Chapter 2 - zwei

Di dalam toko kue Ocha dan Bibi masih berdebat soal harga kue yang di inginkan Ocha terlalu mahal karena hari itu adalah hari ulang tahun keponakannya Bibi pun mengalah "Baiklah, bibi meninggalkan dompet di dalam mobil, pergi dan panggil ayahmu. Bibi akan memesan kue.."

Ocha mengangguk "Baiklah." gadis kecil itu pun pergi keluar untuk mengambil dompet bibinya yang tertinggal di dalam mobil sekaligus memanggil ayahnya. Ocha sudah keluar dari toko kue dan melihat ayahnya masih menelepon tapi kini ayahnya berdiri di tengah-tengah jalan raya. Ocha memanggil ayahnya "Ayah.."

Tepat saat itu suara klakson mobil berbunyi nyaring. Ocha masih terus memanggil ayahnya tapi sepertinya ayahnya tidak mendengar panggilan Ocha atau pun suara klakson mobil yang memintanya untuk menjauh dari jalan raya. Ketika ayah Ocha menoleh semuanya sudah terlambat sebuah mobil melaju sangat kencang dan tidak sempat mengerem langsung menabrak tubuh ayah Ocha membuatnya langsung terlempar dan menghempas aspal dan tidak bergerak lagi. sedangkan mobil yang menabraknya langsung melarikan diri tampa mau bertanggung jawab karena sudah menabrak seseorang.

Di seberang jalan Ocha yang melihat kecelakaan ayahnya sangat terkejut, beberapa orang yang melihat itu pun berlari mendekati tubuh ayah Ocha yang sudah terbaring di atas aspal tidak bergerak lagi. Ocha mendengarkan beberapa orang yang berdiri di dekatnya berkata.

"Seseorang tertabrak , sangat menyeramkan, orang itu banyak mengeluarkan darah di kepalanya. Cepat panggil ambulan. Cepat!"

Ocha berlari ingin mendekati tubuh ayahnya yang sudah tidak bergerak tapi seseorang menabraknya dari belakang membuatnya jatuh tersungkur di aspal, Ocha menatap wajahnya yang sudah tidak tersenyum lagi padanya, dia melihat mata ayahnya menatap kosong ke arahnya. Ocha mengulurkan tangannya untuk menggapai ayahnya tapi badannya terasa sangat berat saat akan bangun dari jatuh.

Lampu merah di sisi jalan berkedip-kedip semuanya terlihat kacau, orang-orang mulai mengelilingi tubuh ayah Ocha, beberapa diantaranya masih menghubungi ambulan. Mendengar keramaian di luar Bibi pun penasaran dan keluar dari toko dan langsung melihat adik laki-lakinya sudah terbaring di jalan besimbah darah. Dan keponakannya yang tersungkur dekat lampu merah.

Seketika bibi berteriak histeris berlari mendekati tubuh adiknya yang sudah mulai kaku. "Aditya! Itu Aditya. Aditya apa yang terjadi padamu. Ambulan. Seseorang panggil ambulan!" teriak bibi histeris sambil memangku kepala adiknya yang berlumuran darah. Di samping bibinya Ocha yang masih berumur delapan tahun menatap kosong pada tubuh ayahnya yang sudah tidak bergerak, gadis kecil itu terdiam matanya memerah perlahan sebuah garis panjang terbentuk di pipinya dia menangis. Dan menoleh kea rah sedan hitam milik ayahnya.

Ocha berpikir jika saja ayahnya tidak keluar dari mobil. Jika saja ayahnya tidak menerima telepon itu. jika saja ayahnya mendengar panggilannya dan jika saja ayahnya mendengar suara klakson dari mobil itu, maka ayahnya tidak akan terbaring bersimbah darah di aspal itu. di mobil rekaman permainan pianonya masih berputar dengan tenang, nada piano itu seolah menjadi pengantar kematian ayahnya yang tepat di depan matanya.

Ocha teringat pembicaraannya dengan ayahnya sebelumnya di dalam mobil "Ayah.. guru mengatakan dia akan segera mengajariku sisa lagunya. Jadi, nanti ayah harus datang untuk mendengarkannya" Ocha pun langsung mengambil jari kelingking ayahnya dan mengaitkan dengan jari kelingking miliknya. Tanda membuat janji. Ayahnya pun hanya tersenyum menerima semua permintaan putri kecilnya.

Ocha merasa semuanya seperti mimpi, baru beberapa menit yang lalu ayahnya tertawa dan bicara dengannya. Ayahnya pun berjanji akan datang ketika guru mengajarinya sisa lagu yang akan dia mainkan. Sekarang semuanya telah berubah.

****

Pemakaman berlansung singkat beberapa orang datang dan pergi mengucapkan belasungkawa. Ocha duduk diam di depan peti mati ayahnya. Menatap wajah pucat ayahnya yang seperti tersenyum meninggalkannya. Setelah pemakaman seseorang dari bank datang mengaih hutang. Dan melempari semua isi rumah hingga berceceran di lantai termasuk foto ayahnya. Ocha berjongkok dan mengambil foto ayahnya mendengarkan orang yang sedang marah-marah pada bibinya.

Ocha berjongkok memegang bingkai foto ayahnya dan memeluk boneka pemberian ayahnya.

"Jangan berpikir jika dia mati kau tidak harus membayar hutang, bukankah dia berlari ke arah mobil karena tidak ingin bangkrut dan masuk penjara? Perlu kau tahu. Jika kau menjual semuanya itu masih belum cukup! Pergi! Masuk ke dalam dan mulai pindahkan!"

Ocha melihat beberapa orang mengambil piano miliknya, serta beberapa barang berharga lainnya yang berada di dalam rumahnya. bibinya berusaha menghentikan orang-orang itu untuk memindahkan barang itu ke dalam mobil tapi usaha bibinya sia-sia. Bibinya dengan kasar di dorong ke samping dan tersungkur di lantai. Ocha berdiri diam menatap semuanya sambil memeluk bingkai foto ayahnya dan boneka hadiah terakhir dari ayahnya. Matanya memerah tapi dia menahannya untuk tidak membiarkannya tumpah. Dia tidak ingin terlihat lemah.

Untuk membayar hutang yang di tinggalkan ayahnya, bibinya terpaksa menjual rumah yang mereka tinggali selama ini. setelah menjual rumah itu masih belum cukup menutupi kekurangannya. Akhirnya bibinya membawanya pergi ke sebuah kota kecil yang jauh dari masalah yang menimpanya di kota.

Mereka menggunakan Bus yang terlihat jelek karena sudah di gunakan terus-menerus. Asap dari knalpot mobil mengepul tertinggal di belakang. Suara mesin yang menderu dengan keras dan derit-derit besi yang saling bergesekan setiap kali mobil melewati jalan berlubang, membuatnya semakin tidak nyaman. Namun Ocha terlelap sepanjang perjalanan itu.

Kepala Ocha bersandar di bahu bibinya. Dan bibinya menatap Ocha dengan pandangan sedih dan bersalah. Perlahan dia memindahkan kepala Ocha menjadi bersandar pada sandaran kursi. Perlahan-lahan bibinya bergerak, berdiri mengambil tas pakaian miliknya lalu diam-diam meminta supir bus menghentikan busnya. Bibinya turun dari bus meninggalkan Ocha sendirian yang tertidur dalam bus. Namun belum jauh bibinya berjalan bus yang tadinya sudah berjalan kembali berhenti. Ocha yang melihat bibinya tidak ada lagi di sampingnya pun sadar kalau dia di tinggalkan. Ocha mulai panic dan melihat ke arah belakang melihat bayangan bibinya membawa tas pakaian. Ocha pun segera meminta bus untuk berhenti dan lansgung turun mengejar bibinya.

"Bibi…Bibi..." teriak Ocha sambil berlari mengejar bibinya yang terlihat kesusahan membawa tas pakaiannya. Sampai akhirnya Ocha berhasil menyusul bibinya.

Bibinya berdiri dengan wajah lelah dan meletakkan tas pakaiannya di atas aspal begitu saja, menatap Ocha kesal.

"Bibi ingin meninggalkanku? Apakah bibi akan pergi meninggalkanku begitu saja?" tanya Ocha marah. "Aku ingin bonekaku! Dan aku ingin bibi bersamaku!" kata Ocha dengan suara bergetar. Akhirnya mereka berdua pun berjalan sampai di sebuah kota kecil, mereka sudah lelah dan kelaparan tapi tidak memilki uang untuk membeli makanan.