menyembunyikannya di balik lipatan kaki atau di sela jari.