"Jo!" panggil seseorang dari pinggir lapangan.
Pagi itu saat dimana salah satu kelas telah menyelesaikan pelajaran olahraga. Beberapa telah membubarkan diri entah itu kembali ke kelas atau pergi ke kantin sekolah. Masih banyak waktu sebelum bel berbunyi pertanda pergantian mata pelajaran, dan di lapangan basket masih banyak murid laki-laki bermain basket.
Satu lemparan lagi mereka akan menang jika bola terakhir masuk kedalam ring, bola di oper dan berhasil di tangkap oleh Jayco. Remaja itu mulai menggiring bola, memantul-mantulkan sembari menghidar dari serangan tim lawan. Dengan satu lagi hentakan pada kaki membuat tubuhnya melompat tinggi, ia masukkan bola kedalam ring dan berhasil.
Tim mereka bersorak kemenangan. Meski hanya bermain biasa namun apa bedanya? Menang tetaplah menang.
"WOI JO!" teriakan itu lagi.
Jayco menoleh, dia berlari kecil menghampiri seseorang yang memanggilnya sedari tadi. Keringat masih menetes bahkan setengah rambutnya kini sudah basah. Jayco menaikan kedua alisnya bertanya kepada laki-laki di hadapannya.
"Gapapa sih, udah? Ke kantin yok laper gua"
Jayco terkekeh mendengarnya, "Udah, kirain apa" balasnya.
"Duluan ya" teriaknya pada teman-teman sekelasnya.
"Oke-oke" jawab mereka.
Jayco dan temannya tadi pergi pergi bersama-sama menuju kantin. Tak banyak murid yang berada di luar kelas membuat lorong sekolah menjadi sepi. Letak kantin tak jauh dari lapangan jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk perjalanan ke sana. Di kantin sudah ada beberapa siswa dan salah tiga dari orang-orang itu adalah teman-teman Jayco semenjak masuk di sekolah ini.
"Oi" sapa dua laki-laki tadi dan ikut bergabung dengan yang lain.
"Udah cabut aja lu bertiga" ucap Jayco.
"Jamkos sih, tapi si Predi tadi nyalin tugasnya si Caca yaudah gua tinggal" ujar Miko sembari mengunyah kuaci.
"Lah katanya lu pada jamkos" ucap Jayco.
Predi meneguk botol minuman yang telah kandas menyusahkan setengah, "Buat nanti. Gue lupa lagi kalo ada tugas untung aja si Caca baik mau berbagi"
"Jarang-jarang itu mah" balas Bima.
Miko sekilas memperhatikan wajah Jayco dengan seksama. Meski wajah temannya itu masih terlihat basah karena keringat namun seperti ada yang aneh dengannya.
"Muke lo kenapa dah?" tanyanya.
Jayco bingung lalu mengusap wajahnya, "Kenapa? Ada kegantengan ya disini?" jawabnya membuat teman-temannya menabok bahunya keras.
"Anjing" umpat Predi dan Bima.
Miko berdecak namun sedetik kemudian mengangguk, "Bener tapi ngeselin" ucapnya, "Gak, beneran gua. Muka lu pucet amat apa emang lu yang keputihan? Salah gak sih gue?" ujarnya meminta pendapat teman-temannya.
"Masa?" tanya Jayco mulai membuka camera pada ponsel miliknya.
Bima dan Predi mengangguk setuju.
"Bener, pucet sih tapi gak terlalu" imbuh Bima.
"Sakit lo?" tanya Predi.
Jayco menoleh, "Iya juga kata Miko. Masa gue sakit?" pertanyaan konyol.
"Lah mana tau orang badan-badan lu anjir" sewot Bima.
"Palingan juga karena abis basket tadi" kata Jayco mendapatkan anggukan setuju dari yang lain.
Sepulang sekolah, Jayco merebahkan diri setelah mandi. Laki-laki itu tak menjemput Greysia karena permintaan sang gadis alhasil dirinya gabut dan tak memiliki rencana apapun untuk dilakukan kedepannya. Dia menatap langit-langit kamar beberapa saat ia melamun. Pikirannya melayang entah kemana yang pasti saat ini ia tiba-tiba saja teringat pada sang adik.
Dulu mungkin ia sangat egois karena ia sangat iri dengan adiknya, mengingat dia pernah sengaja menurunkan Jacob di tengah jalan saat berangkat sekolah. Jayco tersenyum geli. Kala itu dia tak suka saat hanya Jacob yang memiliki bekal dari mama sedangkan dirinya tidak. Tak adil memang.
Jayco bangkit dari tidurnya lalu berjalan mendekati lemari dan mengambil sebuah kotak biru yang ia simpan di bawah tumpukan selimut. Dia letakkan kotak itu pada meja kemudian dia mengambil tempat pada kursi seraya membuka penutup kotak. Di dalam sana banyak barang milik Jacob yang ia simpan dan beberapa ada juga yang ia tambahkan seperti foto miliknya saat datang ke Indonesia dan juga polaroid si cantik Greysia.
Dia mengambil beberapa lembar foto yang di sana ada dia dan juga Jacob saat masih kecil hingga menginjak SMP. Entah di rumah, di luar, sekolah, ataupun rumah sakit saat adiknya itu drop. Ibu jarinya mengelus lembut wajah Jacob yang tersenyum. Senyuman yang dari dulu selalu menjadi favoritnya, namun sekarang ia tak bisa melihatnya lagi.
Meski mereka kembar, akan tetapi senyum Jacob masih yang terbaik diantara mereka berdua. Jayco meletakkan foto-foto itu di atas meja, kemudian ia melihat sebuah map putih besar berisikan lembaran-lembaran hasil cek lab kesehatan Jacob. Alisnya terangkat sembari bertanya-tanya untuk apa laki-laki itu menyimpan hal seperti ini.
Ia penasaran yang kemudian mulai membaca setiap kata yang tertulis pada kertas. Ironis memang, penyakit yang telah menyerang Jacob bahkan semenjak ia kecil. Satu hal yang selalu keluarganya dan orang lain syukuri jika Jacob dapat bertahan jauh lebih lama dari seharusnya. Meski harus berkali-kali kemoterapi dan berbagai macam pengobatan, dia sangatlah kuat sebelum akhirnya menyerah dan memasrahkan hidupnya untuk kembali pada Tuhan.
"Udah lama ya, Jacob" ucapnya pilu.
"Kangen"
Sesi rindu merindu usai, setetes cairan merah jatuh mengenai kertas putih yang sedang ia pegang. Dia mimisan lagi. Jayco menutup hidungnya, berlari kecil menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Dia membersihkan hidungnya dengan air mengalir namun mimisan tak juga berhenti hingga 15 menit lamanya bahkan setengah bajunya telah basah karena terciprat air.
Kini ia menatap wajahnya di cermin. Sangat pucat, lebih pucat dari tadi siang yang di katakan Miko. Semua tampak kabur, tiba-tiba kepalanya pusing. Jayco memegangi pinggiran wastafel sebelum akhirnya ia tumbang dan tergeletak begitu saja di lantai kamar mandi yang dingin.
Jayco terbangun dengan sebuah tisu menyumpal lubang kiri hidungnya. Dia merasakan lembutnya seprai dan empuknya bantal. Beberapa kali mengedip sayu sebelum akhirnya ia menoleh ke kanan dimana kini Greysia sedang mengumpat sembari memainkan sebuah game online pada ponselnya. Dia melepas tisu itu dan meletakkannya pada meja nakas yang ada di samping.
Pergerakannya terbaca oleh Greysia membuat dia cepat-cepat mematikan ponselnya tak peduli jika ia akan mendapatkan sebuah report karena melakukan AFK dalam permainan. Dia menyentuh dahi Jayco, bibirnya monyong ke kanan dan ke kiri sembari menatap Jayco dengan intens. Gadis itu bernapas lega saat suhu badan Jayco telah menurun, lalu ia menepuk pahanya sebagai tanda untuk Jayco berbaring disana.
"Lo tadi mimisan dan pingsan di kamar mandi. Are you okay?" tanyanya khawatir sedangkan jari jemarinya menyisir surai hitam milik Jayco.
Jayco mengangguk kecil, "Im good, makasih udah di tolongin" ucapnya sedikit serak.
"Gak bohong kan? Ini udah kedua kalinya gue lihat lo mimisan, apa gak lebih baik kita ke dokter aja buat cek?"
"Gak usah, Grey, aku gapapa kok. Tadi abis basket soalnya dan kemaren juga gak bisa tidur nyenyak mungkin efeknya ini"
"Bener ya?"
"Iya, Greysia"
"Udah makan? Mau gue bikinin sesuatu atau beli juga bisa. Atau mau istirahat aja biar lebih enakan? Tadi katanya gak bisa tidur nyenyak, lu cuma tidur setengah jam doang tadi"
"Enggak, aku mau tidur aja. Kalau kamu mau pulang, gapapa, jangan lupa pintu kuncinya"
Greysia menggeleng, "Gak bisa gue tinggalin kalo lonya kayak gini"
Gadis itu membenarkan letak bantal Jayco dan menyuruh laki-laki itu untuk membenarkan posisi tidurnya. Lalu ia pun ikut mengambil tempat di samping Jayco. Tidur menatap Jayco yang mulai memejamkan mata. Dasar si tampan. Meski sedang sakit pun wajahnya tetap ganteng. Tangannya terulur mengelus dahi Jayco yang mengkerut entah apa yang laki-laki itu mimpikan.
Menyisir surai Jayco hingga akhirnya deru napasnya mulai tenang dan terlelap, lalu disaat itulah rasa kantuknya juga ikut menyerang. Matanya kini terasa berat dan ia ingin menyusul Jayco ke alam mimpi. Memang sensasi tidur di sore hari sangat susah untuk di tolak.