"Gimana, bagus gak? Eh berlebihan gak sih kalau cuma dinner doang?" tanya Greysia sekali lagi mengoreksi penampilannya.
Mereka sekarang berada di depan pintu kediaman Mamanya Jayco sejak beberapa menit yang lalu. Jo memperhatikan sosok Greysia, menilai mulai ujung kepala hingga kaki dan menurutnya tak ada yang salah dengan penampilan gadis itu.
"Oke aja kok. Cantik" ucapnya.
"Ih serius, udah lama banget gak kesini" kata Greysia.
Jo gemas, laki-laki itu menangkup wajah gadis itu agar pandangan mereka saling bertemu.
"Percaya! Kamu selalu cantik dengan apapun" ujarnya sedikit menekankan kalimatnya.
Greysia mengangguk, sekali lagi ia merapihkan rambutnya sebelum mereka masuk kedalam rumah. Rasanya bukan seperti ingin menemui calon mertua untuk pertama kali karena anak mereka membawa kandidat menantu untuk di perkenalkan. Namun ini karena kejadian sebelumnya yang membuat Greysia merasa gugup sekali. Bagaimanapun ia hanya orang luar yang tak sengaja menyaksikan kejadian yang mungkin telah keluarga Jo tutup rapat-rapat.
Rasa tak enak masih terus mengganjal, itulah sebab ia tak mampir ke rumah Jo setelah saat itu. Jantungnya terus berdetak karena ia masih hidup, tentu saja kalau tidak berdetak ia tak akan ada di sini malahan sudah terkubur di gundukan tanah.
Dia melihat sekeliling sembari mengikuti Jayco di sampingnya. Mereka sampai di dapur, dimana Tante Celine sedang menyiapkan makanan untuk dinner nanti. Dinner biasa yang di adakan di rumah hanya untuk menjalin hubungan menjadi lebih hangat. Wanita itu sibuk menyiapkan makanan yang masih kurang, sedangkan di meja makan sendiri telah tertata rapi piring dan teman-temannya yang penuh dengan masakan.
Jayco meletakkan papper bag dari Greysia ke salah satu kursi, Celine menyadari kedatangan putranya lalu menoleh sejenak setelahnya melepaskan apron untuk menyambut kedatangan Jo dan Greysia. Dengan wajah gembira serta sapaan hangat terasa jika Celine amat menyayangi putranya ini.
"Oh sweetheart~" ujarnya menyambut Jo kedalam pelukannya.
"Hai mommy.. Im miss you so bad" balas Jo mencium dahi mamanya.
"Miss you too darling" balas Celine.
Greysia masih diam menunggu giliran sampai saat Celine menoleh padanya. Dan tak lama setelah itu Celine melihat kearahnya, dengan senyum hangat yang tak jauh beda ia berikan kepada putranya. Wanita itu menghampirinya, merentangkan tangannya memeluk Greysia rindu.
"Greysia~ tante kangen banget" kata beliau.
Greysia membalas pelukan wanita tersebut, "Aku juga, maaf ya tante jarang main ke sini" ujarnya.
"Gapapa kok, tapi besok-besok sering main ke sini. Tante kesepian gak ada temennya huhuhu"
"Hahaha iya aku bakal sering main ke sini kok. Tante kabarnya gimana?"
"Seperti yang kamu lihat. Sehat luar biasa, kamu? Sekolahnya lancar?"
"Baik kok. Cuma belakang ini ada ya—problem pubernya temen-temen, gitu"
"Awwww~ sini-sini peluk dulu" kemudian mereka saling berpelukan kembali.
"Papa mana, Mom?" tanya Jo karena sedari tadi tak mendapati keberadaan papanya.
Lalu dari belakang punggung Jo, papanya menyahuti dengan suara yang tenang namun berat membuat Jo dan yang lain menoleh ke sumber suara.
"Kenapa? Kangen papa?" ucap Lionel.
Jo berhambur memeluk papanya, "Enggak, tapi kangen juga"
"Apa kabar, Pa?" imbuhnya.
Lionel membalas pelukan putranya, "Tuhan masih memberkati papa"
"Om" sebut Greysia bergantian memeluk pria bule itu.
Dinner akan berlangsung setelah Magrib usai, mereka begitu karena menghormati Greysia yang seorang muslim untuk terlebih dahulu melaksanakan ibadah. Jayco mengantarkan gadis itu ke sebuah masjid dekat perumahan, dan dia hanya menunggu di parkiran sembari memainkan ponsel. Setelah shalat, mereka kembali ke rumah orang tua Jayco untuk melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.
Mereka berkumpul di ruang makan, saling melempar cerita di selingi tawa tiap orang. Ada satu hal yang ia syukur mengenal keluarga Jo dan dapat bergabung di antara mereka. Kehangatan yang tak ia dapat di keluarganya sendiri. Greysia nyaman berada di sekitar mereka, ia merasakan memiliki orang tua yang utuh. Sosok yang mendengarkan ceritanya, memberinya saran, bahkan tak memaksa hal-hal yang perlu ia lakukan dan tak boleh di lakukan.
"Jacob kamu gak nyusahin Greysia kan?" hardik Celine pada putranya.
"Enggak dong, malahan Greysia yang sukanya bikin repot aku" balas Jayco.
Greysia melotot tajam seakan bola matanya akan mengeluarkan sebuah leser untuk membolongi dahi laki-laki yang duduk di sampingnya kini, "Enak aja!" ujarnya protes, "Gak, Tan, bohong. Justru si dia nih nyusahin. Tiap hari ganggu terus, nakal banget tapi untung aja ya Tan aku ini orangnya sabar jadi gak mau bales" ucapnya pada Tante Celine.
"Halah-halah bullshit. Mana sih kok aku gak tahu letak kesabaran kamu" ejek Jayco.
"Tuh! Tuh! Ngeselin banget!" rajuk Greysia membuat dua orang tua Jayco tertawa melihat tingkah dua remaja tersebut.
"Dia emang gitu, Grey, Om saja sampai capek buat negur dia. Kalau dulu di Kanada juga selalu bikin tingkah" bela Lionel.
Lalu Greysia meledek Jayco dengan menjulurkan lidah karena ia mendapat sekutu untuk menyerang laki-laki itu. Setelah dinner selesai, Greysia membantu Celine untuk membersihkan peralatan makan yang kotor. Mereka sibuk berkemas di dapur sembari bercerita sedangkan para lelaki sepertinya berada di ruang tamu mengobrolkan sesuatu yang berhubungan dengan dunia lelaki.
Greysia membuang sisa makanan ke kantong plastik, lalu mengelap meja agar bersih dari noda makanan yang tak sengaja menetes sewaktu makan. Dia ngikat kantung plastik setelah selesai, mendekati Celine sembari mencari pekerjaan apa yang masih belum selesai dan dapat ia bantu agar cepat terselesaikan.
"Ada lagi, Tan?" tanya gadis itu.
Celine menoleh, "Udah deh kayanya ya, kamu ikut sana sama Om dan Jacob nanti biar Tante yang beresin sisanya" ucapnya.
"Eh enggak bisa gitu, aku bantu Tante dulu nanti kita kesananya bareng-bareng"
"Hahaha iya deh sebentar ya" kata Celine menyelesaikan sesi menyuci piring kotor.
Greysia bersandar pada meja dapur yang ada di tengah, menatap punggung wanita itu. "Jacob... Orangnya seperti apa, Tan?" tanya gadis itu sedikit ragu.
"Jacob? Kenapa tiba-tiba tanya hal seperti itu?"
"Penasaran aja"
Celine tersenyum, "Jacob itu anak tante paling baik. Paling tante sayang. Soalnya anak tante itu kan kembar, diantara mereka berdua cuma Jacob yang paling nurut sedangkan satunya lagi ampun deh bikin darah naik terus"
"Oh iya kalian katanya dulu ketemu di pinggiran hutan ya? Jacob bilang dia jatuh pohon terus kamu bantu obatin lukanya, tante dulu kaget loh dia pulang-pulang lecet semua. Pas tante tanyain katanya Jo nyuruh adeknya manjat buat ambil layangan yang kesangkut. Layangannya dapet eh di tinggalin. Ngomong-ngomong makasih ya udah bantuin Jacob, meski udah telat ngucapinnya hahaha"
Greysia hanya tersenyum saja.
"Dulu dia sempet kritis karena penyakit yang ia derita. Hidupnya cuma sekedar keluar masuk rumah sakit. Sekolah pun kayaknya gak ada setahun karena tiba-tiba dia drop itu sekitar umur 12 atau 13 ya? Sebenarnya tante kasihan, dan sakit liat anak tante harus berjuang melawan penyakitnya di usia segitu. Kalau boleh di tukar, mending tante aja yang gantiin posisi dia tapi syukur Jacob bisa sembuh dari semua itu. Dan sekarang lihat, ganteng, tinggi, sehat lagi, pinter, baik, apa-apa bisa di lakuin sendiri sejak sembuh. Tante bangga banget" ucap Celine memancarkan binar bangga sebagai seorang ibu dan sangat berbeda dengan yang Greysia tahu sekarang.
"Oh kamu udah ketemu belum sama anak tante satunya?" tanya Celine.
Ragu, bagaimana ia akan menjawab? Iya? Atau tidak?. Di mata beliau Jayco adalah Jacob, apa ia harus mengatakan tidak dan menyesuaikan sudut pandang dari Tante Celine? Tapi bagaimana dengan Jayco? Apa dia akan terus mengalah seperti ini? Hanya dengan pertanyaan simpel seperti itu saja sudah dapat meremas hatinya karena tak tahan, kalau saja ia bisa berteriak dengan gamblang ia akan memberitahu jika anak yang selalu di sisinya itu adalah Jayco bukan Jacob.
Greysia menggeleng, "B-belum. Tapi sama seperti Jacob ya kan kembar?" katanya sedikit gugup.
Celine berdecih, agaknya wanita itu tak suka mendengar perkataan Greysia yang menyamakan kedua putranya. "Mereka itu beda, mukanya saja yang sama tapi kepribadiannya jungkir balik. Huh tante sampai bingung kenapa dia punya sikap berandal seperti itu. Sukanya nyusahin orang tuanya saja. Tante gak suka. Dari kecil sampai besar tahunya cuma main, main, dan main. Lihat saja nilainya gak ada yang benar, merah semua bikin malu. Padahal dia itu kakak bukannya ngasih contoh yang baik ke adeknya. Sikap gak ada sopan satun sama sekali. Dia itu gak pernah pulang kerumah, tiap pulang cuma tidur doang terus main lagi"
"Tante tuh udah capek ngomongin terus tapi gak pernah di dengerin sama dia. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan, mending punya anak satu aja nurut, baiknya minta ampun daripada dua yang satunya bikin pusing tujuh keliling. Amit-amit deh kalau kamu ketemu sama si Jo, dia di Kanada gak mungkin ke Indonesia. Buat apa toh?"
Tangan Greysia mengepal kuat, rahangnya mengeras menahan emosi. Apa hal seperti itu pantas dikeluarkan dari murut seorang ibu pada anaknya sendiri? Sebegitu burukkah Jayco di kata ibunya sendiri sampai-sampai beliau dengan mudah mencemooh sosok Jayco yang selama ini rela mengenyampingkan identitasnya sendiri demi beliau? Mau bagaimana pun juga Tante Celine tak pantas membicarakan hal itu.
"Tante apa gak salah ngomong hal seperti itu?" tanya Greysia dengan nada tertahan.
Celine bingung, "Ada apa? Tidak ada yang salah kok, toh memang itu yang sebenarnya. Jo itu nakal, gak pantas di bilang sebagai anak, brandalan, susah di atur, sikapnya itu yang bikin semua orang gak suka dengan dia, apa-apa harus sesuai ke—"
"Tante stop! Berhenti menjelek-jelekkan Jo seperti itu. Bagaimanapun dia tetap anak tante, anak kandung tante!" kesal Greysia memotong omongan wanita itu.
"Greysia kenapa?" tanya Celine.
"Harusnya tante sebagai ibu malu dengan sikap seperti itu. Aku yang bukan keluarga ini, sakit dengernya. Semua orang berkorban banyak buat tante, bahkan ada yang harus mengenyampingkan dirinya sendiri buat tante. Tapi tante gak tahu apa-apa. Bahkan belajar ikhlas aja masih sulit sampai seseorang berharap sebuah pengakuan dari tante"
"Aku juga seorang anak, aku paham betul apa yang orang itu rasain. Nyatanya perusak mental anak paling utama adalah keluarganya sendiri, terus kita harus apa kalau gak di akuin oleh orang tua kita? Ngadu kemana? Gak ada, Tan, bahkan keluarga yang selalu di anggap sebagai rumah untuk pulang aja malah bikin kita sakit"
"Grey... Kenapa tiba-tiba gini?" tanya Celine khawatir, dia mendekati Greysia hendak menghapus air mata gadis itu namun Greysia menghindari dan menjauh.
Greysia menghapus kasar air matanya, memandang Celine kecewa. Gadis itu menggeleng kemudian berjalan cepat meninggalkan dapur untuk segera pulang. Di ruang tamu dia di cegat oleh Lionel dan Jayco yang kebingungan melihat dirinya keluar dapur dengan menangis. Jayco menghentikan dirinya namun Greysia melepas genggaman laki-laki itu.
"Hei kenapa?" tanya Jayco khawatir.
Dari belakang, Celine menyusul dengan masih menggunakan celemek yang belum sempat ia lepas. Lionel menanyakan hal yang terjadi namun Greysia buru-buru untuk pulang. Dia harus pulang, perasaannya kacau tak bisa jika harus tinggal lebih lama lagi.
"Maaf om aku pulang dulu" pamitnya lalu pergi keluar di susul Jayco yang mengejarnya.