"Di negara yang punya musim dingin, lo tahu kenapa air keran di biarkan terbuka saat musim dingin?" tanya Greysia.
Dengan nada serak dan sedikit tak terdengar, Jayco menjawab. "Biar gak beku" jawabnya.
"Manusia juga sama, Jo. Kalau kita nggak mengalirkan perasaan kita waktu masih hangat, perasaan itu bisa membeku dan rusak. Karna itulah bisa menangis sepuasnya itu bisa dibilang keberuntungan. Lo udah ngelakuin hal yang benar kok dan gak ada salahnya kalo lo pengen istirahat" ucap Greysia.
Lalu ia mengimbuhi sembari melepas pelukan mereka, "Jujur aja gue merasa kecewa waktu lo bohongin gue tentang identitas lo sebenarnya. Rasanya bener-bener kayak di pukul mundur, tapi satu sisi gue gak bisa ninggalin lo gitu aja. Mau gimanapun lo udah bantu banyak ke gue, dan mungkin kalo bukan karena lo—gue gak bakal sekuat sekarang. Dan lo cuma seorang anak yang butuh seseorang buat menguatkan, lo kuat karena ada tameng kata 'laki-laki' soalnya udah seperti kodrat laki-laki harus kuat dan sebisa mungkin jangan kelihatan lemah",
"Dan lagi, gue gak bisa egois. Dilihat gimana pun kita sama-sama mencari sebuah pengakuan dari orang tua. Gue yang butuh bukti buat dapat pengakuan atas hobby-hobby gue yang dianggap sampah sama nyokap. Sedangkan, lo butuh waktu buat bilang yang sejujurnya ke nyokap lo biar beliau bisa nerima lo sebagai Jayco bukan Jacob"
"Jacob emang temen gue dari kecil yang selalu berharga, bahkan dari dulu sampai sekarang hidup gue hasil nurutin permintaan Jacob saat terakhir kali kita bertemu yaitu....gue harus punya temen selain dia" imbuh gadis itu sembari tersenyum kecut.
"Tapi lo harus tahu, Jo. Jacob itu cuma masalalu yang udah sepatutnya di simpan baik-baik di kenangan. Kita semua harus ikhlas tentang kepergian dia terus sebisa mungkin harus bangkit dan gak tenggelam larut dalam kesedihan. Tante Celine juga harus gitu, beliau gak bisa terus-terusan gak perduli tentang lo kayak gini. Dan lo harus buktiin ke tante kalau seorang Jayco Bae bisa berubah gak seburuk yang tante pikir. Gak semua orang tua bisa nilai anaknya gitu aja"
"Mulai sekarang, izinin gue buat bantu lo. Bukan sebagai Jacob tapi murni sebagai sosok Jayco Bae" kata Greysia mantap membuat sebuah cahaya kehidupan samar-samar terpancar dari manik matanya.
Jayco mengangguk, dia terlena dengan ucapan Greysia yang terdengar seperti sebuah uluran tangan untuk menolongnya yang telah sekian lama terjebak dalam sebuah lubang besar yang sangat dalam.
"Emang mau bantu gimana?" tanyanya polos.
"Gak tahu hahahahaha" lantas dua insan itu tertawa ngakak setelah menangis.
Terkadang kebahagiaan bukan hanya datang karena sebuah rencana namun hanya cukup bersama dengan seseorang yang nyaman sudah mampu menghangatkan suasana. Mereka menghela napas lega, bahkan saking leganya dua orang itu merasa hatinya lebih enteng dari sebelumnya. Jayco menghapus bekas air mata yang nampak pada pipi kemudian menepuk pahanya mempersilahkan Greysia untuk tiduran kembali disana.
Belaian lembut membuat rasa kantuk mulai meracuni kelopak matanya. Hari kian malam, bahkan langit kian gelap meski beberapa tempat di sudut langit terhiasi bintang yang bertebaran bersama sang rembulan yang hanya menampakkan setengah cahayanya.
Tangan kanannya di genggam oleh Greysia yang pelan-pelan terpejam. Lihat, gadis cantik itu begitu tenang saat tertidur. Siapa sangka jika mereka pernah satu sekolah dulu saat masih di bangku sekolah dasar, ia juga ingat bagaimana dia memuji sosok Greysia yang tak sengaja ia temui di lapangan sekolah lalu menggoda adiknya dengan gadis ini.
Greysia, sosok gadis yang lama-lama menjadi pondasi dalam kehidupannya. Ia akan selalu mendampingi Greysia apapun yang terjadi, jika ia tak sempat menjadi yang pertama kali mengulurkan tangan setidaknya ia juga menjadi salah satu dari orang yang tak meninggalkan gadis itu. Saat dimana Greysia dalam keadaan kacau seperti waktu lalu sudah cukup meremas hati dan perasaannya. Pertemuan yang tak terduga bahkan tak semua orang mengharapkan hal tersebut.
Hembusan napas kian teratur menandakan gadis itu telah masuk kedalam alam mimpinya. Hal licik terbesit di otaknya, ia pelan-pelan melepaskan genggaman tangannya pada Greysia. Ia mengambil ponselnya lalu membuka sebuah kamera. Sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk mencubit kedua pipi Greysia lalu memotret sosok gadis yang sedang tertidur itu. Lucu.
Jayco terkekeh kecil menatap penuh sayang kepada Greysia yang setiap memejamkan mata. Mungkin mereka berpikir bahwa hubungannya dengan Greysia sudah lebih dari wajar. Tak ada orang yang hanya berstatus teman bertingkah seperti telah menikah, namun hanya Greysia dan Jayco yang tahu dalamnya. Orang-orang tak berhak menilai hanya sesuai padangan mereka saja.
Laki-laki itu melihat jam pada layar ponsel, pukul 11 malam dan ia harus segera pulang. Maksudnya ia harus pulang ke rumah mama. Dia harus memindahkan Greysia yang entah sudah melayang kemana nyawanya, gadis itu benar-benar nemplok langsung molor. Dia memindahkan kepala Greysia pelan dari pahanya, jujur saja kakinya rada kesemutan tapi faktanya kepala manusia jauh lebih berat dari kelihatannya.
Dia ragu harus membiarkan Greysia tidur di sofa atau memindahkan saja ke kamar hingga beberapa saat kemudian ia memilih untuk memindahkan saja, kasihan di sofa pasti tidak nyaman. Namun bagaimana caranya?
"Bangunin?" monolognya.
"Masa di bangunin?" jawabnya lagi, "Gendong? Ntar kalo bangun gimana?" imbuhnya.
"Udah deh gendong aja asal pelan-pelan pasti gak kebangun" katanya lalu mengangkat meja menaruhnya ke sisi lain dekat televisi.
Jayco berjongkok di depan Greysia, sejenak ia memandangi Greysia. Pelan tapi pasti ia mulai mengambil celah, mencari tempat nyaman untuk menggendong gadis itu. Seperti yang diketahui banyak orang, menggendong ala bridal style adalah pilihan yang tepat, mungkin. Dia mulai mengangkat gadis itu, berat badannya bahkan tak seberat yang ia kira.
Begitu sampai di kamar, ia menurunkan pelan-pelan. Namun usahanya sepertinya tak mulus, mau sepelan apapun ia bergerak nyatanya Greysia terbangun. Mata sayu gadis itu menatap Jayco meski seperti kapanpun bisa tertutup kembali namun dia mampu menerbitkan senyum tipis seakan memberitahu jika ia berterima kasih untuk tindakan yang dilakukan laki-laki itu. Ditariknya selimut guna menghangatkan badan gadis itu agar tak kedinginan karena pendingin ruangan. Dia duduk di pinggiran kasur, mengambil waktu beberapa saat sebelum pulang.
"Makasih Greysia sudah memilih untuk tetap bersamaku..." ucapnya penuh syukur, "aku harap di masa mendatang aku tidak meninggalkan kamu sendirian" imbuhnya.
Tubuhnya mencondong, dia menyangga tubuhnya dengan tangan tepat di samping tubuh Greysia. Jika berkesan tak sopan maka ia akan meminta maaf sebelumnya karena lancang mencium dahi gadis itu saat tertidur. Gila. Dia memang gila, namun hanya sebatas ini yang ia lakukan, cukup ia saja yang menyukai Greysia dalam diam seperti ini. Dia harus tau batasan, jangan melupakan garis yang telah Greysia pasang bagaimana pun ia hanya seorang teman dekat bagi gadis itu.
Sepeninggalnya Jayco yang langsung pergi setelah mencium dahi Greysia, sang empu pemilik dahi terbangun. Bukan, ia tak sepenuhnya tertidur semenjak di gendong oleh Jayco. Telinganya sekarang hampir merah merona seperti terbakar, sial semuanya gara-gara Jayco.
"Dasar curang, masa cium orang waktu tidur..." cicitnya sembari mengelus-elus dahinya.
Bagaimana sekarang? Sesuatu yang geli sangat terasa di perutnya. Sesuatu yang akan meledak di dadanya. Bagaimana bisa Jayco melakukan hal seperti ini? Padahal selama ini ia berusaha sebaik mungkin agar tak terlalu ketara saat berada di dekat laki-laki itu. Jika nanti suatu saat laki-laki itu bertindak seperti tadi lagi mungkin dia tak bisa menahannya lagi.
Greysia menarik selimutnya lebih tinggi hingga sebatas hidungnya, dia menatap langit-langit kamar yang berwarna putih itu. Ekspresi senang dan sedih terlihat tercampur menjadi satu pada wajahnya.
"Gue kan juga sayang....elo" ucapnya dengan nada yang memelan di akhir kalimat.