Tya masih banyak urusan tatkala Antonio mengiriminya pesan menanyakan kapan dia pulang. Beberapa saat dia sempat heran dengan pertanyaan itu.
Tapi pesan pria itu yang berikutnya membuat Tya menghela nafas.
Tya: Baiklah. Aku segera pulang dan membuatkanmu makanan.
Sambil membereskan buku Tya menggerutu. Kenapa juga Antonio harus pulang ke apartement kalau masih tidak bisa melakukan apapun. Kalau lukanya masih parah, bukankah lebih baik berada di rumah Tuan Dennis?
Setidaknya banyak pelayan di sana. Tya tidak perlu repot-repot pulang untuk membuatkan pria itu makanan.
Bergegas dirinya ke apartement, dengan desakan pesan-pesan pria itu yang kelewat lebay yang bilang belum makan dari tadi siang. Sementara ini pukul 6 sore.
"Seperti orang miskin saja," gerutu Tya di dalam lift apartement kala mendapatkan pesan Antonio lagi.
Pria itu terus bilang kalau dia kelaparan dan sangat butuh makan. Bukankah tidak seharusnya putra pengusaha seperti ini. Sungguh tidak mandiri.
Begitu sampai di depan pintu apartment mereka, Tya membuka pintu, dan mendapati Antonio di sofa. Berbaring dengan telivisi menyala. Dan pria itu malah asik bermain game.
Luka-lukanya yang kemarin di perban sudah di buka meski menyisakan luka kecil. Memar di beberapa bagian tubuh pria itu juga tampaknya tidak begitu parah lagi.
Sejenak matanya melayangkan tatapan pada Tya. "Kau sudah pulang?" tanyanya santai lalu beralih lagi pada game.
Sementara itu, Tya begitu kesal dengan tingkah Antonio yang tadi di pesan bilang hampir mau mati karena kelaparan, tapi nyatanya dia baik-baik saja.
Bahkan kali ini ia tambah kesal saat melihat dua kotak makanan siap saji aja di meja sofa.
Satu kotak sudah kosong, yang tandanya pria itu sudah makan. Tya serasa ingin menggerang geram dan berteriak di dekat telinga Antonio. Pria ini barusan membohonginya!
"Apa ini?" tanya Tya dengan tatapan dingin, menunjuk pada makanan itu.
Lirikan mata Antonio sejenak menuju pada kotak makanan itu. Lalu fokus lagi pada gamenya.
"Satu kotak untukmu," ujarnya tak peduli tatapan Tya yang sudah ditekuk saking kesalnya.
Tapi sekali lagi pria itu tak peduli. Dengan geram dia meraih kotak makan itu dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa Tya menghentakkan pintu sangat kuat hingga mendengungkan bunyi.
Dalam kamar, Tya sambil melepasi pakaian, sambil bergumam tak jelas. Sembari membuka laptop juga untuk mengecek kerjaannya.
Tya saat ini hanya memakai pakaian dalam saja, melihat laptop untuk mengecek sampai mana dia membuat video
Klik!
"Hey! Aku...."
"Antonio! Dasar mesum!"
Berbagai barang berterbangan kearah Antonio.
"Aku tidak lihat. Aku belum lihat kalau dalamanmu warna pink!"
"Lelaki sialan!!"
Tya berlari ke kamar mandi. Wajahnya memerah dengan dadanya yang berdegup sangat kencang.
****
Berbagai macam barang berterbangan kearan Antonio. Ia berbalik kala melihat sesuatu yang membuatnya refleks membalikkan tubuh.
"Aku tidak lihat. Aku belum lihat kalau dalamanmu warna pink!"
"Lelaki sialan!"
Suara umpatan dan pintu kamar mandi yang tertutup kencang itu, membuat Antonio menyirit sedikit. Dia terdiam beberapa lama menyadari apa yang barusan dia lihat.
"Ck!" decak Antonio menyadari kebodohannya.
Oke. Baiklah. Dia melihat dalaman Tya. Itu tidak sopan dan wajar gadis itu marah.
Tapi, Itu bukan hal baru yang di lihatnya. Bahkan dia pernah lihat yang lebih berani lagi meski bukan gadis itu. Tapi barusan dia berbalik saat melihat gadis itu dengan pakaian minim.
Kenapa?
Sejak kapan dia menghormati privasi seorang wanita? Perempuan, biasanya hanya sampah baginya. Tapi kenapa tadi Tya....
"Kamu mau apa sih? Masuk tidak ketuk pintu dulu!" omel Tya saat keluar dari kamar mandi. Gadis itu memakai jubah mandinya.
Beberapa saat, Antonio tak berkedip melihat penampilan Tya, yang sebenarnya biasa saja. Seperti yang tadi dia bilang, dia bahkan pernah lihat wanita tanpa busana.
"Kamu liat apa?" tanya Tya melingkarkan tangannya saat menyadari tatapan Antonio yang kian lekat pada bagian tubuh atasnya.
Reflek Antonio memalingkan wajah menjauhi objek yang barusan dia lihat. Dia melirik kearah lain, hingga melihat laptop Tya yang menyala.
"Kau membuat video?" tanya Antonio tiba-tiba.
"Iya! Aku sibuk. Kamu mau apa?"
Pertanyaan Tya kali ini terbilang ketus. Bahkan dia menunjukkan sekali ketidak sukaan Antonio ada di kamarnya.
Dan Antonio sendiri bisa merasakan itu. Beberapa saat dia mengangguk kecil. Lalu pergi tanpa kata.
Tya melihat bagaimana sikap aneh pria itu. Kenapa seperti jilangkung. Datang tak di undang, pergi tak di usir.
"Usil banget sih," gerutu Tya meratapi kepergian Antonio.
****
Antoni memesan satu kotak pizza dan makanan siap saji lainnya. Dia hendak memakan santapan lezat yang terhidang menggoda itu, tapi entah kenapa dia melirik pada kamar Tya.
Samar-samar dia berharap gadis itu keluar dan dia bisa menawari makanan sebanyak ini.
Entah kenapa, sejak tadi dia merasa tidak terkontrol. Antonio tau apa yang ia inginkan. Dia cuma ingin makan dengan Tya. Ya, makan malam bersama teman setidaknya. Ia ingin bercerita pada Tya. Mengungkapkan apa yang dia inginkan ceritakan.
Meski hanya cerita sederhana. Cuma itu. Tapi reaksi Tya barusan membuatnya sungkan berkata. Mungkin gadis itu sibuk dan dia menganggu.
Namun sedemikian itu Antonio sungkan, dia tetap ingin mengajak Tya makan bersama. Gadis itu pasti suka. Tapi, mungkin kali ini dia menganggu.
Antonio sembari memakan potongan pizza, dia mengingat makan malam dengan Tya kemarin malam. Saat dirinya luka-luka. Kali pertama Antoni merasa, ada seseorang yang perhatian atas dirinya.
Mengingat bagaimana Tya merengkuh dirinya yang habis di pukuli, lambat laun membuat dadanya bergetar tanpa alasan jelas. Tya satu-satunya yang pernah melakukan itu.
Bahkan dulu Mommy-nya, tak peduli kalau Daddy-nya memukuli atas kenakalan Antonio.
Tapi saat Tya merengkuh dirinya kala itu, ia merasa senang. Bahkan saat Tya mengobatinya, menemaninya makan. Meski hanya makan diam-diam an saja. Tapi itu sudah lebih dari cukup.
Antonio sudah merasa sangat senang.
****
"Halo." Tya mengangkat telpon dari seseorang.
"Tuan besar ingin anda dan tuan Antonio untuk datang ke kantor besok pagi."
Jeremy berucap di seberang sana. Tya terdiam beberapa saat setelah kalimat itu.
Bibirnya bergerak ragu. "Untuk... Apa ya?" tanya Tya.
"Tuan ingin membahas sesuatu. Beliau berharap anda berdua bisa datang."
"Oh, ba-baiklah. Aku akan datang dengan Antonio."
"Baik, terima kasih."
Panggilan terputus. Tya melihat layar ponselnya beberapa saat setelah itu. Asisten ayah mertuanya itu menyuruhnya dan Antonio datang ke perusahaan pusat milik keluarga Frederick besok.
Entah karena apa, Tya sendiri tak tau.
Ia jadi teringat Antonio dengan keadan pria itu saat ini. Apa panggilan ayah mertuanya itu ada hubungannya dengan Antonio yang katanya habis berkelahi di perusahaan tempo hari?
Lalu kenapa dia harus di bawa dalam masalah itu? Tentunya Tya sendiri tidak mengerti.
Apa mungkin Antonio akan di pecat?
"Drama keluarga yang membingungkan," gumam Tya sembari meraih ponselnya dan berdiri.
Ia berjalan ke pintu kamar, membuka sedikit pintu hingga memberi celah. Ia mengintip sedikit pada Antonio yang ada di ruang tamu. Sedang memakan banyak makanan.
"Dia sedang mukbang," celetuk Tya pelan. Berbagai varian makanan siap saji ada di sana.
"Tega sekali tidak mengajak aku," ujarnya dengan bibir cemberut dan suara lirih.
Tya jadi berfikir ulang untuk menemui Antonio mengatakan kalau mereka di suruh keperusahaan besok. Bisa-bisa nanti di sana dia di bilang minta makanan itu lagi.
Meskipun memang ingin tapi Tya tidak mau menjatuhkan harga dirinya meski tidak secara sengaja. Pasti menjengkelkan, apalagi kalau sampai saat dia kesana mengatakan pesan Jeremy, lalu pria itu cuma bilang 'iya' tanpa menawarinya sedikitpun.
Bersambung....