Chereads / MELANTHA / Chapter 47 - PERTEMUAN TERAKHIR

Chapter 47 - PERTEMUAN TERAKHIR

Entah bagaimana bisa musibah datang berturut-turut seperti ini. Brankar di dorong dengan cepat begitu ambulan sampai di depan pintu IGD dan langsung di tangani oleh beberapa dokter untuk pertolongan secepatnya. Darah yang masih tak kunjung berhenti bisa menjadikan tanda hal buruk terjadi pada Jacob yang sedari tadi tak kunjung sadarkan diri. Entah kain kasa habis untuk menggelap darah yang terus menetes.

Mama, dan adik papa setia menunggu dengan penuh cemas di depan ruang IGD. Mungkin saja ini telah kesekian kali mama terus menitihkan air mata karena putra kesayangannya terlihat sangat sekarat. Kondisinya sangat tidak baik,bulan-bulan ini Jacob terus drop karena kanker kian menyebar luas pada otaknya. Jika kalian tanya kenapa tidak di operasi saja? Maka jawabannya sudah.

Baik keluarga maupun dokter telah setuju di lakukannya operasi, namun hanya sekali sekitar 2 tahun yang lalu. Namun hanya bertahan beberapa saat saja. Setelah hampir setengah tahun, efek kanker itu muncul kembali. Jacob kembali mimisan setiap saat tanpa henti. Saat di periksa ternyata kanker itu muncul lagi dengan bibit yang lebih jahat dan cepat.

Semuanya saling menguatkan, kabar ini pun telah sampai di telinga sanak saudara yang berbondong-bondong mendoakan untuk kesembuhan bocah itu. Sungguh malang sekali nasibnya. Dokter berkata jika tak ada perkembangan ke arah yang lebih baik, mereka harus melakukan tindak lanjut mengoperasi Jacob untuk kedua kalinya.

Berbeda dengan tempat lain, di kantor polisi setiap orang yang terlibat akan pertengkaran tadi di giring dan di periksa sesuai hukum. Memang umur mereka masih belia belum mencapai usia legal namum tindakan yang di lakukan Jayco sudah cukup sebagai tindak kekerasan anak remaja.

Sudah sejak sejam yang lalu pemeriksaan tak kunjung usai. Berbagai rentetan pertanyaan terus di hujankan kepada Jayco yang terduduk di kursi hadapan polisi. Sedangkan si korban masih menjalani perawatan di rumah sakit karena ada sedikit keretakan kecil pada tempurung otak akibat benturan yang di lakukan oleh Jayco.

Ayah korban terus memaki bocah itu dengan ribuan sumpah serapah yang tak patut keluar dari mulut seorang orang tua. Lionel sempat beradu mulut tak terima putranya di pisuhi seperti itu. Ujung-ujungnya malah terjadi keributan lagi di kantor polisi dan harus di tenangkan oleh para polisi yang ada di sana.

Tentu saja Jayco menerima semua tuduhan yang di berikan padanya karena memang semuanya fakta dan tak ada yang salah dengan itu. Dia hanya diam, jujur saja pikirannya melayang ke sang adik. Pada beberapa saat tertentu tiba-tiba Jayco menendang mundur kursinya hingga terjungkal ke belakang mengenaskan. Dia tersinggung dengan apa yang di omongkan polisi di hadapannya ini.

Korban katanya? Sial. Memangnya siapa korban di sini? Jacob lah korban satu-satunya atas kasus ini bukan si bajingan yang pura-pura terkapar di rumah sakit. Untung saja dia tak membunuh bocah itu malah memberikan kesempatan agar bisa mengucapkan maaf kepada adiknya. Tapi apa ini?

Lalu apa yang salah jika seorang siswa yang cuti sekolah untuk menjalani pengobatan kembali masuk sekolah lagi? Dia pikir sekolah itu milik pribadi satu murid saja? Meski jarang masuk begitu, Jacob juga murid disana dan dia sekolah tidak gratisan. Orang tuanya juga membayar uang pendidikan di sekolah itu.

Jayco mengambil vas kecil yang ada di meja hendak ia lemparkan pada polisi tengik itu namun lagi-lagi ia di halangi. Lionel memeluk putranya yang tampak kolot. Astaga menurun siapa sifat bocah ini?

Lionel saja kewalahan bagaimana teman-temannya tadi?

Dengan paksa dia membuka cengkraman tangan bocah itu pada vas bunga. Maksudnya ia akan mengambil benda keramat tersebut dan membuangnya jauh-jauh daripada kekacauan lain makin bertambah. Yang ini saja belum selesai jadi tidak boleh ada tambahan lagi.

Jayco terus berteriak minta di lepaskan, kakinya mencak-mencak ingin sekali mencakar wajah orang yang sedang ia tatap. Para polisi dan ayah korban berseru pusing. Jayco sudah seperti hewan liar yang lepas ingin mencabik mangsanya.

Tak berjalan lancar, sepertinya pemeriksaan hari ini akan di hentikan segera. Jayco akan mendapatkan hukuman tambahan karena sikapnya yang begajulan berani dengan polisi. Namun polisi yang tadi memancing amarah Jayco juga minta maaf. Beliau tiba-tiba sadar kenapa Jayco hampir saja memberikan tanda pada dahinya karena dia memang kelewatan atas berucap, memang tak sepatutnya ia sebagai pihak berwenang bisa berbicara secara lancang.

Meski tak di terima dengan ikhlas dan mendapatkan tatapan tajam, polisi itu memberikan coklat sebagai permintaan maaf. Di terima memang, namun begitu keluar dari kantor polisi, coklat tadi ia buang ke tempat sampah. Siapa yang sudi dengan coklat murahan seperti itu? Kalau niat minta maaf harusnya lebih mahal lagi. Memang polisi hanya di bayar 5 dolar setahun? Sial.

Dalam mobil, Jayco memilih untuk diam menatap keluar jendela tak menggubris papanya yang terus mengajaknya bicara. Lionel menjelaskan secara rinci apa yang akan Jayco lakukan mulai dari pemeriksaan, sidang, dan hukuman. Semuanya jelas meski tak di jawab sama sekali. Dia bingung antara ingin mengomeli juga atau tidak, namun sepertinya situasi akan makin buruk jika ia ikut marah.

Tujan mereka sekarang hanya ke rumah sakit. Jacob akan di operasi 3 jam lagi dan mereka harus segera sampai di sana. Begitu sampai, pandangan sinis tampak tertuju pada Jayco yang tampak santai saja setelah hampir membuat anak orang mati. Bocah SMP itu sudah seperti anak SMA saja dengan perawakan yang tinggi dan sedikit macho.

Seorang suster keluar, berkata jika Jacob telah sadarkan diri membuat semuanya sedikit bisa bernapas lega. Kalimat selanjutnya suster itu bilang jika pasien ingin bertemu saudaranya dan hanya Jayco saja yang di bolehkan Jacob untuk masuk. Wah membuat jantungnya sedikit berpacu memikirkan apa yang nanti akan Jacob katakan padanya.

Di dalam sana ia masuk dengan pakaian medis karena seragamnya yang kotor dan memang ia belum sempat pulang. Dia melihat Jacob yang terbaring lemas mengenakan pakaian rumah sakit dengan Nasal Oxygen Cannula terpasang di hidung mancung bocah itu. Wajahnya sangat pucat, jujur saja Jayco sedikit ngeri.

Jacob tersenyum lemah, matanya menatap sayu. Mungkin karena ini pertemuan dua mata pertama kalinya setelah sekian lama. Mungkin terakhir kali saat mereka umur 8 tahun. Setelah itu Jayco benar-benar mendiamkan semua keluarganya tanpa terkecuali dan secara tidak langsung pindah tinggal di rumah nenek dan jarang pulang ke rumah.

Jayco duduk di samping brankar, menatap lawan bicaranya tanpa membuka mulut secenti pun. Saat melihat tangan Jacob terangkat hendak menggenggam tangannya langsung ia hentikan dan ganti ia yang menggenggam tangan adiknya itu. Sungguh mengejutkan betapa dingin dan lemasnya telapak tangan Jacob membuat Jayco sedikit terkejut namun tak ketara.

Mereka mulai berbicara, pertama-tama adalah sebuah kalimat permintaan maaf karena membuat Jayco merasa di asingkan di keluarga. Meminta maaf karena Jayco harus sering mengalah hanya karena dirinya. Maaf yang membuat sebuah titik air mata menetes dan terjun bebas dari bendungannya. Hanya satu makna namun sangat terasa sakit di hatinya.

Jayco pun membalas, dia juga banyak bersalah pada Jacob. Dia sering mengabaikan kembarannya itu padahal hanya dia saudara satu-satunya yang bocah itu punya namun ia telah berbuat jahat hingga seperti ini. Semua terjadi memang karenanya. Kalau saja ia tak merasa iri, lebih bersabar dan memahami posisi Jacob, mungkin Jacob akan lebih sehat dari sekarang.

Ini memang salahnya.

Tak ingin larut, Jacob pun mengganti topik pembicaraan. Dia mulai membahas teman masa kecilnya yang tak bisa ia lupakan. Memang sih temannya itu satu-satunya teman yang Jacob punya. Seakan tanpa beban, Jacob bercerita dengan penuh rasa senang. Wajahnya berseri saking senangnya meski pucat tak menghalang kegembiraan itu.

Bercerita dari mulai awal bertemu yang selalu menolak akan kehadirannya padahal pada akhirnya mereka malah berteman dekat. Mungkin saja jika ia tak sakit dan harus pindah ke Kanada palingan mereka masih berteman hingga saat ini. Sayangnya, dia pergi tanpa pamit sehingga tak bisa menemui dia untuk terakhir kalinya.

Jacob menggenggam tangan kakaknya. Tatapan matanya yang sayu itu memandang redup. Dengan suara yang hampir tak terdengar jelas bocah itu mengucapkan sebuah kalimat maaf atas segala kesalahan dirinya karena membuat Jayco harus mengalah dan merasa tak adil dalam keluarga. Jayco sendiri membantah, dia mengatakan sekali lagi jika itu bukan salahnya.

Jayco sendiri merasa kesal jika adiknya terus saja meminta maaf seakan-akan hari ini adalah pertemuan terakhir mereka. Dan jika ia mungkin dirinya akan memberi diri sendiri untuk waktu yang lama. Saat Jayco terus mengomel, Jacob memotong kata bocah itu. Tersenyum tipis namun terlihat menyayat hati.

Bibirnya terbuka, berpesan untuk tak membenci orang tua mereka dan untuk lebih bersikap lapang dada memaafkan semua perbuatan mereka. Jujur saja berat karena ia telah merasakannya sejak kecil namun bagaimana lagi itu permintaan sang adik yang tidak bisa ia tolak.

Dan, satu hal lagi yang cukup membuatnya kebingungan. Mencari keberadaan teman kecil Jacob? Jadi maksudnya dia harus kembali ke Indonesia untuk menemukannya? Sungguh permintaan yang cukup mempu membuatnya terdiam tak bisa berkata-kata. Memangnya anak itu masih di Indonesia? Kalau tidak apa iya dia harus berkeliling dunia yang besar ini untuk menemukannya?

Jacob menjelaskan singkat tentang tempat yang kemungkinan sebagai petunjuk keberadaan gadis itu. Sebenarnya dia sempat menolak namun Jacob terus memohon. Lagi-lagi dia mengalah. Dan perkataan terakhir yang Jacob ucapkan adalah sebuah kotak abu yang ia simpan di loteng rumah.