Chereads / MELANTHA / Chapter 46 - KEKACAUAN

Chapter 46 - KEKACAUAN

"Bekalnya jangan lupa di makan ya nanti. Tadi mama tambahin coklan buat cemilan makan siang" ucap Celine membantu putranya menggunakan tas.

Hari ini seminggu setelah Jacob kembali bersekolah. Badan bocah itu masih terlihat sedikit pucat namun dokter berkata tak apa malah lebih baik jika bocah itu bertemu teman-temannya asal tak terlalu kelelahan. Dari tangga, Jayco datang namun tak menghampiri mama dan adiknya. Jayco hanya melirik saja, dia masih kesal akan kejadian beberapa waktu yang lalu. Dia bahkan tak berhenti ketika namanya di panggil malah menutup pintu dengan kencang.

"Jo! Hey jangan pergi dulu, bawa adikmu berangkat bareng" kata Celine sembari menggenggam tangan Jacob.

Jayco memasang helmnya kemudian mulai mengeluarkan sepeda hijau miliknya dan hendak pergi. Dia di halangi, Celine sekarang telah bertolak pinggang menatap Jayco yang terlihat kesal entah karena alasan apa semenjak keluar dari rumah sakit.

"Bareng Jacob!" perintahnya membuat bocah itu mau tak mau memberi tumpangan adiknya.

Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir mungil Jayco meski sang adik terus mengajaknya bicara. Jayco sudah kesal malah makin kesal apalagi mengingat jika hanya bocah di belakangnya saja yang di bawakan bekal oleh mama. Sekolah masih berjarak beberapa meter lagi namun semakin membuat Jayco tak sanggup menahan kekesalan pada dirinya sendiri.

Tuas rem di tarik lalu sepeda itupun berhenti. Dia menoleh ke belakang. "Turun" suruhnya.

Tentu saja Jacob masih loading dengan apa yang di katakan oleh kakaknya itu seakan sebuah tanda tanya muncul tepat di atas kepalanya begitu saja, "Hah?" ucapnya reflek.

"Aku bilang turun!" ulangnya.

Jacob pun menurut, "Tapi kenapa? Kan belum sampai sekolah" tanyanya bingung.

"Kamu jalan kaki saja, aku kesal sekali sama kamu"

"Tapi kan bus nya sudah lewat"

"Memangnya itu urusanku? Kalau saja dari tadi kamu cepat berkemas kita tidak akan ketinggalan bus dan aku tidak menboncengkan kamu"

"Tapi mama bilang aku harus bareng kamu"

"Aduhh.. Mama lagi mama lagi. Kamu tahu seberapa tidak sukanya aku sama mama. Apa-apa kamu, semuanya kamu, lihat tadi pagi cuma kamu kan yang mama bawakan bekal? Memangnya aku ini siapa? Aku yang duluan keluar daripada kamu kenapa aku yang selalu mengalah sama kamu? Harusnya kamu sebagai adik ngalah untuk kakak. Aku ini juga anak mama bukan anak buangan yang di pungut sama mama karena kasihan"

"Jo kamu marah? Aku bisa berbagi bekalnya kok kalau kamu mau"

"Tidak usah! Aku tidak mau!" teriak bocah itu kemudian kembali mengayuh pedal sepedanya meninggalkan Jacob di pinggir jalan.

———

Seiring berjalannya waktu mereka kini telah bertumbuh menjadi anak remaja. Anak-anak yang semakin sibuk bermain dengan teman-temannya dan kegiatan sekolah manjadikan mereka memiliki waktu yang sedikit untuk berasa di rumah. Mereka semakin jauh, si kembar yang seharusnya selalu dekat satu sama lain namun kali ini seperti orang asing jika bertemu. Tak ada kalimat sapaan yang keluar dari mulut Jayco. Remaja itu semakin dingin seakan tak peduli dengan keluarga.

Saat di rumah ia hanya tidur, bahkan itupun hampir jarang Jayco tidur di rumah, malah kebanyakan menginap di rumah teman. Untuk makan pun kalau tidak ada paksaan dari sang ayah, dia tidak akan makan bersama memilih untuk makan di luar. Dia mulai mengerti jika dirinya tidak di harapkan seperti sang adik. Kehadirannya saja tak terlalu berpengaruh apa-apa dalam keluarga itu.

Begitu pun Jacob. Laki-laki itu semakin sering keluar masuk rumah sakit karena kesehatannya kian drop. Rambutnya rontok karena efek kemoterapi menjadikan dirinya harus mengenai kupluk untuk menutupi. Dia kadang ke sekolah hanya untuk mengisi daftar hadir kemudian akan pulang di pertengahan hari jika tak mampu. Meski begitu, Jacob tak satu angkatan dengan kakaknya.

Padahal mereka satu sekolah namun apa sesulit itu untuk sekedar berpapasan dengan saudaranya? Apa benar jika mereka satu gedung?

Meski ia akan menghampiri ke kelas Jayco ketika istirahat tiba namun bocah itu tak ada di kelasnya. Padahal dia selalu secepat mungkin untuk menghampiri namun selalu saja kecolongan yang berakhir sia-sia. Dan jujur saja entah sejak kapan orang-orang di sekolah mulai menatap dirinya tak suka entah hanya perasaannya atau tidak.

Setiap mata selalu menatapnya rendah ketika ia berjalan di lorong sekolah, dan saat melewatinya akan ada sebuah bisik-bisik deselingi tawa candaan seakan mengejek dirinya. Padahal dia tak terlalu kenal banyak orang karena sering tak masuk namun kenapa mereka seenaknya menilai dia dan mengganggunya?

Jacob menarik cardigannya sembari menambah kecepatan berjalannya untuk segera pergi. Dia harus turun ke lantai bawah melewati tangga untuk menuju lantai kelas VIII. Bagitu dia berbelok menuju tangga, kakinya di jegal hingga ia terjatuh dari tangga atas hingga di bawahnya. Orang-orang menertawainya tak ada satupun yang berniat untuk mengulurkan tangan untuk dirinya.

Meski tidak terbilang tinggi namun cukup untuk membuat badannya sakit semua dan mungkin saja malam nanti akan ada bekas membiru karena benturan. Gelak tawa tak kunjung mereda, mereka mencemohnya seperti orang bodoh yang memang pantas untuk menjadi aebuah tontonan gratis bagi siapa saja.

"Wow what is that? Seems fun?" ucap seorang laki-laki bermanik abu sembari mengunyah permen karet di mulutnya.

Teman di sebelahnya menoleh, "Want to see? It's so crowded that it's blocking the way to the top floor" katanya sembari menatap Jayco di sebelahnya.

Mereka itu kakak kelas yang sebentar lagi akan lulus dari Junior High School. Apalagi dengan pawakan mereka yang keren saat bermain basket membuat tiga orang itu menjadi center di tim sekolah. Mereka bertiga berjalan mendekat saat kemudian orang-orang mulai menbukakan jalan untuk melihat jauh lebih dekat apa yang sedang di tertawakan orang-orang.

Jika di lihat-lihat ketika mereka datang, semuanya langsung terdiam malah seakan berangsur pergi ketakutan. Max si laki-laki bule mata abu itu menyadari suasana itu kemudian berkata untuk tak ada satupun yang mengangkat kaki dari tempat mereka berdiri membuat yang lain menurut.

Begitu mata telanjang mereka dapat melihat titik pusat keramaian, saat itu pula dengan kompak mengumpat satu sama lain. Bahkan permen yang di kunyah Max ikut terlepeh saking kagetnya. Sekarang barulah ia sadari mengapa orang-orang tolol itu langsung kicep begitu mereka datang.

"Shit..." umpat Max dan Egypt bebarengan.

"BASTARD, WHO DID THIS TO HIM? HA?!!" amuk Jayco menatap nyalang pada mereka.

Jacob menahan lengan kakaknya sembari menggeleng, "Cukup, aku gak papa jangan di teruskan" ujarnya.

Jayco menangkis tangannya, "Why are you silent? Want to be a coward who only dares to annoy one sick person?"

"What is wrong? It was his own fault that he knew he was sick, why did he still dare to come to school? Just get infected!" sahut seseorang berdiri di lantai atas kemudian di setujui anak-anak yang lain.

Jayco terkekeh kesal, matanya seakan terlihat nyalanya api yang siap membakar siapa saja yang ada di dekatnya. Ada satu hal yang perlu mereka ingat lagi jika Jayco itu bocah paling nakal di angkatannya.

"What did you say? Try repeating it again, it looks like my ears are stuck because they are rarely cleaned"

Laki-laki tadi sedikit mundur hingga menabrak teman-temannya yang ada di belakang, "W-what? What are you doing here?" tanyanya gugup setengah mati.

Jayco tersenyum manis sembari menggeleng. Tangannya terangkat mengelus kepala laki-laki di hadapannya kini. Sedikit lebih pendek membuat dirinya harus agak menunduk agar sejajar dengan wajah laki-laki itu. Terdengar helaan lega karena tak ada yang terjadi seperti yang mereka kira. Seakan gertakan tadi hanya sebuah ancaman belaka untuk menakut-nakuti saja.

Namun jika seseorang hafal betul dengan semua adegan yang sering muncul movie thriller sebagai seorang antagonis, mereka akan tahu jika senyum yang di tunjukkan oleh Jayco adalah sebuah sambutan untuk hal kejam yang akan terjadi setelahnya.

Benar saja, tak sempat di cegah telah terlambat. Dentuman keras begitu nyaring di lorong tangga. Jantung mereka kian memacu hingga sebuat jeritan ketakutan terdengar saling sahut menyahut sekan tak boleh berhenti jika tak ada yang mencapai nada tertinggi sebuah teriakan. Jejak darah nampak di sebuah dinding bercat putih. Warna merah segar serta bau anyir itu mengalir kebawah entah pada tembok ataupun dahi sang pemilik.

Jayco dengan kejam membenturkan kepala temannya ke tembok dengan sangat keras. Tak hanya di situ, dia sedikit tertawa menatap laki-laki tadi bergerak mundur sembari menangis takut. Jayco melangkah, menduduki badan laki-laki itu sembari mencengkeram kerah seragam yang dia kenakan.

Satu.

Dua.

Tiga.

Bogeman mentah terus ia layangkan tanpa ampun. Memangnya siapa bajingan ini hingga berani-beraninya menghina adiknya dengan mulut sampah seperti itu?

"Brengsek, bahkan seumur hidup aku tidak pernah menghina Jacob seperti yang kamu lakukan!" kata Jayco setiap kata satu pukulan.

Jayco di tarik mundur. Keadaan kacau sekali dan sebaiknya Max dan Egypt harus cepat menghentikan kekacauan ini sebelum makin parah.

"Hey, man, stop. Stop it!" teriak Egypt kesal menahan tenaga Jayco yang sangat kuat.

Max menoleh, berteriak kepada kembaran temannya agar dapat membantu menenangkan Jayco namun tak ada gunanya. Malah Jacob sudah tergeletak di lantai dengan darah keluar sangat banyak dari hidungnya. Sial.

"Jo stop! Look! Jacob passed out!" teriaknya membuat Jayco terhenti dan langsung menoleh ke bawah.

Benar saja, Jacob telah tak sadarkan diri. Wajahnya pucat pasi dan dingin. Bagaimana ini?

"Please... Call an ambulance quickly!" perintahnya.

"NOW!"