Chereads / My Husband is not Gay / Chapter 29 - Apa Kau Kecewa, Sayang?

Chapter 29 - Apa Kau Kecewa, Sayang?

Semua wanita yang berkencan atau berpacaran dengan Antonio, tiap kali jalan dengan pria itu pasti akan naik mobil mewahnya. Namun sekarang, di saat keadaannya berbeda. Tya yang berstatus istrinya malah duduk bersamanya di halte bus untuk pulang ke apartemen mereka.

Entah mengapa ia merasa tidak becus menjadi suami Tya. Dirinya tak bisa membawa Tya dengan mobil mewah. Seperti ia dan wanita wanita nya dulu.

Apa Tya merutuki nasibnya yang harus berakhir dengan pria sepertinya? Gadis itu terlihat gelisah duduk di sana. Mungkin biasanya Tya naik taksi pulang?

Menunggu bis seperti ini, di saat matahari sore masih terasa panas. Mungkin saja Tya bosan dan lelah. Gelagat Tya yang tidak nyaman bersamanya.

"Kamu mau naik taksi saja?"

"Oh, tidak. Tidak perlu. Taksi mahal, Antonio." Tya menjawab tergagap-gagap.

"Tak apa. Aku ada uang."

Tya mengeleng beberapa kali menolak ajakan Antonio. Dan setelahnya, mereka di runding hening di sana. Sangat pas dengan suasana halte yang hanya ada mereka.

Sejak tadi Antonio memperhatikan Tya. Saat naik bus dan sampai di depan gedung apartemen. Gadis itu tidak bicara sepatah katapun. Mungkinkah Tya kesal padanya?

Bahkan saat sampai di apartemen, Tya langsung kedapur tanpa bicara apapun. Antonio agak cemas Tya tidak suka padanya karena kejadian tadi malam.

Ia mengeluarkan beberapa pekerjaan yang sempat dirinya bawa pulang tadi. Mengerjakan dengan pikiran berkelana pada Tya.

****

Ia harus bersikap seperti apa. Kenapa rasanya sangat canggung. Bagaimana agar dia bisa tidak gugup saat bersama Antonio. Tiap kali ia bertatapan dengan pria itu, pasti ingatan mereka yang sama-sama polos kemarin terputar di pikirannya.

Sambil memasak, ia memilikirkan pria itu. Ia melihat dari dapur Antonio yang sibuk mengerjakan sesuatu. Sementara itu, dirinya disibukkan juga dengan perasaan tak karuan.

Mungkin seharusnya ia bersikap baik-baik saja. Tidak perlu Segugup ini. Bagaimanpun yang mereka lakukan tadi malam bukan kesalahan. Ia istri Antonio, dan pria itu mempunyai hak meminta di layani olehnya. Bahkan tuhan tak marah dengan hal itu. Mereka melakukan itu atas ikatan pernikahan yang sah secara hukum dan agama.

Tapi...., tetap saja. Tya merasa agak tidak enak di sini. Coba Antonio mendatanginya, membujuknya dengan hangat dan mengajaknya bercengkrama dengan nyaman. Mungkin hal itu bisa membuatnya lebih baik.

Bahkan sampai dirinya selesai menyiapkan makan malam. Ia sama sekali tidak bisa bersikap santai saat pria itu terdengar melangkah kedapur. Ia memang memanggil Antonio dengan gugupnya kalau makan malam sudah siap.

Ia berusaha untuk mengambilkan makanan untuk Antonio tanpa gemetaran atau merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hati hingga menganggu pergerakan tangannya.

"Aku minta maaf."

Tya yang baru duduk menatap Antonio seketika setelah mendengar pengutaraan pria itu. 'maaf? Maaf apa?' Tya membatin.

"Kalau perbuatanku tadi malam membuatmu marah atau kesal."

'tidak.' Tya dengan cepat menjerit dalam hati.

Ia sama sekali tidak kesal apalagi marah. Dirinya hanya gugup dan rasanya masih tidak menyangka saja. Apa itu terlihat seperti dirinya yang tidak rela.

Mungkin salahnya disini Tya yang tidak mengungkapkan itu. Bahkan saat mereka selesai makan. Pria itu langsung membereskan pekerjaan nya dan masuk ke kamar. Sementara Tya mencuci piring.

Selesai dengan kegiatan dapurnya, Tya beranjak keruang tamu. Matanya langsung tertuju pada pintu kamar Antonio yang tertutup rapat. Banyak perasaan aneh menyusup dalam hatinya. Entah kenapa Tya kecewa Antonio tidak mencoba mengajaknya bicara.

Alhasil ia masuk juga ke kamarnya.

Jadilah, malam ini sama seperti kala ia dan Antonio baru menikah. Namun salahnya Tya tidak ada kegiatan.

Semenjak Qiara membantunya, ia jadi lebih lapang mengerjakan konten. Apalagi ia mulai mengajari sahabatnya itu mengedit konten. Tapi mempunyai waktu luang ternyata tak begitu menyenangkan.

Sekarang ia jadi harus merenung seorang diri di kamar, memikirkan Antonio, dan hubungan mereka yang seperti ini.

Antonio sepertinya menganggap ia menyesal telah melakukan hal itu dengannya. Padahal tidak. Tya tidak menyesal. Ia hanya ingin Antonio membantunya merasa lebih nyaman dengan mengajaknya bicara.

Kalau diam-diaman seperti ini, justru malah membuat Tya kian dilema.

Apa seharusnya ia bicara dulu dengan Antonio kalau dia tidak marah. Berterus terang kalau ia hanya gugup?

Oh, terdengar cukup menyeramkan kalau di bayangkan. Lalu bagaimana sekarang?

Apa ia harus berjalan kepintu, keluar dan mengetuk pintu suaminya itu. Lalu setelah itu apa?

Aaaaa.....

Ia beberapa kali mengganti posisi berbaring saking bingung harus apa. Makin ia diam, rasanya makin tidak nyaman.

Oke. Setidaknya berjalan kesana dan berpura-pura menanyakan sesuatu tidak buruk.

Namun....

Dup!

Why????

Kenapa seketika semua jari gelap? Tya terperangah Beberapa saat.

Tapi saat ia sadar kalau listrik mati, dengan cepat ia bangun.

Dimana lilinnya?!!

Tya perlahan jalan keluar kamar. Dengan penerangan ponsel seadanya. Melangkah dengan ragu ke kamar Antonio. Apa dia harus mengetuk pintu kamar ini? Tapi bagaimana kalau dirinya akan menganggu Antonio.

Dirinya berbalik mengurungkan niat untuk menemui pria itu. Mungkin kalau ia jalan kedapur akan menemukan lilin sebagai penerangan sementara.

Tidak mungkin kan lampu akan mati lama di apartemen seperti ini.

"Kenapa berdiri di sini?"

Tya spontan mengarahkan senter ponsel kebelakang. Dirinya juga berbalik. Dan di sana Antonio berdiri.

"Lampunya mati," ujar Antonio.

"I-iya. Aku mau tanya di mana lilin," ujar Tya masih kaget.

"Kalau kau tidak tau apalagi aku. Sebaiknya kembali ke kamarmu. Tidak akan lama lagi listriknya akan kembali."

Bukannya kembali Tya malah mematung di tempat. Menimbang-nimbang antara kembali ke kamarnya atau tidak.

Dirinya lumayan parno kalau mati lampu begini. Baiklah. Salahkan film horor yang sering ia tonton. Tapi benar, dirinya akan terbayang keadaan gelas di film-film horor.

"A-antoni..." Tya memelas tapi tidak berani berkata kalau dirinya takut pergi ke kamar sendirian.

"Kamar kita bersebrangan," ujarnya melihat gelagat Tya yang ketakutan.

Ia hendak menutup pintu kembali masuk ke kamarnya. Namun gadis ini malah tetap diam di sana. Tidak bergerak sama sekali.

Sejujurnya Antonio tinggal mendorong pintunya rapat saja dan melupakan tatapan takut Tya. Tapi, melihat Tya yang sepertinya ngotot tidak mau kembali membuat nya iba juga

"Masuklah," ujarnya membuka pintu lebar.

Mata Tya melebar. Dirinya bergerak perlahan masuk kedalam. Antonio menutup pintunya dan mereka berada dalam satu kamar tidur bersama, 'lagi'.

"Kau istirahat saja di tempat tidur," ujar Antonio.

"Lalu kamu?"

Apa Antonio akan tidur di bawah kalau dirinya ada di kamar ini?

"Antonio. Aku tidak pernah menyesal." Entah keberanian dari mana, tiba mengatakan itu. "Aku tidak menyesal telah menyerahkan diri padamu. Kau bahkan boleh memiliki aku seutuhnya."

Tak ada respon Antonio. Sehingga Tya melangkah lebih dekat pada pria itu. "Bahkan kalau kamu mau sekali lagi..." Pipi Tya bersemu di remang-remang cahaya kamar itu. "Aku tidak apa."

Lama setelah Tya berkata demikian. Antonio tak juga bicara apapun. Tya sempat berfikir kalau dirinya kepedean dan menyangka kalau Antonio tidak berminat lagi dengannya.

Namun satu gerakan pelukan kilat yang membuat mereka berakhir di atas tempat tidur.

"Kamu sungguh-sungguh, Tya?" bisik Antonio dengan begitu sensual.

Tya mengangguk. "Tapi jangan buat becak merah di leher aku lagi," ujar Tya dengan wajah cemberut.

Pria itu mengukur senyum sangat lebar. "Tentu sayang."

Bersambung