Jayco segera pamit pulang ketika Jacob berkata ingin dia segera mencari, itung-itung dia juga harus membersihkan diri sebentar karena ia sudah merasa jika badannya lengket semua. Setelah berbenah, ia mulai menarik tangga yang ada di langit-langit rumah. Begitu tangga terpasang, dia mulai memanjat keatas. Satu kata untuk menggambarkan keadaan loteng kali ini adalah kotor.
Bahkan di tempat yang gelap seperti ini pun ia bisa melihat udara yang telah terkontaminasi dengan debu-debu bertebaran di mana-mana. Seingatnya ada sebuah saklar lampu di sudut ruang namun tak tahu apa masih berfungsi atau tidak karena ia sudah lama sekali tak menapakkan kaki di loteng.
Untung saja lampu masih berfungsi untuk menerangi kegelapan loteng. Dia menutup hidungnya menggunakan kerah baju. Matanya berkeliling melihat sekitar barang kali ia menemukan kotak yang di maksud oleh Jacob tadi. Seruan wow keluar begitu dia mendapati sebuah lukisan besar yang bergambar bayi kembar, tentu saja itu pasti hasil karya kakek. Kakek mereka seorang seniman.
Dia terus mengorek, memindahkan barang-barang yang sepertinya menutupi sesuatu. Dia sedikit mengumpat akan keberadaan benda tersebut. Mari beri sedikit waktu ia berpikir dimana kemungkinan besar si bodoh itu menaruh benda keramat simpanannya di letakkan. Tak mungkin sesuatu yang tinggi karena itu bukan gaya Jacob. Atau mungkin saja kebalikannya?
Siapa yang mengira jika bocah tengik itu menyimpan benda tersebut pada sebuah kotak di dalam kotak dan kotak-kotak lainnya. Jayco terkekeh saking kecewa tak habis pikir dengan kelakuan kembarannya.
"Si bajingan itu sampai akhir masih aja" celetuknya kesal.
Sekian lama ia mencari, debu yang terus mengoyak pertahanan hidungnya akhirnya ia mendapatkan kotak yang ia maksud. Dia mengangkat kotak itu, meletakkannya pada pangkuannya. Tangannya menyeka debu yang tertempel, maksud hati hendak membuka penutup kotak namun sakunya bergetar.
Ponselnya menyala yang mengharuskan ia menunda dahulu keinginannya itu untuk melihat siapa yang menelponnya beberapa kali. Begitu ponsel pipih ia ambil dari saku, nama Papa tertera pada kaca dan segera memencet tombol hijau guna menjawab panggilan.
Sempat hening sesaat, terdengar pula suara ramai dari seberang telepon. Beberapa kali ia memanggil papa tak kunjung di balas namun pada menit berikutnya suara bariton sedikit bergetar itu mengatakan sesuatu yang tak pernah terhadapkan untuk di dengar. Sesuatu yang sangat mampu mengacau batinnya, menghancurkan hati dan perasaannya sebagai seorang kakak.
Jayco terus menolak kenyataan, dia segera berlari keluar loteng dan berangkat menuju rumah sakit sore itu juga. Kakinya dengan kuat terus menggenjot pedal sepeda tanpa henti untuk menambah kecepatan putar rodanya. Tak peduli orang-orang melihatnya yang menangis seperti orang gila, dia hanya ingin segera sampai di rumah sakit secepatnya.
Cukup lama karena jarak yang di tempuh tidak lah dekat. Papa sempat melarang, beliau akan menjemputnya nanti namun Jayco tak sabar dia tak peduli. Begitu sampai di rumah sakit, dia buru-buru menuju ruangan adiknya di rawat. Dari lorong pun sudah terdengar suara tangisan yang membuatnya terus menggeleng. Wajah yang penuh peluh keringat menatap kosong keatas brankar sang adik.
Semua alat medis yang telah di lepaskan, Bedside monitor yang tak lagi di nyalakan semakin memperjelas keadaan yang terjadi sekarang. Tidak benar, siapapun tolong katakan jika ini tidak nyata. Padahal baru tadi ia mengobrol dengan bocah itu seperti orang sehat namun apa-apaan sekarang dia malah pergi meninggalkan dirinya sendiri?
Dia berlari mendekat ke brankar, menangis sejadi-jadinya tepat di samping tubuh sang adik yang terbujur kaku tak bergerak. Dia terus berteriak tak terima akan kepergian yang terlalu tiba-tiba ini. Celine melihat itu, dia mendorong Jayco kencang hingga tersungkur di lantai ruang itu yang dingin. Dia bangun namun lagi-lagi di dorong, wanita itu seakan benci dengan keberadaan putranya.
Celine terus menyumpahi untuk tak dekat-dekat dengan Jacob. Memang ini waktu yang tepat untuk hal itu? Mereka malah bertengkar hingga tak sengaja membuat telapak tangan Jayco tergores pada ubin lantai membuatnya berdarah namun tak ada yang menyadari.
Kabar dengan cepat sampai di telinga kerabat dan juga orang-orang terdekat, begitu mengejutkan karena tak menyangka jika Jacob akan pergi secepat ini. Keluarga sangat terpukul hingga rasanya ingin menjadi gila saking mendadaknya. Suara tangis yang saling sahut menyahut memenuhi seluruh ruangan.
Jacob meninggal beberapa saat sebelum di lakukan operasi. Pihak rumah sakit saat itu sedang menyiapkan ruangan namun saat menunggu ternyata Jacob lebih dulu berpulang ke sisi Tuhan. Perjuangannya melawan kanker dalam 7 tahun terakhir ini sudah seperti mukjizat besar dari Tuhan yang di berikan pada Jacob.
Mama sangat terpukul atas kepergian Jacob. Memang dengan begini Jacob tidak lagi merasakan sakit yang dia tahan selama beberapa tahun. Jacob sekarang telah jauh lebih sehat dari orang lain sembari tertawa ceria yang belum pernah ia tampakkan. Namun kepergiannya menyisakan luka yang amat di benak mama.
Celine tumbang di tengah-tengah sesi pemakaman, saat dimana pendeta memberikan doa-doa kepada Jacob yang telah rapi di dalam sebuah peti putih dengan ornamen emas. Celine harus di bopong ke kamarnya, begitu Jayco di minta untuk membawakan obat dari tantenya dia langsung bergegas.
Sempat terdengar perdebatan sebelum akhirnya bocah itu mengetuk pintu kamar. Dia berjalan pelan begitu semua pandangan tertuju padanya yang tak tahu apa-apa. Langkahnya berhenti ketika mata telanjangnya melihat mama yang seolah menangis sembari turun dari ranjangnya. Tangannya terentang seakan-akan hendak membawanya masuk ke dalam dekapan wanita itu.
Perasaan hangat dan penuh kasih sayang yang entah kapan terakhir kali ia rasakan. Pelukan seorang ibu yang tidak ia dapatkan selama ini. Air matanya menetes begitu kepalanya di belai lembut, juga saat dimana mama memanggil-manggil anakku sayang. Kadang juga kata kasihan di susul kalimat lainnya dan jujur saja hal tersebut mampu membuat semua pertahanan yang ia bangun begitu lama menjadi rubuh hanya dengan kalimat yang keluar dari mulut mama.
Batinnya terus bertanya, patutkah jika ia bersyukur sekarang?
Apa sekarang keberadaannya sudah di akui oleh mama?
Seolah-olah dirinya di serbu oleh berbagai pertanyaan yang telah ia pendam selama ini. Sekarang tak ada lagi Jacob yang menjadi penghalangnya untuk menjadi anak kesayangan mama. Sungguh jahat sekali jika ia merasa syukur atas kepergian bocah itu. Kakak macam apa dia?
Namun semua ekspetasi yang ia rasakan tak sesuai dengan yang terjadi. Kepercayaannya lagi-lagi di hancurkan oleh orang yang sama dan sepertinya akan terus begitu. Air mata yang tadi menangis karena bahagia sekarang tak lagi keluar meski di paksa sebagai mana pun. Tangan yang membalas pelukan mama berangsur terlepas enggan memeluknya lagi.
Posisi sebagai anak tersayang mama tak akan pernah terganti selamanya. Begitu mama menyebut nama Jacob pada dirinya bukankan hal sangat pasti sudah terbaca? Sialnya bocah itu meski telah meninggal pun masih tak mengijinkan dirinya untuk merebut mama.
Jacob. Lagi-lagi Jacob yang disebut.
Dia tak tahu lagi harus marah atau mengalah. Mendengar papa marah ketika mama menganggap dia adalah sosok Jacob sudah cukup membuat ia tak bisa berkata-kata. Ketika tubuhnya terus di peluk begitu papa hendak merebut dirinya, sudah seperti sebuah boneka yang tak bernyawa pontang-panting kesana kemari.
Mama sudah gila. Jayco juga merasa dirinya akan gila menyusul mama. Sejak hari inilah nama Jacob terus menghantui dirinya kemanapun hanya karena terpukulnya mama yang belum menerima anak kesayangannya meninggalkan dirinya.
Awal dari sebuah penderitaan yang tak bisa ia katakan pada dunia sekalipun. Menjadi bayang-bayang Jacob, membuka topeng seolah tak ada yang terjadi. Umpatan terus ia berikan pada sang adik yang bahkan ia menyumpahi. Harinya akan sangat suram sekarang.