Semua berjalan dengan normal. Antonio mau menuruti saran Tya untuk kembali mendalami bakatnya. Dan pria itu sudah bertemu teman Tya yang juga siap untuk membantu Antonio.
Singkatnya, semua sudah berjalan satu minggu dari hari itu. Antonio rutin ketempat teman Tya, hingga dia punya kegiatan sekarang. Hubungan mereka juga cukup baik.
Meski tetap tinggal di kamar berbeda. Tapi mereka tetap menjalani kehidupan dengan rukun.
Hari ini Tya akan pulang cepat karena hanya punya satu kelas. Tapi sebelum pulang, dia akan mampir di toko buku dulu. Ada beberapa buku yang perlu dia beli.
Jaraknya lumayan dekat dari kampus. Jadi dia memilih jalan kaki ke toko buku itu.
"Tya."
Mereka namanya di panggil, Tya refleks berbalik. Jeremy?
Pria itu terlihat baru turun dari mobilnya, dan berjalan kearah Tya.
"Mau kemana, Tya?" tanya Jeremy.
Tya Tersenyum ramah. "Ke toko buku depan sana," ujar Tya.
Mata Jeremy mengikuti arah tunjuk Tya. "Perlu kuantar?" tanya Jeremy.
"Tidak perlu. Aku sendiri saja. Kamu pasti sibuk," tolak Tya halus. Ia bisa jalan sendiri. Lagi pun, jaraknya tidak jauh.
"Aku tidak sibuk. Lebih baik aku antar. Nyonya Frederick, tidak seharusnya kemana-mana jalan kaki."
Jeremy mempersilakan Tya masuk ke mobilnya, meski rasanya berat, Tya akhirnya masuk karena paksaan halus pria ini.
Tya menyadari mereka sekarang jadi akrab. Jeremy menyuruhnya hanya memanggil nama pria itu, dan begitupun Tya. Makanya, mereka bisa seakrab ini.
Pria di sampingnya ini sepertinya sedang makan siang. Memang ini sudah waktunya. Terlihat sekali Jeremy pria kantoran yang rapi dan sangat berkarisma.
"Bagaimana hubungan pernikahan kalian?" tanya Jeremy. Nada bicaranya kurang nyaman. Sepertinya Jeremy merasa tidak pantas menanyakan hal seperti itu.
Tapi dia tidak tahan untuk tidak bicara.
"Baik-baik saja," balas Tya dengan senyum kecil.
Ya, selalu baik-baik saja. Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutnya. Seperti yang Antonio ucapkan dulu pada tuan Dennis.
"Sepertinya kamu berhasil mengendalikan, Antonio."
Mengendalikan? Tidak. Tya tidak pernah mengendalikan siapapun. Kenapa rasanya ungkapan Jeremy ini sangat tidak bersahabat dengan telinganya.
Seolah-olah terdengar seperti Tya memanfaatkan Antonio. Apa pria ini semenjengkelkan apa yang Antonio katakan?
"Mengendalikan yang seperti apa?" tanya Tya.
Jeremy meliriknya beberapa saat. "Apa aku menyinggung perasaanmu?" tanyanya. Lalu ia tertawa kecil. "Maaf. Aku hanya ingin bilang kalau kau berhasil menjadikannya lebih baik."
Mobil itu berhenti di depan toko buku yang ingin Tya datangi.
"Dulu Antonio sulit sekali diatur. Selalu mau sesuka hati." Ia melepas sabuk pengamannya. "Ayo turun."
"Kurasa, itu karena apa yang dia lakukan tidak pernah benar di mata kalian," ujar Tya mengikuti Jeremy.
Pria itupun hanya tersenyum membalas perkataan Tya. Dan diam-diam, ia bergumam sesuatu.
"Apa benar dulu Antonio sempat belajar dengan baik?" tanya Tya memancing sesuatu dari Jeremy.
Mereka berdiri di depan sebuah rak buku. Jeremy melihat-lihat buku itu, meski otaknya sebenarnya tidak bersama buku, tapi bersama ucapan Tya.
"Aku melihat dia itu berbakat," ujar Tya.
"Memang."
"Lalu kenapa tuan Dennis tidak mendukung bakat itu, dan malah menghancurkannya," Tya melihat Jeremy dengan tatapan tajam. Tak habis pikir dengan itu semua. Sebenarnya sejak Antonio bilang begitu padanya, Tya merasa makin mengerti kenapa Antonio bisa sekacau itu menata hidupnya.
Antonio, ia menyadari dari ini semua, bahwa pria itu sangat istimewa.
"Kau akan sangat jijik padanya kalau kau tau semuanya," gumam Jeremy pelan. Sepelan angin hingga Tya tidak menangkap semua ungkapan Jeremy.
"Semua sudah terlambat saat Tuan Dennis menyadarinya. Kamu tidak akan mengerti."
Tya makin tidak paham dengan ucapan Jeremy. "Kalau begitu jelaskan!" tuntut Tya. Dirinya harus tau. Agar ia bisa membantu Antonio makin mengembangkan bakat pria itu.
Lagi pula, tidak ada yang salah kalau pria itu mau menjadi lebih baik. Kenapa perlu dihancurkan hanya karena tidak satu pemikiran.
"Aku tau saat ini kau berhasil membuat Antonio menata hidupnya menjadi lebih baik. Dan itu sudah cukup. Alasannya, itu bukan masalah kamu."
Tya berubah heran. Kenapa sekarang Jeremy jengkel. Kelihatannya dia tidak suka dengan Tya membicarakannya hal itu.
"Tapi..."
"Kau mau cari bukukan? Lebih baik cari cepat." Jeremy menyela dengan cepat.
Dia memandang Tya seolah tak sabaran akan sesuatu. Terdengar nafas kasarnya.
"Maaf, saya tidak bisa mengantar anda pulang." Dia pergi setelah berucap.
Kalimat formal yang terdengar seperti seorang bawahan kepada Nyonya nya lagi. Tya hanya bisa terpaku. Dirinya tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa dengan Jeremy? Kepala dengan mereka semua.
Sepertinya, ada banyak cerita dari masa lalu mereka. Yang mana, itu bersangkut paut.
****
"Antonio, kau punya bakat yang luar biasa sobat!"
Zidan, menepuk pundak Antonio setelah melihat keberhasilan pria itu.
Setelah satu pelanggan pergi membawa laptopnya dengan sangat puas karena Antonio yang berhasil memperbaiki kerusakan laptopnya tanpa kehilangan satu file berharga pun.
Zidan Hikam. Dia punya sebuah toko servis elektronik. Teman Tya yang beberapa waktu lalu di perkenalkan Tya pada Antonio.
"Biasa saja. Laptopnya tak rusak parah," ujar Antonio berdiri dari duduknya.
Ia berjalan mengambil minuman dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.
"Aku pulang sore hari ini ya. Tya menungguku untuk makan malam."
"Oh, baiklah." Zidan mengambil sesuatu dari saku celananya. Memberikan itu pada Antonio. "Upahmu," ujarnya.
Uang selembar 100 ribuan. Antonio tersenyum kecil melihat uang itu dan menerimanya.
"Terima kasih," ujar Antonio.
"Ini tak seberapa. Kau bekerja keras agar pelangganku puas."
Zidan si pemilik senyum lebar itu kembali menata pekerjaannya. Sesekali dia memperbaiki kacamata tebalnya itu.
Antonio melihat Zidan dengan perasaan yang hangat. Baru kali ini ia punya teman seperti Zidan. Kalau teman-teman yang selalu menemani di bar, sangat banyak sekali.
Tapi tak ada satupun dari mereka yang mau berteman dengannya setelah ia kehilangan semua fasilitasnya. Berteman dengan Zidan, pun juga terasa lebih akrab. Pria ini mau melakukan banyak hal bersamanya, hanya dengan label pertemanan.
Ia tahu, Zidan bahkan bisa mengerjakan laptop tidak itu tanpanya. Tapi sejak Tya bilang Antonio punyabnakat dan ingin bekerja, pria ini turut ramah padanya dan selalu mengarahkannya dengan baik.
Setidaknya, semua arahan Zidan tidak membuat Antonio marah hingga mengajak berkelahi.
Antonio berjanji, kelak kalau dia berhasil mendapatkan perusahaan Daddy-nya, ia akan memberikan Zidan suntikan dana besar untuk usahanya ini.
"Ya sudah. Aku pulang dulu."
"Oke. Baiklah. Kirimkan salamku pada Tya."
Antonio mengangguk lalu berjalan keluar dari tempat servis elektronik itu. Ia mengirim pesan pada Tya, kalau dirinya akan sampai di rumah beberapa menit lagi.
Gadis itu membalas pesannya, dan hal itu membuat Antonio tersenyum lebar.
Bersambung....