Lucya yang hanya berjarak tiga meter, melihat perubahan raut muka Hanjo. Ia mendengar pembicaraan Hanjo. Tapi ia tidak tahu Hanjo berbicara dengan siapa. Wanita berhidung tipis itu pura-pura tidak peduli. Namun ia memasang telinga.
"Benar Bro di Bandung. Aduh, lupa pula aku ngontak sebelumnya. Kukira ada di kantor. Lalu bagaimana ini?" tanya Hanjo terdengar oleh Lucya.
"Jadi aku berdua saja? Tidak apa-apa?"
"Oke. Oke," Itu suara Hanjo terakhir. Ia kemudian mematikan HP seraya membalikkan badan.
Sebelum Hanjo berbalik, Lucya terlebih dahulu membalikkan badan. Terlihat ia sudah membelakangi Hanjo.
Raut wajah Hanjo kembali berubah tegang mengetahui ada Lucya. Hanya beberapa meter di belakangnya. Meski membelakang tapi dekat sekali.
Dia ada di situ dari tadi? Mendengarkan pembicaraan aku dengan Hardiman? Hanjo memaki-maki dirinya. Mengutuk keteledorannya.
Namun amarahnya sedikit menurun tatkala melihat Lucya sibuk dengan HP. Ia berharap wanita tidak mendengarkan pembicaraannya.
Sebetulnya Hanjo ingin membatalkan saja rencana menjumpai notaris itu. Ia merasa tidak pede. Atau takut dengan kenyataan yang akan segera diketahuinya. Tetapi ia percaya pula dengan Hardiman yang menyarankan untuk tetap melihat surat wasiat itu tanpa didampinginya.
"Silahkan Bapak Hanjo dan Ibu Lucya. Sudah ditunggu Ibu Herawati di ruangannya," ujar seorang karyawati yang mendatanginya. "Ayo saya antarkan," tambah wanita muda berseragam biru langit itu segera melangkah.
Melihat Lucya mengikuti karyawati itu, Hanjo pun mengikut dari belakang.
Masih berada di lantai satu, mereka masuk ke salah satu ruangan putih bersih. Melewati beberapa meja, karyawati itu mengantar mereka masuk ke ruangan berbataskan kaca.
Seorang wanita setengah baya berkacamata menyambut. "Selamat datang. Silahkan duduk Pak Hanjo dan Bu Lucya. Saya Herawati Aida," tuturnya seraya mengulurkan tangan.
Lucya menyalami duluan. Kemudian Hanjo. Keduanya duduk di sofa berwarna krem saling berhadapan. Sementara Herawati di samping mereka.
Hanjo sempat mengedarkan pandangan sejenak. Tidak ada yang istimewa dengan ruangan. Ia merasa ruang kerjanya jauh lebih bagus.
Tak banyak protokol, Herawati langsung ke agenda utama. "Sesuai dengan maksud kedatangan Pak Hanjo dan Bu Lucya adalah untuk melihat surat wasiat yang dibuat Ibu Moina Monaga almarhumah yang disimpan di kantor kami. Saya ambilkan suratnya ya," Herawati berdiri dan melangkah ke deretan lemari besi berwarna biru.
Herwati tampak membuka salah satu pintu besi dengan kunci yang sudah ada di tangannya. Ia mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat. Tak lama, ia kembali ke kursi sofa dan duduk.
"Ini amplopnya Pak Hano dan Bu Lucya. Dapat dilihat masih tersegel dengan baik. Itu artinya semenjak surat ini dibuat tidak pernah dibuka sama sekali. Masih tertutup dan segelnya tidak rusak," tutur Herawati seraya memperlihat amplop tersebut.
Hanjo dan Lucya sama-sama menganggukkan kepala.
"Nah, sekarang kita buka ya."
Hanjo dan Lucya kembali mengangguk setuju. Kedua seakan kompak tidak bersuara.
Herawari membuka segel penutup amplop. Sepertinya dari plastik tipis. Namun tidak mudah robek. Wanita yang memakai jilbab itu membukanya dengan gunting. Sudah tersedia gunting di meja. Ia memotong ujung amplop. Kemudian dirogohnya isi di dalamnya.
Dengan tangan kanan ia mengeluarkan isinya. Berkas yang ada di dalam ternyata masih tersegel lagi dalam plastiknya. "Ini pun masih tersegel dengan baik," jelasnya.
Kembali diguntingnya plastik yang membungkus kertas. Dihelanya kertas beberapa lembar kertas di dalam yang tidak putih lagi warnanya. Kertas bermaterai.
"Inilah surat wasiat Ibu Moina Monaga itu," tuturnya seraya mengangkat kertas itu.
Hanjo memandang kertas itu dengan nafas tertahan. Dalam pikiran Hanjo, di sanalah tertulis kehidupannya selanjutnya. Di situlah tertulis masa depannya.
Pria ini merasakan debaran jantungnya bertambah keras. Dug, dug, dug. Hanjo menekuk kepalanya. Ia ingin tahu apa deburan dadanya itu sampai terlihat gerakannya di kemeja yang dikenakannya. Ingin sekali ia merasa bahwa masih ada denyutan di jantungnya. Tapi ia mau hal itu terlihat oleh Lucya. Ditegakkannya kembali kepalanya lalu menoleh ke arah Herawati.
"Sebelum dibacakan, saya perlu jelaskan pula bahwa sesungguhnya surat wasiat ini bertuliskan tulisan tangan Ibu Moina Monaga. Ada surat tersebut di dalam. Namun agar berkekuatan hukum lebih kuat kami menuliskannya lagi dalam kertas bermaterai. Kertas ini juga ditandatangani Ibu Moina Monaga. Juga ada cap jempolnya," jelas Herawati lagi.
Beda dengan Hanjo yang kian lama makin kelihatan tegang, Lucya terlihat tenang-tenang saja. Tidak ada yang berubah dengan wajahnya. Tetap berseri dan cantik.
"Bagaimana? Saya bacakan sekarang?" tanya notaris itu.
Hanjo dan Lucya terlihat kompak. Serentak mengangguk. Hanya Lucya yang bersuara, "Ya, Buk." Sementara suara Hanjo seperti tertelan oleh deburan jantungnya sendiri.
Herawati membacanya dengan suara lantang dan jelas dengan intonasi datar:
"Jakarta tanggal 10 Januari tahun dua ribu sepuluh. Saya Moina Monaga dengan in menulis surat wasiat. Surat ini saya tulis untuk saudara Hanjo Frizt Sudewo. Saya memberikan untuknya, satu, sebuah rumah di Jalan Jati Baru nomor 361, Rawa Bening, Jakarta. Dua, sebuah mobil merek Pajero B 345 HJO."
Suara Herawati terhenti. Ia menoleh pada Hanjo dan Lucya bergantian. "Itulah surat wasiat yang ditulis sendiri oleh Ibu Moina Monaga," sebutnya.
Hanjo merasakan jantungnya berhenti berdetak. Tidak berdebur lagi. Ingin sekali ia memastikan apakah dadanya masih berdebar atau tidak. Ingin sekali ia menaikkan tangan merasakan debaran itu. Tapi apa kata Lucya kalau melihatnya?
Terdengar Lucya melepaskan nafasnya. "Hanya itu yang ditulis Ibu Moina Monaga dalam surat wasiatnya?" tanyanya.
Herawati membenarkan. "Boleh Bu Lucya lihat sendiri," ujarnya seraya menyerahkan berkas kertas itu kepada Lucya.
Lucya menerimanya dengan cepat. Dilihatnya. Betul. Hanya selembar surat itu. Kemudian dibacanya. Tidak salah. Isinya sama seperti yang sudah dibacakan Herawati.
Semula Lucya bermaksud menyerahkan berkas itu kepada Hanjo. Biar dibaca dan dilihatnya juga. Namun pikirannya melarangnya. Tidak jadi. Diserahkannya kembali bekas itu kepada Herawati. "Terima kasih, Bu Hera," ujarnya.
Sementara Hanjo, tidak hanya jantungnya yang berhenti berdetak. Ia juga merasa tubuhnya sudah menjadi patung. Terduduk kaku di kursi. Kakinya terasa sangat berat. Atau memang tidak bisa digerakkan. Begitu juga dengan kedua tangannya. Kaku dan tidak bisa bergerak.
Hanjo memaki dirinya. Memaki Hardiman. Mengutuk Lucya. Mengutuk Melina. Memaki Herawati. Memaki semua orang. Tetapi makian itu hanya bisa diteriakkannya dalam hati. Mulutnya terasa berat dibuka. Kaku dan terkunci.
"Bagaimana Pak Hanjo? Mau membacanya juga?"
Hanjo mencoba menghirup udara melalui hidung. Ternyata bisa. Diulanginya lagi. Betul. Bisa masuk udara. Dihidupnya beberapa kali untuk kemudian dilepaskannya dengan hembusan panjang.
Dicobanya menggerakkan kepala dengan gelengan. Ternyata bisa juga. Digelengkannya beberapa kali.
"Jadi, Pak Hanjo tidak ingin membaca atau melihat surat wasiat ini," simpul Herawati melihat Hanjo menggelengkan kepala. Tidak hanya sekali.
Hanjo menggerakkan mulut. Bisa bergerak dan terbuka. "Ya, Bu Hera," terdengar keluar suara dari mulutnya.
Hanjo heran sendiri. Diangkatnya tangan bermaksud menutup mulutnya. Tangannya itu tidak kaku lagi. Sudah bisa bergerak dan terangkat hingga ke depan mulutnya.
"Ada yang perlu ditanyakan Bu Lucya?" tanya Herawati kemudian.
Herawati menggelang. "Tidak ada, Buk. Sudah jelas semua."
"Ada yang perlu ditanyakan, Pak Hanjo?" tanya Herawati lagi.
Karena merasa sudah bisa berbicara, Hanjo mengangguk. Ia buka mulut.