"Aku datang sendiri. William ingin menjemputku tapi aku tidak ingin merepotkannya." Jawab Aubrey lembut.
"Cih!" Suara decihan terdengar jelas di ruangan tamu yang cukup sunyi. Aubrey mengerutkan alisnya. Dia tahu kalau yang menimbulkan suara itu adalah perempuan yang sedang duduk di sofa seberangnya dengan pakaian yang kurang bahan.
"Maaf Ruth, boleh aku panggil dengan nama saja?" Aubrey mencoba tetap kalem dan tenang.
"Huh, terserah kamu saja. Aku tidak peduli." Ruth memalingkan wajahnya, diiringi dengan senyuman sinis di bibir ber gincu merah tebal.
"Maafkan aku jika kedatanganku mengganggumu. Aku kesini atas undangan William dan mommy William." Jawab Aubrey dengan sopan. Nada kalimat yang dikeluarkan penuh tekanan sehingga orang yang menyimak dengan baik akan tahu apa maksud dari perkataannya.
"Huh, aku sudah bilang aku tidak peduli. Aku dan mommy hanyalah tamu dirumah ini. Kami tidak berhak melarang siapapun yang datang. Bukan begitu, mom?" Ruth berkata pada mommynya, Martha.
"Ya, semua terserah tuan rumah. Kami hanya menumpang disini. Anna dan keluarga sangat baik pada kami. Mau memberikan kami tumpangan rumah meskipun anakku belum resmi menjadi menantu keluarga The Knight." Martha tersenyum penuh arti pada anaknya dan dibalas dengan senyuman lebar Ruth.
"Sungguh memuakkan sekali mereka." Gumam Aubrey dalam hati. Melihat Ruth dengan mommynya seperti Aubrey melihat Chesa dengan ibu tirinya. Kenapa dua pasang ibu dan anak itu sama-sama menyebalkan? Pikirnya. Aubrey menarik napas sambil tersenyum tipis.
"Sudahlah, waktunya makan sudah tiba. Makanan sudah siap. Ayo, kita langsung menuju meja makan. William dan kedua kakaknya tadi mengirim pesan ke mommy kalau mereka tidak bisa datang karena urusan masing-masing. Phil juga pulang larut malam bersama George. Jadi, kita para wanita yang akan menghabiskan makan malam kali ini. Jangan sungkan ya." Anna memimpin jalan menuju meja makan. Aubrey mengekor dibelakangnya. Sementara Ruth dan Martha tampak kesal karena sepertinya mangsa mereka tidak ada yang datang malam ini menemani makan malam.
Suasana makan ber empat membuat Aubrey merasakan kembali kehangatan keluarga. Dia tidak pernah lagi menikmati makan malam bersama sejak kehadiran Chesa dan Patricia dirumahnya. Aubrey selalu beralasan makan malam diluar, kecuali saat sarapan yang mengharuskan semua anggota keluarga untuk duduk bersama.
"Aubrey, William bilang kalau kamu tinggal di apartemen William. Apa kalian tinggal satu atap?"
"Uhukkkk," Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dari mommy pacarnya itu, Aubrey langsung tersedak makanan yang masih tersangkut di tenggorokannya.
"Oh maafkan aku, kamu jadi tersedak." Wanita itu pun langsung membantu Aubrey untuk mengambilkan segelas minuman air putih yang tersedia di sebelahnya. Aubrey mengambilnya dan buru-buru untuk minum. Sementara wajah Ruth dan Martha mendadak menggelap mendengar ucapan Anna.
"Ehem ehem, tidak nyonya, aku tidak tinggal satu atap dengan William. Dia membolehkan aku untuk tinggal disana selama beberapa waktu. Sementara William tinggal di rumah." Jawab Aubrey malu-malu. Tidak dia sangka kalau urusan tinggal di apartemen pun, lelaki itu akan memberitahukan mommynya. Huh, dasar anak mommy. Pikir Aubrey. Tapi, benar juga harus diberitahu jauh-jauh hari agar tidak terjadi salah paham kalau suatu saat Anna melihat dirinya berada di apartemen William.
"Begitukah? Tapi, sejak kemarin William tidak tidur dirumah. Entah dia ada dimana sekarang." Anna mengernyitkan alisnya. Begitu juga dengan Aubrey.
"Kemana lelaki itu pergi dan tinggal dimana? Kalau dia tidak ingin tinggal dirumah, kenapa dia harus meminjamkan apartemennya padaku?" Aubrey berpikir keras.
"Sudahlah, dia sudah besar. Mungkin dia tinggal di hotel. Ayo dilanjutkan makannya." Mereka berempat pun kembali makan dengan pikiran masing-masing yang mengembara jauh.
Setelah acara makan malam dan ramah tamah, waktu pun menunjukkan pukul 9 malam. Aubrey merasa harus segera pulang karena perjalanannya ke apartemen lumayan jauh.
"Terima kasih atas kedatanganmu, dan jangan repot-repot bawa sesuatu. Kalau mau datang, datang saja. Hati-hati dijalan ya, sayang. Titip jaga William untukku." Anna menepuk lengan Aubrey dan mengusapnya. Sungguh Aubrey sangat senang diberikan perhatian oleh Anna. Ingin rasanya dia terus merasakan kasih sayang seorang ibu yang hilang dari Anna.
"Baik, nyonya. Aku segera pulang sekarang. Jaga kesehatan nyonya juga."
"Kenapa kamu selalu memanggilku nyonya nyonya? Panggil aku mom, okay!" Ucap Anna disertai bibir mengerut manja. Aubrey terkekeh melihatnya.
"Baiklah, mom. Aku pulang sekarang." Aubrey memeluk lembut wanita yang mulai sangat disayanginya itu.
"Begitu lebih baik. Ya sudah, segera pulang. Sampai bertemu kembali."
"Sampai jumpa lagi, mom." Aubrey melambaikan tangan sebelum masuk kedalam mobil warna kuningnya.
Ruth dan Martha yang sudah kembali ke kamarnya di lantai dua setelah acara makan malam berakhir, melihat kepergian Aubrey dari balik jendela kamarnya.
"Cih, perempuan ular itu tidak bisa dianggap remeh. Tidak ada yang bisa menghalangiku mendapatkan status sebagai menantu The Knight." Ruth berkata sambil mengepalkan tangannya.
"Benar sekali. Hanya kamu yang pantas menjadi menantu keluarga ini. Kita tidak bisa berdiam diri. Kamu harus segera bergerak. Kamu sudah tahu kan alamat kantor Martin dan Jason? Dua orang itu kamu dekati perlahan. William adalah cadangan. Kita jangan mendekatinya dulu karena dia anak bungsu keluarga ini. Yang paling penting adalah Martin." Bisik Martha dengan suara menghasutnya.
"Benar mom, kamu benar sekali. Aku akan ke kantor Martin besok sekedar mengantarkan makan siang. Dia pasti terharu dan senang melihat kedatanganku." Ucap Ruth penuh percaya diri.
"Hahahaha, kamu memang anak yang cerdik." Martha mengusap-ngusap lengan anaknya. Mereka berdua merayakan rencana licik yang akan mereka mulai jalankan sejak besok sampai sebelum tiga bulan berakhir.
-----
"Hei Martin, kemari!" Suasana musik yang menghentak-hentak, liukan para penari dan pengunjung klab malam, minuman alkohol beraneka warna yang sudah memabukkan beberapa pengunjung, dan juga riuh ramai teriakan semua orang, melengkapi keramaian klab malam milik salah seorang teman Martin.
"Hei, gila kerja! Kapan kamu akan menikah? Kerja terus tapi tidak punya pacar. Hahaha ..." Seorang teman prianya berseloroh menyindir pria yang penampilannya paling sempurna diantara ketiga temannya yang hadir malam ini.
"Huh, aku tidak perlu istri untuk menghiburku. Wanita manapun akan bersedia menghangatkan ranjangku." Martin menyesap sekaligus wine merah di gelas kecil.
"Hei, pelan-pelan minumnya. Kamu mau langsung mabuk sekarang? Nikmatilah suasana malam ini. Bro, aku dengar Cherryl akan datang malam ini. Dia pasti sangat kangen padamu. Hahaha," ujar seorang lelaki dengan rambut agak ikal.
Cherryl, perempuan yang pernah menjadi cinta pertama Martin namun pergi begitu saja demi karirnya sebagai seorang model terkenal dunia. Martin menyeringai sinis. Hari dimana Cherryl meninggalkan dirinya adalah hari dimana dia sudah memutuskan untuk melupakan perempuan itu untuk selamanya.