Chereads / My Husband is not Gay / Chapter 19 - Kau Bagaikan Seorang Ibu

Chapter 19 - Kau Bagaikan Seorang Ibu

Kalau saja tidak melihat wajah seram Antonio sambil mengendarai mobil ini, Tya pasti sudah mengomel. Ia bahkan masih tidak habis pikir. Bagaimana Antonio menghajar seseorang begitu saja tanpa ada masalah apa-apa.

Datang-datang langsung membegom orang lain. Ia ingin menasehati Antonio pasal yang satu itu. Tapi Tya takut malah ikut kena begom Antonio nantinya. Bukan tidak mungkin Antonio malakukan hal itu padanya bukan.

Mobil masuk dalam basemen parkiran. Dan si sanalah dua orang pria dengan jas hitam mencegat mereka. Salah satunya mengetuk kaca mobil

Setengah hati Antonio menekan tombol menurunkan kaca mobil.

"Kami harap anda dan nyonya Tya keluar dari mobil ini segera."

Tya tak bergeming beberapa saat. Lalu kemudian menurut saat Antonio dengan tenang keluar dari mobil itu.

Tya berada di luar pintu sebelah ia duduk tadi. Melihat Antonio yang berbicara pada dua orang itu. Dan seketika Antonio mengeluarkan dompet, dan kunci mobilnya di rampas.

Keduanya segera pergi dengan menaiki mobil yang mereka tumpangi tadi.

Wajah Antonio masih muram bercampur marah, tatkala mobil itu sudah di bawa pergi. Mereka berdua terdiam bersama.

Ia baru tau kalau mereka adalah salah satu suruhan tuan Dennis untuk mengambil fasilitas anaknya.

Lalu Tya merasakan sesuatu dalam hatinya. Kalau saat ini, Antonio pasti bersedih. Bahkan pria itu tak mau melihat wajahnya.

Tya mencegat Antonio sedetik sebelum pria itu hendak beranjak entah kemana.

"Antoni," gumam Tya mentap wajah Antonio.

Tapi bola mata pria yang ia tatap itu, sepertinya enggan menatap kearah nya.

"Kami baik-baik saja?" tanya Tya merasa khawatir. Pria ini sepertinya sedih, tapi di sembunyikan nya dengan wajah marah itu.

"Jangan bicara padaku!"

Suara pria itu nampak ketus. Tapi Tya dapat merasakan kalau pria ini sepertinya sedang sangat teramat kalut. Ia pasti merasa hatinya kacau.

"Sudah hampir jam makan siang. Ayo pergi makan," ajak Tya dengan lembut.

Antonio tidak merespon apa-apa. Pria itu cuma melirik kesamping benar-benar tidak ingin melihat kearah Tya.

"Aku..., barusan dapat gaji. Kamu taukan. Aku YouTuber." Tya berusaha menarik perhatian Antonio agar pria itu setidaknya bisa melupakan sakit hatinya.

"Memang berapa gajimu?" tanya nya Antonio.

"Tidak banyak. Tapi bisalah makan di warteg."

****

"Kupikir kita akan makan di restoran bintang lima," gumam Antonio saat mereka sampai di depan warteg sederhana.

Mereka habis jalan cukup jauh. Ya, jalan kaki. Kau pikirkan sultan yang dulu naik mobil harus jalan kaki. Jaraknya juga lumayan jauh. Cukup melelahkan bagi Antonio yang biasanya jalan 10 meter saja harus naik mobil.

"Aku tak punya uang sebanyak itu untuk makan di sana. Tapi di sini," Tya menarik Antoni masuk. "Makanannya enak dan lumayan bersih kok."

Meski sebenarnya Antonio malas makan di tempat seperti ini, tapi jujur, dia merasa tertarik dengan Tya yang merayunya untuk makan. Seperti seorang ibu yang berusaha membuat anaknya makan meski dengan hal sederhana.

Tya memesan beberapa makanan, dan kembali dengan beberapa piring berisi makanan lezat.

Antonio melihat semua gerakan Tya. Saat gadis itu menaruh makanan di meja, dan mempersilahkan Antoni untuk melahapnya.

Tidak ada makanan berkelas bintang lima oleh chief terkenal. Tapi anehnya, makanan ini terasa lezat dan benar-benar memancing nafsu makannya.

"Kau harus makan banyak. Lihat, ini ada udang oseng, ikan panggang, dan aku juga pesan ayam panggang. Gak apa lah kita boros sekali-sekali."

Satu persatu makanan mereka lahap. Dan baru kali ini Antonio menghabiskan satu porsi besar makanan di piring. Hanya menyisakan beberapa biji nasi saja.

"Lain kali kalau uangku di kembalikan, aku akan traktir juga kau. Tapi tentu saja di restoran bintang lima," gumam Antonio dengan sombongnya.

"Tidak perlu. Aku makan di sini juga sudah luar biasa bersyukur." Ia mengamati piring Antonio. "Habiskan sisa nasinya," perintah Tya melihat beberapa biji nasi yang di sisakan pria itu.

"Kenapa?" Antonio memperhatikan piringannya juga. "Ini tak berharga!"

"Ck!" Tya meraih sendok dan membersihkan nasi sisa Antonio tanpa sisa. Dan tanpa merasa jijik memakan nasi itu.

"Petani menunggu 3-6 bulan untuk butiran nasi ini. Tuhan juga ikut andil di dalamnya. Jadi hargai mereka!"

Tya kembali memakan sisa makanan di beberapa piring berisi lauk atau sayur. Menghabiskan semuanya tanpa sisa

Kegiatan itu membuat Antonio terpaku. Melihat betapa gadis ini menghargai secubit makanan. Sebenarnya Tya gadis baik. Hanya saja dia harus bernasib buruk menikah dengannya.

"Kita pulang," ujar Tya setelah kembali dari membayar makanan tadi. "Aku harus kerja."

"Membuat video?"

"Iya. Itu kerjaan aku, setidaknya aku punya jalur untuk menghasilkan uang."

"Aku malas pulang jalan kaki," ujar Antonio seraya menggeliat di atas kursi.

Alis Tya terangkat sebelah.

"Kita naik taksi oke?"

"NO!" tolak Tya tegas.

"Ayolah. Akan ku kembalikan uangmu!"

"Tidak! Jaraknya tidak jauh. Kita jalan kaki saja."

Antonio mendesah kasar dengan nada masalnya. Mau tidak mau mengikuti Tya yang sudah meninggalkannya duluan.

"Kau pelit sekali!" gumam Antoni sembari mereka jalan berdua.

"Kalau aku pelit, aku tak akan traktir kamu," balas Tya tak begitu peduli.

Jalanan hari ini padat sekali. Sudah masuk jam makan siang. Jadi beberapa orang pastinya sedang mencari makanan untuk mengganjal perut setelah setengah hari beraktivitas.

Di tengah kepadatan itu juga banyak orang yang mencari nafkah demi sesuap nasi. Ada berbagai pekerjaan di sana. Anak-anak yang dari mobil ke mobil di lampu merah mengamen, bahkan ada juga yang menawarkan jasa cuci kaca mobil.

Ada banyak sekali pokoknya pekerjaan di kota besar ini demi sesuap nasi.

"Kak, lapar."

Oh ya. Bahkan tukang minta-minta.

"Kalau lapar, makan."

Dan itu juga balasan oleh orang-orang seperti Antonio. Tya memutar bola mata melihat pribadi pria ini.

Ia mengeluarkan uang 20.000 dan memberikan pada anak kecil usia 6-7 tahunan itu.

"Makan ya. Maaf, kakak cuma punya seadanya."

"Iya kak. Terima kasih. Kakak baik dan cantik."

Tya tersenyum lebar di bilang cantik oleh anak kecil itu.

"Kau keluar uang demi satu pujian?"

"Tidak. Ini bukan tentang pujian. Tapi kemanusiaan! Anak kecil itu, kalau sampai mati kelaparan, maka kita menanggung dosanya kau tau?" nasehat Tya sembari memasukan kembali dompet dalam tasnya.

Mereka lanjut berjalan sambil Tya berbicara.

"Dia juga tidak mau hidup seperti itu. Kalau di beri pilihan, dia pasti mau hidup seperti kamu. Banyak uang dan bisa hura-hura. Kau pikir gampang hidup susah."

"Kau pikir jadi aku itu mudah?"

Tya melirik Antonio yang berkata sambil memperhatikan jalannya. Pria itu berjalan tanpa menoleh lagi.

Bersambung.....