"Buk Hera," ujar Hanjo tanpa memandang wanita itu. "Apakah, apakah surat wasiat itu asli?" tanyanya. Hanjo mengusap mulut dengaan telapak tangan kanannya. Ternyata tidak ada masalah dengan mulutnya.
Herawati, wanita bertubuh subur itu, mendelik cepat. Matanya bersinar tajam. Tapi hanya beberapa detik. Kejap berikutnya ia mengerjap mata beberapa kali hingga pandangannya tidak tajam lagi.
"Pak Hanjo," terdengar suaranya datar tanpa emosi. "Dari awal tadi kita bertiga sudah sama-sama saksikan bahwa surat wasiat Ibu Moina Monaga ada dan asli. Suratnya dalam amplop yang tersegel. Dua segelnya. Juga sudah saya sebutkan bahwa surat yang asli bertuliskan tulisan tangan Ibu Moina Monaga. Dan kami menuliskan lagi di kertas bermaterai yang ditandatangani basah oleh Ibu Moina Monaga. Jadi, secara hukum dan ketentuan perundang-undangan, surat tersebut sah dan terjamin keasliannya," tutur Herawati panjang lebar.
Dilihatnya Hanjo masih memandang lurus ke depan. Entah apa yang dilihatnya. "Jelas, Pak Hanjo?" tanya Hera dengan suara lebih keras.
Hanjo diam saja.
"Sudah jelas, Pak Hanjo?" tanya Herawati lagi dengan nada suara bertambah keras.
Hanjo masih diam.
"Bapak Hanjo!" teriak Herawati kencang.
Hanjo tergagap. Kepala menggeleng-geleng bagai orang mabuk. "Iya, iya, Buk," jawabnya kemudian dengan kepala tertunduk.
Lucya menaikkan matanya sekilas. Tampak olehnya raut wajah Hanjo yang tegang mengkilap. Keluar keringatnya. Terlihat butiran keringan di dahinya. Kedua mata mengerjap-ngerjap.
Tiba-tiba saja, Lucya merasa kasihan melihatnya. Dalam ruangan yang ber-AC ia malah keringatan. Mungkin panas dalam kepalanya yang membuat butiran keringan bermunculan. Pria itu terlihat resah.
Ingin ia mengeluarkan tisu dari dalam tas dan memberikan kepada Hanjo. Namun hatinya yang lain melarang. Untuk apa berbaik baik sama dia? Bukankah ia orang yang kini berkategori sebagai lawannya.
Lucya masih menimbang-nimbang akan mengeluarkan tisu atau tidak. Ragu ia memutuskan. Ketika masih belum ada putusan, dilihatnya Herawati mengeluarkan tisu dari saku kemeja lengan panjangnya. Disodorkannya pada Hanjo.
"Ini tisu, Pak Hanjo. Mungkin bapak memerlukannya," ujarnya.
Hanjo seperti anak-anak melihat permen. Segera diraihnya. Dengan cepat dikeluarkannya beberapa lembar lalu dibarutkan ke wajahnya. Basah kuyup tisu itu. Merasa wajahnya masih basah, Hanjo mengambil tisu lagi. Dilapnya lagi ke seluruh wajah.
Hanjo menoleh ke kanan-kirinya. Terlihat ada yang dicarinya. Dengan menyondongkan sedikit badan ke samping kiri, dilemparkannya gulungan tisu yang basah ke dalam keranjang sampah plastik.
"Terima kasih, Buk," ujarnya dengan anggukkan pada Herawati. Hanjo berusaha tersenyum. Ia merasa sedikit lega. Hilang panas keringat yang melingkupi wajahnya.
"Jadi, sudah paham, Bapak Hanjo?" tanya Herawati yang matanya tidak lepas dari Hanjo.
Hanjo kembali mengangguk. "Iya Buk."
"Paham dan jelas bahwa surat wasiat ini asli?"
"Iya Buk."
"Paham dan jelas bahwa kita melihat dan membaca surat wasiat Ibu Moina Monaga bertiga?"
"Iya Buk."
"Oke. Ada lagi mau ditanyakan, Pak Hanjo?"
"Bagaimana proses selanjutnya dari surat wasiat itu?" tanya Hanjo cepat.
"Tunggu. Itu nanti saya jelaskan. Sekarang soal surat wasiat ini dulu." Herawati menoleh pada Lucya. "Ada yang mau ditanyakan, Bu Lucya?"
Lucya menggeleng. "Tidak ada, Bu. Sudah jelas semua."
"Nah, kalau kita sudah sama-sama paham dan setuju bahwa surat ini asli dan sah, apa proses selanjutnya? Begitukan yang tadi ditanyakan Pak Hanjo?" Herawati memperbaiki duduknya. "Silahkan diminum air putihnya, Bapak Ibu. Pak Hanjo kepanasan sekali sepertinya," tunjuknya pada botol air mineral yang ada di atas meja.
Sebelumnya Hanjo tidak melihat ada minuman di atas meja. Dari tadi ia sudah kehausan. Sangat kehausan. Kerongkongannya seperti padang pasir. Kering dan panas. Mulutnya terasa lekang dan pahit.
Tanpa menunggu waktu diraihnya botol air mineral itu. Dibuka tutupnya dengan sekali putar, Hanjo meminumnya. Dua, tiga kali tegukkan. Terasa segar dan lega. Hanjo merasa kerongkongan makin lapang. Mulutnya terasa dingin.
"Terima kasih, Bu Hera. Terasa segar sekarang," ucapnya dengan suara bariton dan lancar. Hanjo sendiri heran. Sudah kembali suaranya. Tidak susah lagi berkata-kata.
Hanjo tersenyum miring dalam hati. Jadi, tadi itu aku tidak bisa berbicara, mulut terasa kelu, tangan dan kaki kaku adalah karena kehausan. Karena kekurangan air. Ya, ya tersebab dehidrasi. Jadi kacau semua.
Hanjo merasa perlu menguji perubahan yang terjadi bahwa dirinya sudah kembali segar. "Jadi, apa proses selanjutnya yang mesti dilakukan. Jujur saja, saya belum paham. Tentu karena baru pertama ini berurusan dengan surat wasiat," tutur Hanjo dengan suara lancar.
Ternyata betul. Ia tidak susah lagi ngomong. Tidak kaku lagi. Hanjo tersenyum. Kini tak di dalam hatinya lagi. Ia tersenyum seraya memandangi Herawati dan Lucya. Bergantian.
Hanjo yakin bahwa dirinya yang sesungguhnya sudah kembali. Lihatlah, ia sudah bisa berbicara dengan lancar dan intonasi tertata. Sudah tak segan lagi memandangi kedua wanita itu. Sudah pede lagi.
Tentu saja Lucya heran dengan perubahan Hanjo. Semula ia sangat senang sekali melihat Hanjo bagaikan orang senewen. Tentu karena shock dengan surat wasiat Mama untuknya. Ia hanya diberi rumah kecil di Rawa Bening yang sekarang dikontrakkan. Serta sebuah mobil tua yang sekarang lebih berdiam di dalam garase.
"Proses selanjutnya tentu menjalankan amanah yang tertulis dalam surat wasiat ini. Seperti yang sudah kita maklumi ada dua. Menyerahkan rumah di Rawa Bening dan mobil untuk Bapak Hanjo," tuturnya Herawati.
Diingatkan tentang pemberian Mamoi yang hanya rumah dan mobil itu, Hanjo tersedak. Batuk ia berkali-kali. Herawati menghentikan perkataannya. Tanpa disuruh lagi, Hanjo meraih botol air mineral. Ditelannya beberapa tegukkan.
Sama sekali di luar perkiraan apa yang diberikan mantan istrinya itu. Rumah kecil dan mobil tua. Hanya itu yang diberikan Mamoi untuk aku? Lalu bagaimana dengan perusahaan? Bagaimana dengan status aku sebagai CEO?
Jantung Hanjo kembali berdebur kencang. Keringat di kepala seakan berpindah ke tangan. Kini kedua telapak tangannya yang basah. Basah oleh keringat. Jari-jari jangan seakan mengeras. Susah digerakkan.
"Saya lanjutkan Pak ya?" tanya Herawati. Tanpa menunggu persetujuan dari Hanjo, ia meneruskan ucapannya, "Selanjutnya tentu proses penyerahan surat-surat dan barangnya. Surat-surat mobil dan rumah itu ada di kantor ini. Sudah diserahkan Ibu Moina Monaga kepada kami."
Ditambahkan Herawati, "Tentu tidak bisa sekarang diserahkan. Sebab secara fisik barang-barang tersebut belum berada dibawah penguasaan kami. Rumah itu sepertinya dikontrak pihak lain."
"Saya pun tidak meminta barang-barang tersebut harus diserahkan sekarang. Kapan-kapan pun tidak masalah," kilah Hanjo yang langsung teringat pada Hardiman.
Kapan-kapan tidak masalah, desis Hanjo dalam hati. Tetapi menjelang kapan-kapan itu tiba aku lakukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin menyebabkan penyerahan barang itu tidak jadi terlaksana. Atau barang yang diserahkan akan bertambah. Atau bisa pula terjadi hal lain. Banyak hal bisa terjadi.
Aku harus siapkan sesuatu dengan Hardiman, tekadnya. Secepatnya!