Tya berjalan seperti di lorong gelap yang sewaktu-waktu bisa saja ada orang jahat. Tangannya terus memegangi syal yang sejak tadi ia gulung di leher. Seperti orang ketakutan. Padahal sejak tadi ia hanya berjalan dengan berbagai khayalan. Dirinya yang takut ada orang yang melihatnya dan menyadari kejanggalan terhadap dirinya.
Tapi yang ada, sejak tadi orang melihatnya aneh. Tya cepat-cepat ke perpustakaan dan mendekam di sana.
Duduk di paling sudut demi menghindari tatapan anak-anak kampusnya. Ia menghela nafas lelah.
Rasanya panas sekali siang-siang pakai syal begini. Tapi mau bagaimana lagi. Kalau tidak dia bisa merasa sangat malu.
Pagi tadi Antonio benar-benar membantunya memasak setelah acara mereka yang panas dan.....
Ooh!
Tya tidak sanggup mengingat saat-saat dirinya dan Antonio tadi pagi...
Pipinya selalu memerah bahkan hanya dengan mengenang tangannya yang memegang kejantanan pria itu.
Bagaimana bisa dirinya melakukan itu. Seumur hidup Tya tidak pernah merasakannya.
Ayolah Tya!
Antonio suamimu, dan lumrah saja kalau dia melakukan itu padamu.
Tapi Antonio sungguh membuat dirinya kesulitan hari ini. Dia harus mengenakan syal bahkan di hari panas yang menyengat ini. Mau tidak mau. Itu untuk melindungi leher merah akibat perbuatan pria itu.
Bahkan dirinya menjadi tontonan orang-orang di sepanjang koridor. Aneh sajakan mana ada orang pakai syal di tengah hari buta.
"Ada musim salju di Indonesia?!"
Tya memandang sengit pada seseorang yang menyeletuk di sampingnya.
"Diam, Qiara!"
"Memang kenapa?" tanyanya dengan kekehan geli.
"Ck! Pokoknya diam!"
Hari yang menyebalkan! Antonio harus bertanggung jawab untuk ini.
"Aku tidak bilang apa-apa," ujar Qiara bersikap sok polos. Padahal, sejak tadi ia menahan tawa karena tau apa yang ada di sebalik syal itu.
Tya mendengus. "Kau bisa membuat aku malu tau!"
"Kenapa aku bikin kamu malu? Aku tidak bilang kalau kamu pakai syal gara-gara ada bekas kecupan di leher kamu!"
QIARA!!!!!
Pelototan mata Tya yang benar-benar akan keluar. Sungguh geregetan kalau bicara dengan anak satu ini.
Suaranya lumayan kencang meski tidak terdengar oleh orang lain. Pasalnya ia di sudut ruangan. Tapi tetap saja. Kalau tiba-tiba ada yang lewatkan bahaya!!!
Ia bisa malu besar nanti!
"Lain kali minta suamimu di bikinkan di jidat sekalian. Biar semua orang bisa tau," gurau Qiara sembari berbisik.
"Kau sangat menyebalkan!"
Qiara tertawa terbahak-bahak. Ia memikirkan bagaimana Tya akan menutupi bekas kecupan itu kalau benar-benar ada di jidat. Mungkinkah Tya akan mengikat jidatnya dengan kain? Pasti sangat lucu.
"Buang jauh-jauh pikiranmu itu!" tegur Tya melihat Qiara dengan aura menyebalkan.
****
"Kenapa kamu pakai syal siang-siang, Tya?"
Oh, ini sudah pertanyaan yang ke sekian kalinya. Tiap orang yang berbincang dengan Tya, pertama-tama akan mempertanyakan hal itu. Dan itu sungguh, membuat Tya panas dingin menjawabnya.
Itu jauh lebih sulit dari pada pertanyaan filsafat tingkat dewa!
"Ini Bu, eeh. Itu..."
Tya harus bilang apa? Apa dia juga harus berbohong pada dosennya?
"Kamu sakit?" tanya beliau lagi.
"Enggak kok, Bu!" balas Tya cepat.
Ia menggigit bibir bawah memikirkan hal apa yang harus ia katakan.
"Saya suka saja pakai syal, Bu. Kebetulan.., ini baru," ujar Tya setengah berbohong setengah jujur.
Benar ini syal baru. Baru pakai sejak ia membelinya dua bulan lalu. Dan kebohongan terbesarnya, Tya tak terlalu menyukai syal ini. Panas dan Tya bertaruh lehernya memerah kepanasan.
"Oh, begitu."
Dosen Tya mengangguk kecil setelahnya. Ibu Shinta. Memintanya datang entah karena alasan apa. Dosen ini sangat aneh menurut Tya. Beberapa waktu ini ia merasa terlalu di perhatikan oleh ibu Shinta.
Saat ia di kantin dengan Qiara, dan kala itu ada Bu Shinta, beliau pasti bilang telah membayarkan mereka makan. Dan saat Bu Shinta tak sengaja berpapasan dengan Tya, beliau akan menyapa dan menanyakan kabar Tya.
Itu sungguh aneh. Karena biasanya beliau kalau bertemu biasa saja. Paling tersenyum dan pergi. Tapi sekarang jadi lebih senang mengajaknya berbincang.
"Besok kamu ada kelas?" tanya beliau.
Tya mengingat ingat. "Seingat saya tidak ada, Bu," ujar Tya
"Kalau begitu besok kamu bisa bantu Ibu ya. Ibu ada pekerjaan yang cukup merepotkan dan sangat mendadak besok."
Tya bukan asisten pribadi Bu Shinta. Dirinya juga bukan asdos. Tya lebih memilih tidak menjadi bagian dari itu karena dirinya sibuk. Tapi anehnya kenapa dirinya di ajak oleh Bu Shinta.
"Kamu...., keberatan, Tya? Mungkin kamu sibuk?"
"Uh? Tidak kok, Bu. Besok saya free," jawab Tya tergesa-gesa.
"Jadi kamu maukan?"
"Memangnya...., kita mau apa ya, Bu?"
Hal seperti tidak biasa. Tya sangat tidak mau kalau dirinya di ajak untuk sesuatu yang menurutnya membosankan. Seperti menemani Bu Shinta pergi seminar mungkin.
"Ada beberapa hal yang tidak bisa ibu lakukan sendiri. Jadi ibu mau ajak kamu. Maukan?"
"Oh, iya deh, Bu."
Mau tidak mau ia bilang begitu. Mau bagaimana lagi. Menolak sangat tidak sopan.
"Baiklah. Nanti besok temui ibu oke? Jam 8 pagi."
****
Tya sangat tidak yakin untuk pulang ke rumah. Pasalnya ia masih malu untuk bertemu Antonio dan, bagaimana ia bersikap nanti?
Pria itu tadi pagi sangat hangat padanya. Apalagi saat membantunya memasak. Pria itu meski tidak bisa memegang alat dapur apapun, tapi tetap saja cukup membantu meski cuma bantu menggoreng ayam atau memasak air panas.
Tapi kalau mereka ada di rumah sama-sama nanti, apa yang mereka akan obrolkan? Apa mereka masih akan sama? Seperti hari-hari biasanya. Bicara lalu saling sibuk dengan urusan masing-masing.
Kalau begitu mungkin jauh lebih baik. Tapi kalau...., tiba-tiba Antonio hendak meminta haknya sebagai suami lagi....
Pria itu tidak mau melakukan hubungan yang sesungguhnya. Tya cukup terharu pria itu memikirkan tentang dirinya apabila rumah tangga mereka kandas. Tapi, apa itu artinya Antonio tetap akan menceraikannya kalau pria itu mendapatkan hak waris tuan Dennis?
Entah mengapa, Tya merasa tidak suka dengan kenyataan yang seperti itu. Dia mulai nyaman dengan Antonio. Sebenarnya ia tidak keberatan Antonio melakukannya sekalipun. Hanya saja ia minta untuk diberi waktu agar tidak gugup.
Namun, sepertinya Antonio masih tidak yakin dengan pernikahan mereka ini.
"Kenapa melamun?"
"Antoni?"
Antonio dan Zidan. Mereka berdiri di depan Tya yang melamun di parkiran kampus.
"Kelasmu sudah selesai?" Atanya Antonio. Tya mengangguk kecil.
"Kalau begitu kita pulang."
Pulang? Bersama Antonio? Maksudnya Antonio menjemputnya? Ia melirik Zidan.
"Tapi Zidan?"
"Aku akan pulang nanti malam. Ada urusan di kampus ini," jelas Zidan.
"Oh, begitu."
Tya menenteng tas nya lalu berdiri. Ia berpamitan dengan zidan. Hal itu juga di lakukan Antonio
Ia dan Zidan berteman sejak masih SMA. Pria itu sering memperbaiki ponselnya yang dulu bertahun-tahun tak bisa di ganti karena tidak ada uang. Tapi pria itu cukup handal hingga bisa mambantu Tya kalau-kalau handphonenya rusak.
Bersambung....